GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4. Bukan Orang Sembarangan
Zelyn dan Lina mendatangi Zefa di perpustakaan. Mereka membawakan Zefa minuman dingin dan satu bungkus tisu. Setelah berada di dalam keduanya tidak menemukan Zefa di manapun. Zelyn yang tahu dimana tempat favorit Zefa kalau sedang sedih dan itu di perpustakaan segera pergi kesana. Lina pun mengikuti di belakangnya.
Setelah sampai pada tempat dimana Zefa berada, Lina dan Zelyn mendekat. Keduanya melihat Zefa tengah menangis, buku yang di pegangnya basah.
"Zef, Lo minum dulu gih, tadi gue sama Lina udah beliin Lo minuman di kantin." Zelyn menyodorkan minuman yang sedang dipegangnya kepada Zefa. Zefa menerima minuman itu dan meneguknya.
"Zef, tadi gue udah marahin Kaesang. Gue kasih tau dia dan gue semprotin. Semoga setelah ini dia sadar dan segera nerima Lo," sahut Lina.
Zefa yang mendengar ucapan Lina segera menatapnya tajam. Awalnya, Zefa hanya diam dan memandang ke arah lain, namun setelah mendengar Lina berbicara, Zefa segera memalingkan pandangannya ke arah Lina.
"Gobl0k banget sih Lo! aish, kalo Lo marahin dia, Kaesang jadi tambah jauh dari gue! ah, si4lan Lo emang!" Zefa malah marah pada Lina. Lina memarahi Kaesang karena merasa tidak terima dengan ucapan Kaesang kepada Zefa.
"Zef, Lo kok ... Gue ngelakuin itu karena gue marah sama dia atas kata-katanya sama Lo. Dia udah jah4t Zef. Lo kok ... haduh!!" Lina menepuk keningnya sendiri. Dia menggelengkan kepalanya.
Zelyn yang mendengar pembicaraan mereka segera menyahut. "Harusnya Lo redam emosi Lo Lin. Kalo Lo marah gini ke Kaesang, image Zefa di mata Kaesang semakin burvk. Lo tau kan Kaesang kayak gimana ke Zefa. Kalo Lo malah kayak gitu ke Kaesang, gimana caranya Zefa buat dapetin Kaesang? mikir dong Lo!" Kali ini Zelyn yang marah pada Lina.
Dia menganggap jika Lina terlalu buru-buru. Dia tidak mempertimbangkan konsekuensi dari tindakannya.
"Zef, Lo sabar. Kita cari momen lain buat Lo temb4k Kaesang lagi. Saat Kaesang bahagia. Atau Lo coba ngelakuin kebaikan ke Kaesang? siapa tau dengan itu Kaesang jadi luluh dan mau nerima cinta Lo," Saran dari Zelyn bagus juga. Ternyata temannya yang satu ini cukup pintar dan bisa diandalkan. Zefa merasa tidak menyesal telah menerima Zelyn sebagai temannya dan anggota circlenya.
Zefa tersenyum sumringah ke arah Zelyn. Senyum manis mulai terukir di bibirnya, menggantikan tangis yang sebelumnya menghiasi wajahnya.
"Bagus juga saran Lo, Zel. Tapi gue harus ngelakuin kebaikan apa coba buat bikin Kaesang terkesan. Lo ada ide nggak?" tanya Zefa pada Zelyn, mengabaikan Lina.
Zefa berencana untuk merajuk pada Lina, ingin membuat Lina mengerti dan merenungkan kesalahannya.
Zelyn terlihat berpikir, sebelum akhirnya tersenyum dan membalas. "Gimana kalo Lo sering baca-baca di perpus Zef, Lo bantuin apa gitu yang berguna buat sekolah, siapa tau dengan itu Kaesang lirik Lo," saran Zelyn.
Zefa memelototkan matanya, menatap tajam Zelyn. "Gil4 Lo ya! gue nggak suka baca buku, apalagi suruh bantuin lagi, Lo mau gue bantuin bersih-bersih gitu? nanti yang ada Kaesang itu jijik sama gue bukannya suka," timpal Zefa marah.
Zelyn menggeleng. "Ya nggak harus bersih-bersih sekolah juga kali, Zef. Ada cara lain. Gimana kalo .." Zelyn membisikkan sesuatu pada Zefa yang membuat Zefa tersenyum senang.
Setelah mendengar bisikan dari Zelyn, Zefa segera mengajak kedua temannya untuk keluar dari perpustakaan.
Jam istirahat pun tiba, Kaesang yang ingin ke perpustakaan segera keluar dari kelas menuju ke perpustakaan. Saat itu dia menduga jika Zefa sudah tidak lagi disana. Langkahnya melintasi lapangan basket yang terletak di ujung lapangan tempat perpustakaan berada.
Saat Kaesang melintas, terlihat sekelompok anak sedang asyik bermain basket disana. Kaesang tidak mempedulikan mereka dan tetap berjalan. Tiba-tiba, dari kejauhan, dia melihat Tyas sedang berjalan kearahnya. Ehm, maksudnya berjalan ke arah yang berlawanan.
Tiba-tiba ada sebuah bola basket yang mengarah kepada Tyas dan itu posisinya Tyas sudah dekat dengan posisinya. Dengan cepat Kaesang berlari dan berdiri di depan Tyas, melindungi Tyas dari bola basket yang melayang kearahnya. Seketika bola basket itu menghantam punggung Kaesang. Dug!
"Ouch!"
Saat Kaesang melindungi Tyas dari bola basket yang hampir mengenai wajahnya, posisi mereka begitu dekat, hanya beberapa senti saja. Bahkan, Kaesang bisa merasakan hembusan napas Tyas.
"Bu Tyas, ... cantik banget," puji Kaesang dalam hati.
Setelah beberapa saat saling menatap, Kaesang perlahan menjauhkan tubuhnya dari Tyas. Keduanya sama-sama grogi dan salah tingkah.
"Ibu nggak papa?" tanya Kaesang.
Tyas menggelengkan kepalanya. "Nggak, saya nggak papa. Makasih ya udah nolongin saya," kata Tyas sembari tersenyum. Saat senyumnya merekah, matanya yang sipit terpejam, membuat Kaesang merasa gemas.
Ekspresi wajah Tyas berubah cemas. "Ehm, oh iya, tadi punggung Kamu kena bola kan? gimana, sakit ya? mau dibawa ke UKS?" tanya Tyas khawatir.
Kaesang menggelengkan kepalanya, senyuman tipis terbit di bibirnya. "Nggak perlu dibawa ke UKS Bu, nggak sakit kok. Ibu nggak usah khawatir," jawab Kaesang.
Beberapa anak yang sedang bermain basket tadi mendatangi Kaesang dan Tyas. "Maaf aku nggak sengaja." kata salah satu dari anak basket itu.
Kaesang memalingkan wajahnya kearah mereka, menatapnya marah. "Bisa main nggak sih kalian?! kalo sampe tadi ngenain Bu Tyas gimana? mau tanggung jawab kalian, hah?!" ucap Kaesang marah.
"Sorry, Kae, kita nggak sengaja." kata salah satu dari mereka sembari menundukkan kepalanya.
"Ehm, ibu pergi saja, nggak usah urusin mereka," kata Kaesang pada Tyas.
Tyas mengangguk dan segera pergi dari sana. Kaesang pun ikut pergi, dia kembali menuju ke perpustakaan.
Sesampainya di perpustakaan dan memasuki ruangan, dia mendapati seisi perpustakaan kosong, hanya ada Bu guru penjaga saja di depan, sementara anak murid di dalamnya tidak ada.
Kaesang berjalan ke bagian belakang. Dia ingin mencari sebuah buku sejarah yang dapat digunakannya untuk mengerjakan tugas. Setibanya di bilik paling pojok yang mungkin ini adalah bilik yang ke dua puluh lima, Kaesang segera mencari buku yang diinginkannya.
Tapi ketika dia akan menuju ke ruang private di perpustakaan yang berdekatan dengan tempatnya berada, tanpa sengaja Kaesang menyorot sebatang kaki yang menjulur dari ruangan tersebut. Di saat yang sama, suara tangisan seorang perempuan juga merayap ke telinganya.
Kaesang ingin mengabaikannya dan kembali mencari buku yang dia inginkan, tapi tiba-tiba seorang wanita muncul dari lokasi private itu, mengejutkan Kaesang.
"Astaga, kuntil4nak Zimbabwe pake kolorr Mr. Bean!" Kaesang sontak berteriak, membuat perempuan itu juga ikut berteriak.
Perempuan itu mendekati Kaesang, yang bergerak mundur, namun langkah wanita itu lebih cepat. Sebelum Kaesang sempat menjauh, wanita itu sudah meraih tangan Kaesang dengan tatapan sedih di matanya.
"Kae, tolong aku, Kae. Aku di lec3hkan sama adik kelas. Anak dari kelas sebelah IPA tiga udah nodain aku. Tolong aku, Kae," perempuan itu memohon dan memeluk Kaesang.
Kaesang ingin melepas pelukan wanita itu, tapi tiba-tiba seorang guru datang dan memergoki mereka.
"Astaghfirullah, Kaesang, Bulan apa yang kalian lakukan disana?" Guru itu tampak terkejut. Wanita itu, Bulan tidak juga mengurai pelukannya pada Kaesang. Dia semakin kuat menangis.
Penampilan Bulan saat itu lumayan kacav. Roknya sedikit terangkat, rambutnya acak-acakan, dan dua kancing bajunya terlepas. Mata wanita itu terlihat sedikit sembab, sementara lipstik merahnya meluber ke sana kemari.
"Ibu jangan salah paham dulu. Kami nggak ngelakuin apapun, tadi saya nemuin perempuan ini lagi ada di ruang private dan nangis," jelas Kaesang. Dia berharap Ibu guru yang ada di depannya ini akan percaya padanya.
Tapi tangisan dari Bulan tidak juga berhenti, membuat Ibu guru ini ragu.
"Kae, tolong aku, Kae," kata Bulan masih sembari menangis.
"Saya akan laporkan ini ke Pak Indra, Kae. Biarkan beliau saja yang mengurusnya." Ibu guru itu kemudian dengan cepat berbalik dan meninggalkan ruang perpustakaan.
Kaesang melepaskan paksa pelukan Bulan. Dengan pandangan tajam dan penuh kemarahan, dia menatap wanita di hadapannya dengan ekspresi yang penuh kefrustrasian.
"Kenapa Lo nggak jelasin semuanya sih tadi?! Kenapa Lo nggak bilang kalau Lo itu dilec3hkan sama anak kelas sebelas dan berakhir nangis di sini. Sekarang Gue pun juga ikut dibawa-bawa ...
Si4l, Lo inget ya, kalau sampai gue kenapa-napa, Lo bakal habis di tangan gue!" Kaesang membalikkan badannya dan pergi dari sana, dari perpustakaan.
Kaesang akan pergi ke kelasnya karena dia malas untuk pergi kemanapun. Meskipun fasilitas di sekolah ini sangat lengkap dan berbeda dari sekolah lain. Langkah Kaesang tiba di depan ruang guru, karena kelas tempatnya berada ada melewati ruang guru.
Tiba-tiba seorang guru memanggil Kaesang dari belakang. "Kae, tunggu, pak Indra manggil kamu ke ruangannya." kata guru itu. Setelahnya pamit pergi.
Kaesang tetap tak mengalihkan pandangannya, diam saja, hingga akhirnya ia memutarkan tubuhnya dan melangkah menuju ruang kepala sekolah, tempat papanya berada.
"Apa ini karena hal tadi? hmm, jadi penasaran. Kira-kira papa bakal ngomong apa ya?" ucap Kaesang di dalam hati.
Setibanya di depan ruang kepala sekolah, Kaesang segera mengetuk pintu dan memasuki ruangan. Di dalam, dia melihat Bulan sedang duduk di hadapan papanya. Kaesang melangkah menuju meja papanya, lalu duduk di sebelah Bulan.
"Ada apa papa manggil aku lagi?" tanya Kaesang dengan tajam dan penuh rasa ingin tahu.
Bulan terlihat meneteskan air mata, tanpa sepatah kata pun terucap. Hanya isak tangis yang mengalir dari dirinya. Membuat Kaesang geram.
"Apa yang sudah kamu lakuin ke Bulan di perpustakaan tadi? kamu sama Bulan cocok tan4m ya di perpus?!" Pertanyaan gil4 macam apa ini. Kenapa papanya malah menuduhnya?
"Papa nuduh aku?" tanya Kaesang marah.
Bulan semakin kuat menangis. Kaesang yang tidak tahan segera menoleh kearahnya dan menatapnya tajam.
"Lo ngomong dong, jelasin ke papa, ehm pak Indra tentang apa yang terjadi sama Lo!" desak Kaesang dengan ekspresi marah dan frustasi yang terpancar jelas.
Tapi Bulan tidak bicara sama sekali. Hal ini membuat Indra bingung, dan segera menuduh yang tidak-tidak kepada putranya.
"Kae, Papa kecewa banget ya sama kamu. Papa nggak nyangka kamu akan ngelakuin hal semenji-ji-kan ini di perpustakaan." ujar Indra, dengan ekspresi wajah yang terlihat sedih dan penuh penyesalan.
Kaesang yang mendengar tuduhan itu sangat tidak terima. Dia sangat marah, hampir saja dia menggebrak meja di depannya jika dia tidak ingat posisinya.
"Saya di anu-anu sama adik kelas pak, sama Fano, anak kelas sebelas IPA tiga. Bukan Kaesang. Saya hanya minta tolong ke Kaesang saja tadi ...
Tapi sepertinya permintaan saya sudah memberatkan Kaesang dan membuatnya terseret masalah. Tolong maafkan saya pak Indra, Kaesang," Akhirnya perempuan itu mau berbicara. Dia mau menjelaskan kondisinya, membuat Indra yang tadi sudah menuduh Kaesang yang tidak-tidak segera menundukkan wajahnya malu.
Dengan tidak percaya, Indra menatap ke arah perempuan muda di depannya. "Fano? anak yang terkenal preman sekolah itu? Yang dulu sempat ketahuan bawa ganj4 ke sekolah dan ngebvlly adik kelas?" tanya Indra dan Bulan menganggukkan kepalanya.
Indra memijat pelipisnya, merasa bingung saat mengingat siapa orang tua Fano dan bagaimana harus menyikapinya. Orang tua Fano bukan orang sembarangan dan karena kekuasaan orang tuanya, Fano yang sudah sering membuat masalah masih tetap bisa bersekolah di sini karena suap.
"Ya ampun, sekarang harus gimana. Orang tua Fano itu adalah pengusaha terkenal. Mereka pasti nggak akan ngebiarkan Fano terkena masalah lagi. Mereka mungkin akan memberikan kamu uang, tapi tidak dengan mempertanggungjawabkan kesalahan Fano ...
Mereka akan menyuruh kamu diam dan melupakan masalah ini. Nak, kamu masih kali ini aja kan dilec3hkan oleh Fano?" tanya Indra kepada Bulan dan lagi-lagi Bulan mengangguk.
"Masih kali ini, tapi ..." jeda Bulan. Terlihat bingung dan ragu untuk melanjutkan ucapannya.
Bersambung ...