Kejadian malam itu membuatku hampir gila. Dia mengira kalau aku adalah seorang jal*ng. Dia merebut bagian yang paling berharga dalam hidupku. Dan ternyata setelah aku tau siapa pria malam itu, aku tidak bisa berkata-kata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heyydee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Kami pun keluar dari mall. Kami berpisah di area parkiran. Aku masuk ke dalam mobil dan kami pun pergi pulang.
"Huh, kok gue dari tadi mikirin tuh kalung aja sih?" batinku teringat dengan kalung cantik itu.
Aku memegang undangan yang diberikan tadi.
"Dateng gak ya?" aku merasa bingung.
Tak berapa lama kemudian, aku sampai di rumah dan langsung ke kamar.
Aku meletakkan barang yang aku beli ke atas nakas. Aku beranjak ke meja belajar.
"Haduh, ini skripsi gue gimana coba? Pusing banget gue! Kalau gue gak lulus lagi.....gak tau deh harus gimana lagi," ucapku frustasi.
"Apa aku ambil aja ya tawaran dari pak dosen?" tanyaku.
"Tapi, nanti aja deh! Lagian aku masih lagi sibuk-sibuknya," ucapku.
Malam harinya, Naura masih di dalam kamar sambil menonton Drakor di laptop miliknya. Dia tampak tertawa-tawa saat melihat Drakor komedi.
"Ya ampun lucu banget sih! Ganteng-ganteng ternyata bobrok juga," ucapku sambil nyemil.
Bungkus jajanan tampak berserakan ke lantai dan membuatnya jadi kotor.
Saat tengah asik menonton, tiba-tiba seorang pelayan mengetuk pintunya.
Tok
Tok
"Masuk aja, pintunya gak di kunci kok," ucapku.
Seorang pelayan rumah membawakan makan malam untukku.
"Nona, silahkan di nikmati makan malamnya, saya permisi dulu," ucapnya lalu pergi.
"Ya ampun, bubur lagi? Yang benar aja dong? Lama-lama gue enek liatnya," ucapku kesal.
Aku mencoba mencicipinya sedikit dan ternyata rasanya hambar hanya ada rasa sedikit asin dan gurih saja.
"Kan rasanya kayak bubur yang semalam gue makan!" aku kesal.
"Bisa kurus nih gue kalau makanannya ini terus,"
"Mending gue makan mie instan aja," aku beranjak dari atas kasur menuju dapur.
Saat tiba di dapur, tampak beberapa pelayan ada di sana.
"Bi, ada mie instan gak?" tanyaku.
"Maaf nona, disini tidak ada mie instan karena orang rumah tidak suka,"
"Hmm, apa boleh buat?" batinku.
"Oh iya Bu, kira-kira bang Revandra pulangnya jam berapa ya?" tanyaku.
"Saya kurang tau non,"
"Ya udah deh, kalau gitu gue ke minimarket dekat sini aja buat beli mie cup mumpung di Revandra belum pulang," batinku.
Namun saat aku baru keluar dari dalam rumah, mobil sport Revandra tiba di rumah.
"Ya ampun, kok dia pulang sih? Gagal deh makan mie nya," batinku kesal.
"Revandra keluar dengan setelan yang rapi seperti tadi pagi saat berangkat,"
Dia melihat ke arahku dan langsung menghampiri.
"Apa yang kau lakukan diluar sini?" tanyanya.
"Lagi cari angin segar," jawabku.
"Kau masih sakit, lebih baik kau istirahat di dalam! Udara malam tidak sehat untukmu,"
"Aku udah sehat kok! Gak usah berlebihan deh," ketusku.
"Kau sudah makan malam?" tanyanya.
"Belum," jawabku jujur.
"Kenapa? Apa pelayan tidak memberimu makan?" tanyanya dingin.
"Bukan gitu, aku tuh gak mau makan bubur," ucapku.
"Muak tau makan bubur terus-terusan kayak gini," ucapku kesal.
"Jadi kau mau makan apa?" tanyanya.
"Aku mau makan mie instan aja," jawabku.
"Tidak boleh," tegasnya.
"Tuh kan udah aku tebak pasti gak bakal di kasih sama dia," batinku kesal dan wajahku berubah jadi cemberut.
"Mie instan tidak sehat untuk dikonsumsi,"
"Ya kan makannya gak setiap hari, cuma sekali dua kali doang!" ucapku.
"Tetap saja itu bukan makanan yang sehat," tegasnya.
"Menyebalkan sekali," gumam ku pelan.
Lalu perutku berbunyi lagi, kali ini bunyi perut lapar ku terdengar oleh Revandra.
"Kalau gitu aku akan memasakan makanan untukmu,"
"Benarkah? Emangnya kamu bisa masak?" tanyaku.
Dia tidak menjawabku dan masuk begitu saja.
Aku mengikuti derap langkah kakinya yang menuju dapur rumah. Dia membuka jasnya dan menggulung pergelangan tangannya.
"Kau mau membantuku?" tanyanya.
"Boleh," ucapku dengan senang hati.
Dia mengambil celemek dan menyuruhku untuk memasangkannya.
"Pakaikan celemek ini untukku," pintahnya.
"Oh oke," aku menurut padanya.
Aku berada di belakang tubuhnya yang kekar sampai-sampai aku tidak keliatan. Aku mengikatnya berbentuk pita.
"Selesai," ucapku.
Dia berbalik ke arahku dan aku mendongak ke atas untuk melihatnya.
"Kau bisa duduk di sana dan menungguku," ucapnya menyeringaikan senyum miring.
"Baiklah," aku segera menjauh darinya.
Dia mulai memotong-motong bahan yang akan di masaknya.
Aku tidak bisa berhenti menatapnya saat dia memasak. Ketampanannya bertambah saat melihatnya lagi masak di dapur.
"Dia laki-laki idaman sih! Selain ganteng, kaya, dia juga jago masak! Pasti beruntung banget perempuan yang nanti bakal jadi istrinya," batinku.
"Tapi.....dia itu laki-laki baj1ngan! Gue masih gak bisa terima karena kejadian waktu itu," batinku kesal saat mengingatnya.
"Walaupun sudah berlalu, tapi yang seharusnya gue jaga buat calon suami gue malah di renggut paksa sama dia!" batinku semakin kesal.
"Untung aja gue gak sampai hamil," batinku.
"Gak tau deh nasib gue kedepannya bakal kayak apa? Gue gak tau apakah nanti suami gue bakal nerima gue apa adanya atau gak?"
"Gue takut kalau misalnya dia gak terima kalau perempuan yang di nikahinya udah gak per4wan," batinku.
"Kalau gue sampai hamil, gak mungkin juga gue minta pertanggung jawaban dari tuh orang," batinku.
"Hah, apaan sih yang gue pikirin? Udah ah, males gue mikir kayak gitu," batinku kesal.
Tak butuh waktu lama, Revandra selesai masak makanannya. Dia langsung membawanya ke meja makan.
"Wah, kayaknya enak!"
"Pastinya! Kamu coba saja sendiri," pintahnya.
Tanpa basa-basi aku langsung melahap makanan yang di buat oleh Revandra. Aku terkejut debah. rasa masakannya yang sangat enak itu.
"Ini sangat enak! Rasanya kayak makan di restoran mahal," ucapku jujur saat pertama kali suapan.
"Bagus jika kau suka,"
"Kamu gak makan?" tanyaku.
"Aku udah kenyang," jawabnya.
"Kamu gak mau nyicipin masakan sendiri?" tanyaku.
"Tidak, aku masak spesial hanya untukmu saja," ungkapnya.
Revandra berdiri dari kursinya dan kembali ke dapur. Ia tampak sedang membuatkan susu untukku.
Dia meletakkan susu itu di depanku dan menyuruhku untuk meminumnya.
"Minumlah," pintahnya.
"Heyy, aku bukan anak kecil! Aku gak doyan sama susu putih," ucapku.
"Kamu aja yang minum," ucapku.
"Susu ini sangat bagus untuk pencernaanmu," ungkapnya.
"Iya aku tau, cuma aku gak doyan," tegasku.
"Apakah aku harus bertindak?" tanyanya membuat Naura terdiam.
"Bertindak? Hah.... jangan-jangan dia mau macam-macam sama gue?" batinku curiga.
"Naura, apa aku harus memaksamu untuk minum susu itu?" tanyanya dengan senyuman nakal.
Aku tau apa yang ada di otaknya. Aku langsung meneguk habis susu itu sampai tak tersisa sedikit pun.
"Anak baik," Revandra mengelus kepalaku.
Aku meletakkan gelas dan berencana untuk kembali ke kamar.
"Aku sudah selesai, makasih ya atas makanan enaknya," aku langsung berdiri dan beranjak menaiki anak tangga yang cukup panjang.
Karena tidak memperhatikan jalan, kakiku terpleset dan aku hampir saja jatuh dari tangga.
"Akhhh," teriak Naura sambil memejamkan matanya saat akan jatuh namun setelah 1 detik 2 detik 3 detik namun tidak terjadi apa-apa.
Ia perlahan membuka matanya pelan dan melihat Revandra yang menangkapnya.
"Kalau jalan itu hati-hati, jangan kebanyakan bengong," ucapnya padaku dengan wajah datar.
Aku langsung melepaskan diri darinya.
"Makasih," ucapku singkat.
Tapi dia menarikku dan malah menggendongku.
"Lain kali kalau kamu terpleset lagi, aku mungkin tidak akan menolong mu," ucapnya.
"Aku bisa jalan sendiri! Turunin aku," ucapku.
Dia tidak mendengarkan ocehan berisik ku. Dia membawaku sampai ke kamar lalu dia menurunkan ku.
"Selamat malam," otakku jadi lola saat dia mencium keningku.
"Astaga, apa-apaan ini? Kenapa aku malah diam aja?" batinku.
Aku mengacak-acak rambutku karena frustasi dengan keadaan saat ini.
Keesokan harinya, aku bangun pukul 8 pagi waktu setempat. Aku menguap dan meregangkan otot yang terasa kaku.
"Ahh, malam ini aku tidurnya nyenyak banget!" ucapku senang.
Aku duduk sejenak untuk menyadarkan diri. Aku mengambil sebuah undangan dari dalam tasku.
"Datang gak ya?" aku bingung.
"Datang aja deh," aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Seperti biasa, aku melakukan ritual dulu di dalam kamar mandi maka nya lama. Setelah aku segera ganti baju lalu pergi ke tempat pelelangan. Aku di antar oleh supir kesana.
Sesampainya disana, tampak mobil-mobil mewah sudah memenuhi parkiran.
"Sepertinya gue agak terlambat," aku bergegas ke dalam. Sebelum masuk, semua orang wajib membawa undangan. Kalau tidak, jangan harap bisa melihat pelelangan itu.
Tak lama setelah aku masuk, sebuah mobil hitam mewah tiba di depan gedung pelelangan. Dia lewat jalur VIP khusus.
Pria itu keluar dari mobil dengan balutan jas yang sangat mewah dan berkelas serta tampak sangat tampan yang tidak lain adalah Revandra.
Tanpa diketahui olehku, dia adalah salah satu penawar yang akan membeli kalung itu dengan nilai yang tinggi.
Di sisi lain, aku duduk di bangku kosong di bagian baris kedua. Semua orang tampak sangat rapi dengan balutan pakaian modern.
"Hah, sudah bisa di tebak kalau mereka itu adalah orang dari kalangan konglomerat," batinku.
"Aku penasaran siapa yang akan menawarnya dengan harga yang tinggi?" batinku penasaran.
Mata memandang ke segala sisi. Dari ujung pintu khusus, tampak para bodyguard menyambut kedatangan seseorang. Saat dia muncul, semua orang tampak ricuh karena melihat ketampanannya. Sedangkan aku tampak kaget karena ternyata Revandra ikut dalam penawaran ini.
"Ya ampun, jadi dia mau beli tuh kalung juga?" batinku heran.
"Kira-kira kalau dia berhasil, kalungnya buat siapa? Pacar rahasianya?" tanyaku.
"Atau mungkin mama? Tapi....kok gue gak yakin kalau kalung itu buat mama,"
"Atau dia cuma mau buat koleksi di lemarinya aja ya?" tanyaku menebak-nebak.
Revandra juga di sambut baik oleh para tamu dan pengusaha yang ingin membelinya. Mereka tampak akrab dengannya. Namun, tiba-tiba dia mengalihkan pandangannya ke arah kursiku. Aku pun langsung bersembunyi agar tidak ketauan kalau aku nonton.
"Gawat nih, jangan sampai dia liat gue!" batinku panik.
Revandra tersenyum miring ke arah kursiku. Dia seperti tau kalau aku ada disana. Dia lalu duduk di kursi yang sudah di sediakan. Acara pun segera di mulai. MC membukanya dengan beberapa kata-kata sambutan dan pidato singkat mengenai kalung yang akan di lelang hari ini.
Setelah beberapa saat, barulah pelelangan di mulai. Harga asli kalung itu sukses membuat orang terkejut kala mendengar nominal yang cukup fantastis.
"Buset, cuma kalung sama liontin kecil tapi harganya selangit!? Gil4 sih ini," ucapku kaget saat mendengarnya.
Aku dibuat jantungan saat mereka mulai berani membayarnya dengan nilai tinggi.
"Ya ampun, mereka benar-benar gak takut duitnya habis?" tanyaku heran.
"Mungkin harta mereka banyak sampai tujuh turunan jadi gak habis-habis," sahut seorang di sampingnya.
"Eh?" aku sedikit kaget.
"Salam kenal," ucap seorang perempuan cantik bernama Naila.
"Iya, salam kenal juga," jawabku.
"Aku Naila,"
"Aku Naura,"
Aku tampak kikuk dan gugup saat kenal dengan orang baru. Dia berusaha mencairkan suasana agar kami tidak terlalu kaku. Aku pun hanya menyahutinya saja saat dia bertanya. Sesekali aku juga ikut bertanya tentangnya.
"Kamu kerja apa?" tanyaku penasaran.
"Aku adalah seorang polisi,"
"Hah, po-polisi?" aku sedikit gugup.
"Jangan takut, aku tidak akan menangkapku kok," ucapnya mencairkan suasana.
"Kamu?" tanya Naila.
"Oh, aku masih kuliah,"
"Oh masih mahasiswa toh,"
"Iya,"
Di sisi lain, nilai tertinggi yang berani di tawarkan masih sekitar 54 milyar dari harga asli 41 milyar. Semua peminat tampak maju mundur saat akan memberikan nilai lagi.
Sejak pertama kali mereka memberi harga, Revandra masih belum bergerak untuk menaikkan nilainya. Dia tampak sedang memahami situasi saat ini dengan tenang dan wajah datarnya.
"60 deh,"
"62,"
"67,"
Nilai semakin tinggi dan besar.
"Di Revandra jadi beli gak sih? Kok dari tadi diam aja?" tanyaku heran.
"Baik, sepertinya tidak ada yang berani menawar lagi! Kalau gitu pelelangan hari ini akan saya tu-
Belum sempat selesai bicara, Revandra langsung memberi nominal fantastis yang membuat semua orang tercengang.
"200 milyar," ucapnya membuat semua orang kaget bukan main.
"Wah, wah, ternyata masih ada yang menawar dengan nilai fantastis," ucap MC terkejut.
"Apakah ada lagi yang ingin menawar?" tanya MC.
Orang-orang yang ikut menawar tampak mundur. Nilai itu terlalu besar bagi mereka. Tapi kalau bagi Revandra nilai itu tidak seberapa.
"Baiklah, karena sepertinya tidak ada lagi yang akan menawar, maka pelelangan hari ini resmi di tutup! Orang yang berhak membelinya adalah tuan Revandra!"
Semua bertepuk tangan dengan meriah.
"Dia rela membuang-buang uang sebesar itu hanya untuk kalung itu?" tanyaku heran.
Saat Revandra dipanggil untuk naik ke panggung, Naura segera pergi dari sana agar tidak ketauan.
"Loh kamu mau kemana Naura?" tanya Naila.
"Aku ada urusan mendesak, duluan ya," aku buru-buru pergi.
Aku pergi ke arah parkiran untuk kembali ke rumah. Aku segera masuk ke dalam mobil dan segera pulang.
Selama perjalanan, aku memasang earphone dan mendengarkan lagu kesukaanku. Aku menikmati pemandangan dari balik jendela mobil yang terbuka.
Menikmati keindahan pepohonan yang tumbuh rindang di sekitar jalanan yang dilewati.
Saat sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya.
***
Beberapa hari kemudian, tiba saatnya pernikahan Erik dan Aura di adakan malam ini. Aku sibuk mempersiapkan diri untuk mempercantik diri agar terlihat sempurna. Aku belum sempat melihat gaun Bridesmaid yang kemarin sore di beri oleh Aura.
Aku pun hari ini baru mau melihat gaunnya. Saat aku membuka kotaknya, terlihat baju berwarna merah maroon. Aku mengeluarkan dan mengangkatnya ke atas agar gaun itu terjulur.
"Ya ampun, bajunya kayaknya kalau gue pake ketat banget deh?"
Ya baju itu kelihatan ketat dengan belahan samping dan jika di pakai akan memperlihatkan pah4 Naura.
"Ini serius bajunya kayak gini? Sexy amat! Bener-bener dah di Aura, ada aja gebrakannya!" ucapku heran.
Aku langsung menghubungi Aura karena gaunnya yang sepertinya sangat sempit jika ku pakai.
"Halo,"
"Tumben nelpon? Ada apa? Oh iya, Lo udah liatkan gaunnya?"
"Nah itu masalahnya!"
"Kenapa? Gaunnya robek ya?"
"Gaunnya mah memang udah robek dari sononya," ucapku.
"Masalahnya adalah gaunnya kayaknya kesempitan deh sama aku," ucapku.
"Masa iya sih? Padahal aku udah nyesuain sama ukuran kamu kok?"
"Iya, kalau gue make kayak gini, lekuk badan gue keliatan banget,"
"Ya ampun, gaunnya memang kayak gitu! Modelnya ketat dan ngepas di badan biar yang make keliatan body sexy nya," ungkap Aura.
"Itu tuh gaun yang lagi trend sekarang!"
"Hah, ya udah deh!"
"Oh iya, Lo sekarang ada dimana?" tanya tanyaku.
"Lagi di salon, biasalah buat persiapan nanti malam," ungkapnya.
"Oh yaudah kalau gitu sampai ketemu nanti malam ya," aku menutup telpon.
Malam harinya, aku selesai berdandan dan lihat diriku yang sangat cantik dan juga sexy.
"Omg, ternyata body gue bagus banget! Cocok banget sama dress ini,"
"Omo, sexy banget!" ucapku.
Sebelum pergi aku bergaya dulu di depan kaca. Aku bahkan bergaya bak model dengan memamerkan pah4 mulusnya.
Setelah selesai bergaya, Naura menyabet tasnya dan keluar dari kamarnya.
Dia keluar dengan percaya diri. Dengan rambut yang ia gerbang dan di beri sedikit hiasan, menggunakan satin maxi dress yang membuatnya tampak sexy, heels yang tidak terlalu tinggi yang ujungnya lancip dan tas mewah yang di bawanya membuatnya tampak lebih dewasa dari sebelumnya.
Dari ruang tamu terlihat beberapa bodyguard menunggu.
"Ayo kita berangkat sekarang," ucapku.
"Tunggu nona,"
"Kenapa?"
"Tuan belum turun dari atas,"
"Hah?"
Tap!
Tap!
Tap!
Revandra turun dari anak tangga. Naura di buat terpesona melihat ketampanannya yang super unreal. Bahkan aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya hingga dia berada tepat di depanku.
Dia mencubit pipiku saat aku terbengong melihat penampilan yang belum pernah aku lihat.
Bagaimana tidak, pesona dia saat memakai kacamata membuatnya tampak lebih tampan dan lebih dewasa seperti orang baik.
"Aww," aku kesakitan.
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya.
"Gak ada,"
"Tunggu, kamu mau kemana?" tanyaku.
"Aku mau ke pernikahan temanmu,"
"Apa? Emangnya kamu di undang?" tanyaku.
"Menurutmu?"
"Tapi kok bisa?" tanyaku penasaran.
"Tidak perlu tau tengah itu! Ngomong-ngomong malam ini kau terlihat sangat berbeda,"
"Apaan sih?"
Revandra melihatku dari atas sampai bawah.
"Ngapain lihat-lihat?" tanyaku jutek.
"Kau yakin akan memakai dress seperti ini?"
"Iya, ini tuh dress Bridesmaid yang di kasih sama Aura, ya kali gak aku pakai," ucapku.
"Kau tidak takut?" Revandra mendekat.
"Takut apaan?" tanyaku.
"Bagaimana jika ada yang terg0da karena kau berpakaian seperti ini?" tanyanya mulai membuatku agak merinding.
"Hah, gak mungkin! Lagian banyak kok yang make dress lebih sexy dari aku, jadi gak mungkin," ucapku.
Dia membuatku kaget karena tiba-tiba menggendongku.
"Ayo kita berangkat sekarang," ajaknya dengan senyuman smirk.
"Revandra, apa-apaan sih? Main gendong aja? Turunin, aku bukan anak kecil," omelku.
Lagi-lagi dia tidak mendengarkan dan memasukkan ku kedalam mobil. Revandra menyetir mobil sportnya sendiri sedangkan anak buahnya mengikuti dari belakang.
Mereka berangkat ke tempat acara pernikahan di adakan. Dia memacu mobilnya dengan kecepatan normal.
"Huh, kenapa sama dia lagi sih?" aku sedikit kesal karena harus pergi bersamanya.