NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:884
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halte Bus

Hasil persidangan tempo lalu telah diumumkan dua hari yang lalu. Yudha keluar sebagai pemenang. Anggota dewan yang dibelanya dinyatakan tidak bersalah. Dari cuplikan video persidangan yang beredar di media, Naima tidak bisa menyangkal bahwa argumen Malik sebagai jaksa penuntut umum mampu menarik simpati dan opini publik untuk mendukung korban. Namun, semua argumen itu runtuh setelah video yang disebarkan Yudha mencuat.

Yudha menyerang titik buta yang Malik lewatkan—mengorek informasi lebih dalam dari korban. Terkadang, Naima merasa heran pada pemuda itu. Yudha seperti tidak memiliki rasa takut, gerak-geriknya sulit ditebak. Di balik semua tindakannya, ada kecerdikan dan keberanian yang membuat siapa pun kewalahan. Naima pun bertanya-tanya, bagaimana reaksi Malik setelah putusan yang menyakitkan itu? Apakah Malik merasa dicurangi?

Pertarungan antara keduanya di persidangan menunjukkan kecakapan masing-masing dalam berargumen. Mereka sama-sama memamerkan kebolehan di hadapan hakim, media, dan para penonton yang menyaksikan. Tapi, seperti biasa, kebenaran memiliki jalannya sendiri—meskipun jalur itu sering kali bengkok dan dipenuhi duri.

Gerimis seperti lagu sendu yang menyusup pelan ke hati. Tirai tipis hujan mengguyur bumi, seperti iring-iringan selamat datang dari langit. Naima menengadah, menatap awan hitam yang menggantung rendah, mendung tebal menutup kanvas biru di angkasa. Hujan yang turun sejak semalam terus berlanjut, tak ada tanda-tanda mereda. Stok air di langit seolah tak pernah habis. Namun pagi ini hujan itu berubah bentuk menjadi partikel tipis dan lembut.

Naima merasakan percikan gerimis yang terbawa angin menyentuh lembut wajahnya. Sensasi dingin itu seperti aliran kesejukan yang merayap perlahan di kulitnya. Dengan tubuh bersandar di kursi halte, ia memejamkan mata, membiarkan harmoni gerimis dan angin menyentuh batinnya. Sejenak, rasa damai yang langka itu hadir, mengetuk hati yang dipenuhi keruwetan pikiran.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Sebuah bayangan menghalangi percikan air yang sebelumnya jatuh di wajahnya. Naima membuka matanya perlahan, pupilnya menyesuaikan diri dengan cahaya yang terpantul dari langit mendung. Di hadapannya, berdiri sosok yang begitu dikenalnya.

Malik.

Lelaki itu berdiri dengan tegap, memegang sebuah payung hitam yang terbuka, menepis gerimis yang menyapa tanpa permisi. Sementara tatapan Malik tertuju lurus ke arahnya. Tidak ada senyuman atau sapaan di awal kemunculannya, hanya kesunyian yang menggantung di antara mereka. Hembusan angin membawa aroma tanah basah yang bercampur dingin, menciptakan suasana yang entah bagaimana terasa intens.

"Naima," ucap Malik akhirnya, suaranya tenang namun memiliki bobot yang sulit diabaikan.

Naima tetap diam, memandangnya dengan sorot mata yang campur aduk antara keterkejutan dan kewaspadaan. Gerimis jatuh perlahan, tapi Malik tetap berdiri di sana, melindungi Naima dari percikan yang semula menemani keheningannya.

"Nai, segini udah cukup, 'kan?"

Suara familiar itu memecah keheningan. Naima spontan menoleh, diikuti Malik yang mengalihkan pandangannya. Keduanya kini memandang ke arah Yudha, yang berjalan mendekat dengan kedua tangan penuh belanjaan. Kantong-kantong plastik yang ia bawa tampak berat, talinya menekan keras kulit tangannya. Gerimis yang turun perlahan membasahi tubuhnya, menambah kesan berantakan pada pemuda itu.

Yudha mengernyit begitu matanya menangkap sosok Malik di hadapan Naima, lengkap dengan payung hitam yang terbuka. Wajahnya seketika berubah. Tak ada sapaan ramah seperti biasa, hanya tatapan penuh tanya, seolah ia tengah mencerna situasi tak terduga ini.

"Dia ngapain di sini?" ucap Yudha akhirnya, suaranya terdengar datar namun tak bisa menyembunyikan nada tajam di baliknya.

Malik menoleh santai ke arah Yudha, memasang senyuman tipis yang lebih mirip ejekan. "Cuma mampir. Kebetulan ketemu Naima di sini," jawabnya ringan, namun jelas ada tekanan dalam nada bicaranya.

Naima menghela napas panjang, merasa terjebak di tengah dua lelaki yang seolah membawa arena persidangan ke sini. Aura di antara mereka terasa panas, bahkan gerimis yang menetes dari langit tak cukup untuk meredam ketegangan.

"Wow, apa ini," gumam Naima setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana. Ia memandang bergantian ke arah Malik dan Yudha, alisnya sedikit terangkat. "Aku tahu kalian musuh di persidangan, tapi... nggak harus di sini juga, kan?"

Yudha hanya mendengus pelan. Ia meletakkan kantong belanjaan dengan gerakan yang agak kasar, lalu menjatuhkan dirinya ke kursi. Tangannya terlipat di dada, dan salah satu kakinya bertumpu santai di atas kaki yang lain. Tatapan matanya tajam, namun ekspresinya tetap santai, hampir angkuh.

"Kalo ada yang mau dibicarakan, bicarain sekarang," kata Yudha dengan nada sarkastik, mengarahkan ucapan itu lebih kepada Malik daripada Naima. "Kita mau pergi, nggak punya waktu buat drama."

Nada bicara Yudha yang santai namun sarkastik itu mengingatkan Naima bahwa ia sedang berhadapan dengan sisi lain pemuda itu, sisi yang tidak sedang mengenakan topeng formalnya.

Malik mengangkat bahu santai, senyumnya tetap terjaga. Dia tampak tak terganggu oleh ketegangan yang menguar di udara. "Santai aja," ucapnya dengan nada tenang. "Gue ke sini cuma buat nunggu bus. Ketemu Naima juga nggak sengaja. Nggak ada maksud lain."

Tanpa banyak bicara lagi, Malik menduduki salah satu kursi kosong di halte, mengosongkan satu kursi di antara dirinya dan Naima—jeda yang sama seperti yang Yudha buat di sisi lainnya.

Keheningan menggantung di udara, menyelimuti halte yang sepi dengan dingin yang menggigit. Gerimis terus turun, menciptakan irama lembut yang berpadu dengan suara desing kendaraan yang sesekali membelah jalan Surabaya yang lengang. Hujan seakan menjadi latar simfoni yang tak kunjung selesai, menyulam suasana yang dingin namun tegang.

Naima duduk di tengah, merasa terjebak dalam permainan bisu yang dipenuhi tatapan penuh arti. Dua pemuda di sisinya, Malik dan Yudha, saling melayangkan pandangan yang tak ramah. Tidak ada kata yang terucap, tetapi udara di antara mereka terasa berat—seperti badai yang menanti untuk meledak.

Hening yang menggantung terasa seperti penghakiman diam-diam. Naima menarik napas panjang, mencoba memecah atmosfer yang membuatnya hampir kehabisan udara. Dia mengalihkan pandangannya dari satu ke yang lain, berharap salah satu dari mereka akan berbicara untuk menghentikan kekakuan ini.

Namun, baik Malik maupun Yudha tetap diam, seakan sedang mengukur langkah masing-masing. Gerimis yang membasuh trotoar terasa lebih berbicara dibandingkan mereka berdua. Naima hanya bisa memijat pelipisnya, bertanya-tanya apa yang harus ia lakukan di antara dua lelaki yang tampaknya tak akan mengendurkan ego masing-masing dalam waktu dekat.

“Kamu sibuk, Malik? Mau ikut kita?”

Malik menatap Naima sesaat, mencoba mencerna maksud di balik ajakan itu. Namun, di sudut matanya, dia menangkap reaksi Yudha yang duduk di sebelah Naima. Lelaki itu langsung melotot, seolah memberi kode jelas agar Malik menolak.

“Kita mau ke panti. Yudha bilang dia mau merayakan kemenangannya.” Naima melanjutkan penjelasannya, namun tiba-tiba terdiam. Senyum canggung tersungging di wajahnya saat ia menyadari sesuatu. “Eh, maksudku… bukan berarti aku... kamu?”

Naima yang salah bicara membuat Malik sedikit tertegun, tapi lebih dari itu, ia menangkap senyum lebar di wajah Yudha. Lelaki itu tampak terlalu menikmati kekeliruan Naima.

Sementara itu, Malik merasa tersinggung, meski hanya sedikit. Namun, nalurinya yang penuh strategi langsung mengambil alih. Dia memutuskan untuk memutar keadaan, dan mungkin, sekalian merusak rencana Yudha. “Nggak apa-apa. Aku paham, kok,” ucap Malik santai, senyumnya mengembang tipis. “Kebenaran selalu menemukan jalannya, kan? Jadi, kalau kebenarannya seperti itu, aku nggak bisa membantah. Ya, ‘kan?”

“Ah, maaf. Lupakan aja ajakan aku. Hehe,” kata Naima cepat, mencoba memperbaiki situasi yang canggung.

Malik mengangkat bahu, berpura-pura tidak peduli. “Aku nggak bilang aku nggak mau ikut, kan?”

“Eh?” Naima terkesiap, matanya membulat terkejut. Bahkan Yudha, yang tadi hanya diam mendengarkan, langsung menatap Malik dengan sorot kaget sekaligus kesal.

“Aku juga mau lihat panti itu,” lanjut Malik dengan santai, memasang senyum tak terbaca. “Lagipula, merayakan kemenangan itu nggak harus diambil terlalu serius, kan?”

Yudha mendengus pelan, jelas terlihat tidak suka dengan keputusan Malik. Namun, Naima yang merasa tak enak hati hanya bisa tersenyum kecil, mencoba menghilangkan ketegangan yang mulai terasa di antara mereka.

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!