NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: tamat
Genre:Tamat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kasus

Yudha memegang kemudi erat, matanya fokus menatap jalanan yang diterangi lampu-lampu kota. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, tapi pikirannya berlari jauh lebih cepat. Ia bahkan meninggalkan sopirnya begitu saja di depan kantor polisi tadi—tanpa rasa peduli. Entah pria itu akan pulang bagaimana, yang jelas besok ia pasti akan muncul lagi di rumah dewan kota seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa.

Lampu-lampu jalan Surabaya berdiri berjajar, memecah gelap malam dengan sinar yang memudar perlahan di setiap radius. Suasana itu seolah menguatkan ironi dalam kepala Yudha: terang yang hanya mampu menyentuh permukaan, sementara kegelapan tetap meraja di bawah bayangannya.

Tiba-tiba, sebuah motor roda dua muncul dari arah samping. Pengemudinya salah menyalakan lampu sein, membuat Yudha refleks membanting setir untuk menghindar. Jantungnya berdegup kencang, dan dari kaca spion ia melihat sosok di atas motor itu—seorang ibu-ibu yang tampak santai, tanpa sedikit pun rasa bersalah.

Yudha menghela napas kasar. Jenaka sekali. Ketika pikirannya penuh kekesalan dan kemarahan, ia justru dihadapkan pada hal sepele yang seolah ingin menguji batas kesabarannya. “Dasar,” gumamnya lirih, mencoba menahan diri untuk tidak memaki.

Namun, bukan ibu-ibu itu yang benar-benar memancing amarah Yudha malam ini. Pertemuannya dengan Yasmin di kantor polisi masih terngiang jelas di kepalanya. Wajah angkuh gadis itu, nada bicaranya yang dingin, dan keteguhannya menyangkal kesalahan seolah-olah tak ada satu pun yang mampu menyentuhnya. Itu membuat darah Yudha mendidih. Yasmin tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun, bahkan setelah apa yang terjadi pada Sekar.

Yudha menggertakkan gigi, jemarinya menegang di kemudi. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Yasmin begitu yakin melawan? Dan yang lebih membuatnya heran, kenapa dewan kota memilih diam? Bukankah seharusnya mereka bertindak tegas atas kasus yang mencoreng nama baik mereka sendiri? Pertanyaan itu terus berputar di benaknya, seperti lingkaran tanpa ujung. Di luar sana, lampu-lampu kota tetap menyala, tapi bagi Yudha, malam ini tak lebih dari sekadar kekosongan yang meredam semua logika.

Yudha tiba di kediaman dewan kota dengan langkah berat, meskipun wajahnya tetap terlihat dingin dan tanpa emosi. Di pintu, pembantu yang sudah biasa menyambutnya segera membungkuk hormat, tetapi Yudha hanya melewatinya tanpa sepatah kata, seolah angin dingin yang bergerak tanpa tujuan.

“Dimana Ayah?” tanyanya singkat, suaranya rendah namun tajam.

“Tuan sedang di ruang kerjanya, Den,” jawab pembantu itu dengan sopan, meski Yudha bahkan tak melirik ke arahnya.

Tanpa ragu, Yudha berjalan lurus menuju ruang kerja sang ayah. Setiap langkahnya bergema di sepanjang koridor yang sunyi, diselimuti keheningan malam. Pikirannya terasa berat, seperti beban tak kasat mata yang menariknya ke bawah. Jujur saja, ia tidak ingin berada di sini, apalagi bertemu dengan pria yang selalu membuatnya merasa kecil. Namun, kali ini bukan tentang keinginan—ini tentang keharusan.

Suara ketukan pintu memecah keheningan ruang kerja yang besar dan dingin. Ketukan itu jelas, tegas, dan penuh makna, seperti mengabarkan kedatangan tamu yang tidak biasa. Pintu berderit pelan saat seorang pria berjas membukanya. Tanpa banyak basa-basi, pria itu memberi anggukan hormat sebelum Yudha melangkah masuk dengan ekspresi dingin. Pria berjas itu segera menutup pintu dari luar, meninggalkan dua sosok di dalam ruangan.

Di balik meja kerja yang besar dan megah, pria tua itu duduk dengan postur yang menunjukkan kuasa. Pandangannya terangkat, menatap Yudha dengan alis sedikit terangkat. "Ada apa? Kau jarang sekali datang untuk menemui pria tua ini," ucapnya dengan nada setengah bercanda, tetapi sorot matanya tajam.

Yudha menatap lurus. "Kenapa Anda tidak membebaskan Yasmin?" suaranya datar, namun ada nada kekesalan yang terselip.

"Itu tugasmu," jawab pria tua itu tanpa sedikit pun keraguan.

Yudha mendengus, matanya memicing. Serius? Ia bahkan berniat membiarkan gadis arogan itu mendekam di penjara. "Bagaimana kalau aku tidak mau?" tanyanya sinis.

Pria itu tidak bergeming. "Apa kau benar-benar berpikir Yasmin melakukannya?"

"Tentu. Semua bukti sudah dikumpulkan polisi. Yasmin ada di penjara. Itu cukup membuktikan dia bersalah."

Pria tua itu tertawa, suara tawanya rendah namun penuh makna, seperti seseorang yang memegang semua kartu dalam permainan. Yudha mendelik, bingung dan mulai tidak nyaman. "Apa yang Anda maksud?" tanyanya dengan nada curiga.

"Pemilu sudah dimulai," jawab pria tua itu sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi besar di belakangnya. "Para calon mulai saling menjatuhkan, mencari cara untuk membuat lawan terlihat buruk di mata masyarakat."

"Maksud Anda?"

"Jika Yasmin tidak bodoh, mungkin dia dijebak," ucap pria itu santai. Senyumnya tipis namun penuh teka-teki. "Sayangnya, dalam skenario ini, salah satu kenalanmu terlibat."

Yudha terdiam. Kata-kata pria itu seperti menghantamnya dengan kenyataan yang tak ingin ia akui.

"Kau ingin menangkap pelaku, bukan? Kita punya tujuan yang sama," lanjut pria itu sambil berdiri dari kursinya. Langkahnya perlahan, namun penuh wibawa. Saat melewati Yudha, dia berhenti sejenak, menepuk pundak putranya dengan lembut.

“Aku mengandalkanmu," ucapnya sebelum melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Yudha dalam diam yang penuh dengan pikiran bersimpang siur.

***

Kasus tabrak lari yang menimpa Sekar kini telah memasuki tahap proses hukum, dengan polisi menyerahkan berkas perkara kepada kejaksaan. Namun, bagi Malik, ini bukan sekadar kasus biasa. Ketika ia mendengar nama dewan kota terseret, ia memutuskan mengambil alih kasus ini. Ia meminta izin agar dirinya yang menangani, meski tahu betul betapa besarnya tekanan yang akan ia hadapi.

Ini bukan hanya soal hukum; ini soal moral. Nama seorang pejabat terhormat—yang sedang mencalonkan diri kembali ke dewan daerah—berdiri di tengah badai kontroversi. Malik tahu, permainan kotor akan berlangsung di balik layar. Pihak-pihak di meja pengadilan mungkin sudah menerima suap untuk menggiring hasil sesuai keinginan dewan kota. Tapi ia tidak peduli. Sekar, dan keadilan untuknya, adalah prioritas utama.

Di kamarnya, Malik membolak-balik laporan investigasi, halaman demi halaman, mencermati setiap detail. Tidak ada yang ia lewatkan. Ia merancang ulang skenario kecelakaan, mencari celah yang bisa membuktikan kebenaran. Baginya, tidak ada ruang untuk kesalahan. Setiap fakta harus dipastikan kuat, setiap argumen harus dipersiapkan matang. Ia tahu, satu detail kecil saja yang terlewat bisa menjadi senjata bagi pengacara lawan untuk membelokkan kasus ini.

Wajahnya tegang, namun matanya penuh tekad. Di atas segala intrik politik dan kekuatan uang, Malik berjanji dalam hatinya: ia akan membela Sekar sampai akhir. Tidak akan ada kompromi.

“Malik?”

“Kenapa, Bang? Kalo mau gangguin gue, jangan sekarang, gue sibuk.”

“Dih, lama-lama lo bikin emosi juga ya,” balas Haris, masuk tanpa izin, memandang adiknya yang tenggelam di tumpukan dokumen. Malik hanya mengangkat bahu tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas yang sedang ia telaah.

Dengan santainya, Haris melangkah lebih jauh, menjatuhkan diri di atas kasur Malik tanpa basa-basi. “Gimana kabar doi?”

“Baik,” jawab Malik singkat, tanpa menoleh.

“Masih belum ada jawaban juga?”

“Ya.”

Haris mendengus kesal. Meski sudah diperingatkan Malik untuk tidak mengganggunya, Haris tetap merasa harus memecah keheningan yang terlalu kaku itu. Tapi jawaban singkat Malik yang hanya sepatah kata membuatnya tambah geregetan. Haris akhirnya tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.

“Lo ini ya, kayak robot. Ngomong dikit kek. Gue kan cuma mau ngobrol,” ledek Haris sambil memandang langit-langit.

Malik akhirnya mendongak, menatap Haris dengan sorot mata lelah. “Bang, kalau ngobrol soal dia lagi, mending sekarang aja keluar. Gue beneran harus fokus.”

“Oh, jadi ini gara-gara doi lo jadi serajin ini?” Haris menyeringai, lalu menambahkan, “Kasian juga, lo kerja keras banget, tapi doi belum juga ngelirik lo.”

Malik hanya mendesah panjang, lalu kembali ke berkasnya tanpa membalas sindiran Haris. Tapi di sudut bibirnya, ada senyuman getir yang nggak bisa ia sembunyikan. 

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!