Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 CACA SEMAKIN TERBUANG
Mertuaku, Mama dan Papa, duduk di meja makan dengan Belinda yang sedang menyusui bayinya. Aku duduk di sudut ruangan, mencoba untuk tetap tenang, meskipun hati ini terasa semakin teriris. Mereka berbicara dengan penuh kebanggaan tentang Belinda yang baru saja menjadi ibu, dan itu semakin membuatku merasa terasing.
"Menjadi seorang ibu itu luar biasa, Caca," kata Mama dengan penuh semangat, seolah-olah aku belum pernah mendengar kalimat itu sebelumnya. "Kamu pasti bisa merasakan betapa indahnya melihat anak kita tumbuh dan berkembang. Belinda sekarang sudah membuktikannya, kan? Bayinya sehat, dan semuanya berjalan dengan lancar. Kami sangat bangga padanya."
Papa mengangguk setuju, sambil tersenyum melihat ke arah Belinda yang sedang memangku bayinya. "Keluarga ini semakin lengkap, ya. Kami sangat senang bisa menyambut cucu pertama kami. Menjadi ibu itu tak hanya soal merawat, tapi juga memberi cinta dan perhatian sepenuhnya kepada anak."
Aku merasa seperti sedang berada di luar lingkaran kebahagiaan mereka. Kalimat-kalimat itu semakin menambah rasa sakit hati yang aku rasakan. Aku tahu mereka bermaksud baik, tetapi kata-kata itu terasa menusuk.
"Betul, Mama, Papa," jawabku dengan suara pelan. "Aku tahu, menjadi ibu adalah hal yang sangat indah."
Mama tersenyum padaku, seolah ingin memberikan pengertian. "Caca, kamu sudah menikah lama dengan Mas Danu, pasti kamu juga merasakan keinginan untuk memiliki anak, kan? Menjadi ibu itu adalah hadiah terindah bagi seorang wanita. Kami harap kamu juga bisa segera merasakan kebahagiaan itu."
Aku terdiam sejenak. Kata-kata itu seperti sebuah petunjuk bahwa mereka mulai memperhatikan kekuranganku, atau mungkin lebih tepatnya, kekuranganku dalam memberikan mereka cucu. "Aku... aku ingin, Mama," kataku pelan. "Tapi kadang rasanya belum waktu yang tepat."
Papa menyentuh bahuku dengan lembut. "Tidak ada waktu yang tepat, Caca. Ketika anak itu datang, semuanya akan terasa benar. Jangan khawatir, kamu pasti akan menjadi ibu yang hebat, seperti Belinda."
Mendengar itu, aku merasa semakin terpojok. Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa aku tak bisa memenuhi harapan mereka? Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa semua ini terasa semakin sulit, dan aku merasa semakin terpinggirkan? Semua perhatian mereka kini tercurah pada Belinda dan anaknya, dan aku hanya bisa mendengarkan ucapan mereka tanpa bisa memberikan jawaban yang diinginkan.
Belinda yang sedang duduk dengan bayi di pangkuannya tersenyum, seolah mengetahui betul perhatian yang tertuju padanya. "Terima kasih, Mama, Papa. Aku bahagia sekali bisa memberikan kebahagiaan ini. Semoga Caca juga segera merasakan kebahagiaan yang sama."
Kata-kata itu kembali membuat hatiku terasa sakit. Aku mencoba untuk tersenyum, meskipun rasanya itu begitu sulit. "Terima kasih, Belinda," jawabku, namun suara itu tak bisa menutupi kekecewaanku yang mendalam.
Mama dan Papa terus berbicara tentang anak dan peran ibu yang mereka anggap mulia, tetapi aku merasa semakin terasing. Aku duduk di sana, berusaha menahan air mata yang hampir keluar, merasakan betapa aku semakin jauh dari mereka. Tidak hanya karena aku merasa terpinggirkan, tetapi juga karena aku merasa seperti gagal memenuhi harapan yang mereka tanamkan padaku.
Setelah beberapa waktu, Mama dan Papa pergi untuk membantu Belinda dengan bayinya, meninggalkanku sendirian di meja makan. Aku menundukkan kepala, merasakan kesedihan yang mendalam. "Apakah aku akan selalu seperti ini?" bisikku dalam hati, berusaha mencari jawaban untuk rasa sakit yang terus menghantuiku.
Setelah beberapa hari sejak kelahiran bayi Belinda, aku merasa semakin terabaikan. Setiap kali aku berusaha berbicara dengan Mas Danu, seakan-akan dia hanya setengah hati mendengarku, lebih banyak fokus pada Belinda dan anak mereka. Aku tahu dia berjanji akan selalu menemaniku setelah bayi lahir, namun kenyataannya jauh berbeda.
Suatu malam, aku memutuskan untuk berbicara dengan Mas Danu, ingin mengungkapkan perasaanku yang semakin terluka. Aku menemukannya di ruang keluarga, sedang duduk di samping Belinda, dengan bayi mereka yang tertidur di pangkuannya.
"Mas Danu," panggilku dengan suara yang sedikit bergetar. "Bisa bicara sebentar?"
Mas Danu menoleh dengan sedikit terkejut, seperti baru sadar aku ada di sana. "Oh, Caca. Ada apa? Belinda sedang membutuhkan perhatian, jadi aku—"
"Aku tahu," potongku dengan nada agak tegas. "Tapi kita perlu bicara. Kamu ingat janji kamu, kan? Setelah anak Belinda lahir, kamu akan lebih banyak bersamaku, menemani aku yang merasa kesepian. Kenapa sekarang aku malah merasa semakin terabaikan?"
Mas Danu terdiam sejenak, menatapku dengan wajah yang tampak ragu. "Caca, kamu tahu kan, Belinda baru saja melahirkan, dia butuh banyak perhatian. Aku tidak bisa membiarkan dia merasa sendirian, apalagi dengan bayi yang baru lahir."
"Aku mengerti itu, Mas," jawabku, berusaha menahan amarah yang mulai muncul. "Tapi aku juga membutuhkan perhatianmu. Aku juga istrimu, Mas. Aku merasa seperti aku tidak ada artinya lagi bagi kamu."
Mas Danu tampak ragu, seperti berpikir keras sebelum akhirnya berkata, "Caca, aku... aku hanya ingin memastikan Belinda dan bayinya baik-baik saja. Kamu tahu, ini bukan hal yang mudah. Aku... aku memang lebih fokus padanya sekarang, tapi itu bukan berarti aku melupakan kamu."
"Kenapa kamu harus lebih fokus padanya? Kenapa kamu tidak bisa membagi perhatian itu?" tanyaku, menatapnya dengan mata yang penuh pertanyaan. "Aku sudah berusaha sabar, Mas, tapi ini semakin berat. Aku merasa seperti aku hanya bayangan dalam kehidupan kamu sekarang."
Mas Danu tampak frustasi, memijat pelipisnya. "Caca, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku janji, aku tidak akan pernah melupakan kamu. Tapi ini memang waktu yang sulit bagi kita semua. Belinda dan bayinya membutuhkan aku. Aku tidak bisa membagi diri aku menjadi dua."
"Aku mengerti kamu harus menjaga mereka," jawabku dengan suara lebih rendah. "Tapi jangan lupakan aku begitu saja. Aku juga butuh kamu, Mas. Jangan hanya ada ketika kamu merasa aku membutuhkanmu untuk hal-hal yang mudah. Aku butuh kamu untuk hal yang lebih penting."
Mas Danu terdiam, tidak bisa berkata-kata. Aku tahu dia merasa terjebak antara aku dan Belinda, namun itu tidak membuat rasa sakitku menjadi lebih mudah. Aku menghela napas panjang, merasa air mata mulai menggenang di mataku. "Aku hanya ingin kamu ingat, Mas, bahwa aku masih ada di sini. Aku masih istrimu. Tolong, jangan buat aku merasa seperti orang asing dalam rumah tangga ini."
Mas Danu menunduk, merasa bersalah, tapi tidak tahu bagaimana memperbaikinya. "Aku... aku akan mencoba, Caca. Aku janji, aku akan berusaha lebih baik."
Aku menatapnya, merasa sedikit kecewa dengan janji yang sudah terlalu sering diucapkan, namun tidak pernah terpenuhi. "Aku harap kamu bisa menepatinya, Mas," kataku pelan, sebelum meninggalkan ruangan itu dengan hati yang semakin berat.
Beberapa hari setelah percakapan terakhir kami, aku merasa semakin terasing. Mas Danu dan Belinda terus menghabiskan waktu bersama, sementara aku seakan hanya menjadi penghuni rumah yang tak tampak. Rasa kesepian semakin menggerogoti hatiku, dan aku tahu aku harus berbicara lagi, meskipun aku merasa sudah terlalu lelah untuk terus berjuang.
bantu ngga.
mudah2an mereka bertiga dpt balesanya
blm sadar jga y,ngga minta maaf Ama Dina.
tuh mantan suami Dina kpn dapet karmanya.
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya