realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
apa aku terlaluh diam
Elvanzo menghela napas dalam hati. Setiap kata dan sikap yang Aluna tunjukkan seolah menjauhkan mereka lebih jauh. Meski hatinya ingin melangkah lebih dekat, ia tahu bahwa tidak ada cara instan untuk mengembalikan apa yang pernah mereka miliki. Harapan bahwa suatu hari nanti, Aluna akan berbicara tentang masa lalunya, masih ada dalam dirinya, namun ia tidak tahu kapan itu akan terjadi.
Hari berlalu, dan meskipun banyak pertanyaan yang menggantung di benak Elvanzo, ia memilih untuk tetap bersabar. Tidak ada jalan pintas untuk memahami dan membantu Aluna.
Namun, dalam hati kecilnya, Elvanzo merasa bahwa keheningan dan ketegangan ini akan segera berakhir, mungkin bukan hari ini atau besok, tetapi suatu saat nanti, jika ia tetap memberi waktu dan ruang yang dibutuhkan oleh Aluna. Dan meskipun jarak antara mereka tetap ada, ia tahu bahwa jika ia terus mendekatkan diri dengan sabar, suatu saat nanti—di saat yang tepat—segala hal akan terungkap.
~||~
Sore itu, seperti biasa, Aluna terjebak dalam rutinitas dunia bisnisnya yang sibuk. Grub Aliyan yang terus berkembang dan menjadi lebih besar membuatnya harus lebih fokus dari sebelumnya. Segala laporan, analisa, dan koordinasi dengan tim selalu menguras energi. Tapi di antara deretan tugas yang menumpuk, tak disangka-sangka, ada ketukan keras di pintu kosnya.
Penasaran, Aluna meninggalkan meja kerjanya dan bergegas menuju pintu. Dia membuka pintu perlahan dan seketika, saat melihat siapa yang ada di sana, hatinya berdebar kencang. Elvanzo berdiri di sana, tampak kelelahan dengan ekspresi wajah yang penuh emosi tertahan. Matanya tampak memancarkan keletihan yang begitu dalam, tak hanya fisik tapi juga mental—sesuatu yang jarang ia tunjukkan.
"vanzo?" suara Aluna terdiam sejenak, terkejut dengan kedatangannya.
Tanpa kata, Elvanzo langsung menariknya ke dalam pelukannya dengan gerakan yang penuh keputusasaan dan kelelahan. Aluna sempat terpaku di tempatnya, terkejut dengan tindakan itu. Elvanzo tidak berkata apa-apa, hanya memeluknya erat. Setiap nafas pria itu terasa berat, seperti memikul beban yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri.
Aluna yang semula kaku dan tertegun, perlahan merasakan detak jantung Elvanzo yang begitu cepat dan berat, hampir tidak teratur. Di dalam pelukan itu, ada rasa hangat yang secara tak terduga membuat tubuhnya melunak. Tak berani membalas, ia tetap diam—meskipun hati kecilnya tergerak oleh keadaan Elvanzo yang tampak sangat membutuhkan.
Ketika pelukan itu berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan, Aluna akhirnya menarik napas panjang, mencoba meredakan perasaannya yang begitu banyak bercampur aduk. Setelah beberapa lama, Elvanzo perlahan melepaskan pelukan itu, namun wajahnya masih tertunduk, lelah.
Aluna berdiri di sana, mulutnya tertutup rapat, sulit menemukan kata-kata. Ia tak pernah mengira akan ada momen seperti ini setelah sekian lama menjaga jarak. Namun, melihat betapa rapuhnya Elvanzo, ada satu hal yang menyentuh hatinya.
“Kenapa... kenapa kau datang kemari?” tanya Aluna, suaranya lemah namun mencoba tetap tegar.
Elvanzo menatapnya dengan tatapan penuh keputusasaan. “Aku... tidak bisa melihatmu seperti ini, Aluna. Aku terlalu banyak diam, terlalu jauh. Ada sesuatu yang... aku harus tanyakan. Aku... terlalu banyak tertekan tanpa tahu jawabannya.”
Aluna terdiam, menatap mata Elvanzo yang tampak mencari pengertian dan ketenangan. Rasa takutnya yang dulu kini tercampur dengan kerinduan yang sulit ia ungkapkan. Jarak yang selama ini ia bangun untuk menjaga dirinya, tak mudah untuk dihapus dalam sekejap mata. Tapi melihat Elvanzo seperti ini... ada hal lain yang mulai muncul di hatinya yang tak pernah ia akui.
“vanzo, apa yang sebenarnya terjadi padamu?” suara Aluna tiba-tiba serak, mencoba memahami situasinya lebih dalam.
Elvanzo menghela napas panjang, tangan yang sebelumnya menggenggam kuat tubuh Aluna kini terulur lemas, dan ia melangkah mundur sejenak. “Aku harus bertanya pada diriku sendiri... apa aku melakukan hal yang benar dengan diam? Apa aku terlalu banyak menunggu? Aku terlalu bingung, dan rasa ingin tahu... mengenaimu, Aluna. Kenapa segala sesuatu seperti ini terjadi antara kita?"
Aluna merasa hatinya kembali dipenuhi dengan rasa takut dan kebingungan. Semua ketegangan, masa lalu yang tak terungkap, bahkan pertanyaan besar yang belum terselesaikan menggantung di udara. Ia ingin menjawab, ingin mengungkapkan seluruh perasaannya yang sudah lama tersembunyi, tetapi rasa takut untuk membuka diri itu kembali menghalangi langkahnya.
“Aku hanya ingin tahu jawabannya... tentang masa lalu mu, tentangmu yang selama ini begitu sulit kuhampiri,” kata Elvanzo lirih, seperti meminta pengampunan.
Tapi Aluna masih diam, hatinya bergejolak. Seperti saat itu, seolah ada rintangan besar yang ia bangun, dan tidak tahu dari mana harus memulai.
Kehadiran Elvanzo kini membuatnya lebih bingung daripada sebelumnya. Apa yang harus ia lakukan dengan segala yang belum terselesaikan?
Namun, ada satu hal yang sangat ia sadari, dari tatapan Elvanzo dan kehadirannya yang begitu tiba-tiba—hal yang selalu ia pendam dalam hati—keinginan untuk memulai lagi, dengan segala rasa yang tak terungkapkan.Elvanzo yang melihat Aluna hanya terdiam, tak mampu lagi menahan rasa khawatir yang semakin membanjirinya.
Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah cepat, menggenggam tubuh Aluna yang masih kaku dan membawanya ke luar dari kos. Ia bisa merasakan betapa ringkih tubuh itu, bagaimana ada beban yang sangat berat yang selama ini disembunyikan oleh Aluna.
Meskipun tubuh Aluna tampak kecil dalam pelukannya, ada sesuatu yang berat yang terasakan di antara keduanya, sebuah jarak yang lebih dalam dari yang bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Elvanzo memutuskan untuk mengantarnya ke sebuah tempat yang jauh dari keramaian, tempat yang bisa memberinya ruang untuk bernapas, berharap bisa menghilangkan kecanggungan yang melingkupi keduanya. Ia memasukkan Aluna ke dalam mobilnya dan mulai mengemudi menuju tempat yang tenang—sebuah danau kecil di luar kota, tempat yang sering kali menjadi pelarian saat ia membutuhkan ketenangan.
Mobil melaju dengan lancar, dan suasana sore yang damai serta udara segar seakan menjadi penyejuk bagi Elvanzo, meskipun hatinya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab. Namun, Aluna, di sisi lain, terlihat semakin terpaku, menatap keluar jendela tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ketegangan semakin terasa saat mobil itu berhenti di tepian danau, tempat yang seharusnya membawa kedamaian.
Di sepanjang perjalanan, Elvanzo berkali-kali melirik ke arah Aluna, namun tak ada respons dari gadis itu. Terkadang, ia merasa jengkel dengan diamnya Aluna, tetapi ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk memaksakan apapun. Segalanya seperti berbenturan dalam dirinya—rasa khawatir, keinginan untuk melindungi, serta harapan agar Aluna bisa sedikit terbuka dan memberinya pemahaman.
Mereka duduk bersama di tepi danau, suasana hening mencekam keduanya. Angin sore berhembus lembut, membelai wajah mereka, tapi tetap saja, hening itu tak juga terpecahkan. Aluna memandangi permukaan danau yang tenang, matanya seperti melamun, entah dalam kebingungan atau sesuatu yang lebih berat.
"Aluna," akhirnya Elvanzo memecahkan keheningan dengan suara yang lembut, hampir khawatir suara itu terlalu keras di antara kedamaian malam. "Aku hanya ingin tahu... kenapa kamu begitu menjauh. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semuanya terasa begitu berubah?"
Tetapi Aluna tetap bungkam, hanya diam di sampingnya, fokus pada langit senja yang mulai nampak hilang . Angin terus berhembus, membawa suara alam yang menenangkan, tetapi hatinya tak bisa ia tenangkan. Setiap kata yang ingin ia ucapkan seperti terhenti di tenggorokannya, terkunci rapat.
Melihat Aluna yang tetap tidak menjawab, Elvanzo merasa kecewa, tetapi ia tak bisa memaksanya. Ia hanya berharap jika Aluna bisa berbicara, mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di balik sikapnya yang dingin dan penuh jarak. Tapi ia tahu, mungkin itu tidak akan terjadi malam ini. Mungkin ada hal-hal yang terlalu dalam dan mengerikan untuk diceritakan.
"Tolong beri aku kesempatan," Elvanzo akhirnya bersuara lagi, lebih halus dari sebelumnya. "Aku ingin membantu. Aku ingin memahami."
Di tengah kesunyian itu, hanya suara angin yang menjawab, dan meskipun di dalam dirinya Elvanzo tahu bahwa ia tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi, hatinya tak pernah berhenti berharap. Ia hanya bisa berdoa bahwa waktu akan membawa jawaban, dan mungkin suatu hari nanti, Aluna akan mempercayakan segalanya padanya.
Tapi untuk sekarang, keduanya terjebak dalam kesunyian itu, terpisah oleh sebuah dinding yang lebih tinggi dari sebelumnya, dinding yang hanya bisa dihancurkan jika Aluna merasa cukup siap untuk membiarkan segalanya terbuka.