Takdir Hidup Fatur Hasan Bahri (Derita Menuju Cahaya)
Pagi itu Fatur Hasan Bahri memasuki kelas dengan tatapan tajam dan perasaan yang penuh emosi. Dia mengenggam kuat tangannya. Emosinya naik turun. Ada rasa benci dan dendam di matanya.
Kelas yang biasanya sangat riuh oleh penghuni kelas, ini terasa sunyi. Hanya ada rasa benci dan kemarahan yang kini menguasai diri Fatur. Anak-anak di kelas itu pun nampak ngeri melihat ekpresi wajah Fatur.
Fatur yang dulu seorang kutu buku kini berubah menjadi singa lapar dan siap memangsa siapa saja.
Kemarahan itu bukan didasari tanpa alasan. Malam kemarin sahabat kecilnya telah dibunuh, dan kini dia hendak membalaskan dendam itu.
Dia tidak akan membiarkan pembunuh Astuti, sahabatnya berkeliaran dengan bebas tanpa konsekuensi.
Mata Fatur liar menatapi seluruh ruangan, mencari sosok yang telah membunuh Astuti. Namun sosok yang dia cari tidak ada dikelas. Dia meninju meja dengan cukup keras, membuat anak-anak dikelas itu kaget.
“Akan, ku buat dia seperti Astuti. Dia harus mati,” teriaknya dengan emosi.
“Kematian telah menantimu Vino. Hidupmu akan berakhir. Aku pastikan kau menerima konsekuensi dengan apa yang telah kau perbuat. Dimana kau.” teriaknya menggelegar diseluruh ruangan. Matanya nanar, penuh dengan kemarahan yang tidak terbendung.
Fatur terdiam, saat mendengar langkah berat di belakangnya. “Aku tidak takut.” suara itu terdengar dingin, tajam, menusuk relung hati Fatur.
Fatur tersenyum dingin.
“Vino...” ucap Fatur dengan suara tidak kalah dinginnya.
Sorot matanya tajam, seperti ingin mencabik-cabik orang yang ada didepannya.
“Baguslah kamu menyerahkan diri, tanpa perlu aku susah mencarimu.” seru Fatur.
Vino tersenyum dingin.
“Aku yang akan membunuhmu Fatur.” ketus Vino.
“Baiklah, kita lihat siapa yang lebih dulu membunuh.” jawab Fatur dengan dingin.
Tanpa aba-aba dia meninju wajah Vino, membuat pria itu terjatuh di lantai. Fatur tersenyum sinis.
“Belum apa-apa kau sudah tumbang Vino. Dimana kekuataanmu?” cemooh Fatur.
Vino mengelus sudut bibirnya yang berdarah. Dia tersenyum dingin dan bangkit menghajar Fatur.
“Jangan terlalu sombong. Aku bisa saja membunuhmu.” dengus Vino.
Fatur tersungkur dilantai. Dengan sekuat tenaga Fatur bangkit dengan segala kemarahan di pikirannya. Dia kembali menghajar Vino, Vino juga melakukan pembalasan.
Sedangkan siswi dikelas nampak meringis melihat dua pria itu saling menyerang, dan bahkan ada beberapa berteriak saat pukulan demi pukulan menghantam keduanya.
Perkelahian itu semakin tidak terkendali. Tidak ada yang berani melerai. Siapa pun yang mencoba melerai, mereka akan menjadi sasaran empuk bagi keduanya. Mereka dihajar tanpa ampun.
“Kau terlalu lemah, Fatur.” ujar Vino mengejek membuat Fatur semakin tersulut emosi.
Dia mengambil kursi yang ada didekatnya dan melemparnya ke arah Vino. Namun Vino dengan gesit bisa menghindar.
“Astuti hanya bisa menjadi pahlawan kesiangan. Sama sepertimu. Kau dan dia pantas bersama-sama di neraka sana.” hardik Vino.
Kembali Fatur menyerang Vino, dia menendang tulang rusuk Vino. Merasa terdesak, Vino meraba-raba saku celananya dan dia mengeluarkan belati.
Dan...
Srekk!
Fatur terdiam. Matanya melotot menatap Vino dengan kebencian. Dia merasakan sesuatu yang tajam menembus perutnya.
Vino menyeringai, “Astuti mati, karena dia terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. Kau dan dia tidak ada bedanya, sama-sama bodoh.”
Darah segar mengalir deras dari perut Fatur. Dengan sekuat tenaga, Fatur menendang Vino hingga terjungkal. Dentuman keras terdengar, saat kepala Vino menghantam lantai.
Namun sebelum kehadirannya sepenuhnya hilang, Vino sempat tersenyum membuat Fatur semakin berang.
“Berakhir sudah kehidupan aku di dunia. Selamat tinggal dunia. Dunia tanpa aku semuanya akan baik-baik saja. Aku tanpa dunia, menyedihkan.”
Dia menginjak perut Vino berkali-kali hingga Vino menemui ajalnya ditangan Fatur. Fatur tersenyum puas. Dia merasa senang telah membalaskan dendamnya atas kematian sahabatnya.
Bayangan Astuti bersimbah darah memenuhi pikirannya. Dia tersenyum getir, dan dia terduduk diatas lantai.
“Dia sudah mati As. Aku sudah membalaskan dendamu.”
Dia menghela napas berat, “Tapi tetap saja kau tidak akan pernah kembali lagi. Aku tetap kehilangan dirimu, walaupun pembunuhmu telah mati.” ucapnya mengusap-usap wajahnya dengan kasar.
Serine polisi bergema di luar gedung kelas. Perkelahian itu telah mencapai akhir yang berdarah.
Takdir sudah menetapkan seorang anak remaja menemui takdirnya menghadap ilahi.
Serine, polisi yang bergema disepanjang jalan membuat perhatian para warga teralihkan. Di sore yang mendung mereka dikejutkan dengan serine polisi dan ambulan. Mobil ambulance polisi berhenti di sebuah rumah tua dengan cat rumah yang sudah mulai mengelupas.
Seorang perempuan, setengah baya bernama Halimah dengan wajah penuh garis kesedihan, sedang duduk di kursi ruang tamu.
Tatapannya kosong menatap jendela, seperti tengah menanti sesuatu. Tapi dia tidak tahu apa yang dia nanti.
Perhatiannya teralihkan saat mendengar serine polisi dan ambulance berhenti di depan rumahnya. Pintu rumahnya diketuk dengan pelan. Dadanya langsung berdebar. Dia bingung saat melihat ada dua orang polisi saat membuka pintu.
“Bu Halimah...” ucap seorang petugas polisi terdengar berat namun tegas.
“Kami, membawa pulang anak ibu.” seketika Halimah membisu.
Sejenak darahnya berhenti mengalir.
Matanya tertuju ada kantong jenazah. Perlahan dia melangkah mendekati kantong jenazah itu.
Tangannya tiba-tiba bergetar. Perlahan dia membuka resleting kantong jenazah tersebut.
Halimah membeku. Seketika airmatanya menetes begitu deras.
Wajah Vino yang pucat, penuh luka-luka adalah pemandangan yang mengiris hatinya saat pertamakali membuka kantong jenazah.
“Kenapa akhir hidupmu menjadi tragis seperti nak?” tanya Halimah dengan suara gemetar.
Seorang wanita dari kerumunan orang yang datang melihat keadaan pun mendekati Halimah.
“Sabar ya bu. Ayo kita bawa nak Vino kedalam. Semua orang tahu, dia anak yang baik.”
Halimah hanya diam menatapi sang putra dengan tatapan sendu.
“Siapa yang melakukan ini padamu nak? Jika mereka tahu betapa menderitanya hidupmu didunia, apakah mereka sanggup melakukan ini padamu?” Halimah mulai terisak dalam diam.
Bayangan masa lalu menyeruak dalam pikirannya. Vino kecil berlari-lari dengan wajah cerita. Dengan wajah polosnya, dia memetik bunga mawar yang ada didepan rumahnya dan memberikan pada Halimah.
Dia tersenyum polos.
“Untuk ibu.”
Air mata Halimah jatuh tanpa bisa dihentikan.
“Saat Vino besar nanti, Vino janji akan buat ibu bahagia... Kita akan tinggal disebuah rumah yang indah. Hanya aku dan ibu yang tinggal disana.”
Tapi sekarang putranya tidak bisa lagi berjanji dan menepati janjinya. Bahkan berbicara pun tidak lagi. Halimah tersenyum getir. Halimah memeluk kantong jenazah itu dan mencium wajah putranya yang penuh luka.
“Kalau saja ibu bisa memberika kehidupan yang layak dan bahagia, hidupmu tidak akan berakhir seperti ini nak. Maafkan ibu, tidak bisa membahagiakanmu. Maaf ibu terlalu lemah menghadapi ini semua.” isaknya hampir tidak terdengar.
Semua orang yang ada disana nampak diam, mereka prihatin melihat kehidupan Halimah yang terus didera masalah.
Para warga kembali membujuk dan mengingatkan Halimah. “Ayo bu, kita bawa Vino kedalam. Kasihan Vino, dia kedinginan jika lama diluar.”
Beberapa warga maju hendak mengangkat jenazah Vino. Namun Halimah menolak itu.
“Biarkan saya yang bawa dia masuk. Dulu dia sering saya gendong, sekarang biarkan sya gendong dia untuk terakhir kalinya.” ucap Halimah dengan tegas.
Warga yang tadi hendak mengangkat jenazah Vino, kembali mundur.
Dengan sisa kekuataan yang dia miliki, Halimah membuka kantong jenazah itu dan membopongnya masuk kedalam rumah. Saat hendak masuk kedalam rumah, bayangan masa lalu kembali menyeruak pikirannya.
Vino kecil memohon pada ibunya untuk pergi dari rumah, supaya mereka tidak terus berhadapan dengan ayah mereka yang kasar. Namun karena kecintaannya pada sang suami, dia menolak permintaan sederhana sang anak.
“Kita harus kuat Vino. Semuanya akan menjadi lebih baik, jika kita kuat dan sabar.” kata Halimah saat itu.
Halimah memandikan jenazah anaknya untuk terakhir kalinya. Dia juga ikut mengkafankan anaknya. tangannya gemetar menyentuh jenazah sang anak, dan dia mencium-ciumnya berkali-kali. Karena setelah ini, dia tidak akan pernah bisa menciumnya lagi.
“Selamat jalan nak, semoga rasa sakitmu dihadiahkan surga oleh Allah.” ucap Halimah tersenyum getir.
Sedangkan di penjara, Fatur bersandar di dinding selnya. Matanya kosong menatap jeruji besi di depannya. Tidak ada penyesalan di wajahnya. Yang hanya ada senyuman penuh kemenangan setelah berhasil membalas dendam.
Fatur menatap sinis luar jeruji saat melihat siapa yang datang. Dia menghela napas kasar.
“Mau apa kau menemuiku?” tanyanya dingin tanpa menoleh sedikitpun.
“Aku turut prihatin dengan apa yang terjadi padamu saat ini.” suara lembut itu menjawab dengan wajah sedih.
Entah wajah sedih itu tulus, atau hanya dibuat-buat.
Fatur tertawa kecil. Tawa terdengar seperti ejekan.
“Tidak usah sok peduli, kamu senang kan aku begini?” katanya dingin.
“Aku benar-benar peduli dengan mu Fatur.” mata Eva mulai berkaca-kaca.
“Aku masih menginginkanmu.”
Fatur tersenyum sinis,”Kata-kata tolol yang pernah ku dengar.”
Dia tertawa hambar, “Bagaimana kau menginginkan dua laki-laki sekaligus hah? Kau menginginkan anak dan juga ayahnya. Apa kamu waras Eva?”
Eva menunduk. Dia terdiam, tidak bisa membantah apa yang dikatakan oleh Fatur.
Fatur menghela napas pelan. “Lihat Astuti...”
“Dia mati dengan tenang, karena dia mati demi menyelamatkan nyawa orang. Bukan seperti kau, jual diri demi harta.” sembur Fatur.
“Pergi, atau kau akan bernasib sama dengan Vino. Apakah kau sudah bosan hidup? Jika iya, aku bisa mengirimu seperti Vino ke neraka sana.” ketus Fatur.
Eva memutuskan mundur, saat melihat sorot mata Fatur seakan-akan ingin mencabiknya. Tanpa berkata, dia meninggalkan penjara. Fatur tersenyum dingin melihat kepergian Eva.
Tangan Fatur terkepal erat. Wajahnya menegang, bukan karena sakit akibat luka yang dia terima, tapi lebih kemarahan yang belum usai. Kemarahannya masih membara di dadanya.
Dimatanya, keadilan telah ditegakkan. Nyawa dibalas dengan nyawa. Nyawa yang hilang itu sebagai harga yang harus dibayar oleh Vino.
Namun dalam kesunyian penjara, bayangan Astuti terus menghantuinya. Bahkan disetiap sudut ruangan, dia melihat bayangan Astuti dengan senyum manis diwajahnya, selalu penuh kasih sayang.
Namun tiba-tiba senyum dan kelembutan itu berubah dengan tatapan kosong seperti terakhir kali dia lihat, saat Astuti menghembuskan napas terakhirnya.
“Astuti...” desisnya.
Dia ingin mengapai bayangan itu, namun setiap dia ingin mengapainya, bayangan itu hilang dan berlari disudut ruangan lain. Fatur terus mengejarnya, bayangan itu terus berlari menjauhinya.
Senyum Fatur mengembang saat melihat bayangan Astuti.
“Astuti, aku kangen...” saat hendak memeluk bayangan itu, bayangan Astuti menghilang, dan berlari disudut ruangan lain.
Para polisi yang melihat Fatur seperti itu, menjadi heran dan ada juga terlihat prihatin. Selama dia dimasukan kedalam sel, mereka tidak melihat keluarga Fatur datang menjenguknya, kecuali Eva.
Fatur terus ingin mengejar bayangan itu, namun yang dia ngapai hanya angin. Bayangan itu kemudian hanya diam dengan senyum mengukir di wajahnya dan mengulurkan tangannya.
Fatur perlahan mendekati bayangan itu dan ingin meraih tangannya. Namun sekali lagi, bayangan itu menghilang. Saat menghilang, bayangan itu sudah tidak muncul lagi di sudut-sudut lainnya.
“Jangan pergi...” suara Fatur terdengar memohon.
Namun bayangan itu malah tersenyum, berpindah dari sudut ke sudut ruangan, “As, jangan pergi. Ku mohon...” lirihnya.
Kesadarannya perlahan kembali. Seketika Fatur menutup wajahnya. Dia menyadari bahwa yang dia lihat hanya ilusi semata.
Dia terlihat frustasi dan berteriak dengan keras meninju dingin jeruji dengan keras, sampai kedua tangannya berdarah.
Melihat itu, dua orang polisi memasuki kamar jeruji Fatur dan mencoba menenangkannya.
Fatur tersungkur dengan wajah frustasi. Dia menangis, sampai terisak-isak.
“Aku hanya punya dia, tapi tuhan malah mengambilnya. Dunia itu tidak adil bagiku. Dunia ini hanya untuk para pengkhianat.” teriaknya seperti orang gila.
Suaranya melengking penuh luka.
Para polisi itu berusaha menenangkan dan menahan tubuh Fatur agar tidak menyakiti dirinya sendiri.
Seorang polisi lainnya mengobati luka ditangan Fatur dan membalut luka tersebut.
Dibalik jeruji besi yang dingin, Fatur bersandar pada jeruji besi dengan wajah sayu dan air matanya terus saja mengalir di pipinya. Bibirnya terus bergumam memanggil nama Astuti. Wanita satu-satunya yang peduli dan selalu menyemangati saat dia ada masalah.
Dimana keluarganya? Jangan ditanya, dia anak laki-laki pertama yang memikul bebannya sendiri. Dia tidak mau bercerita sama ibunya atau pun adik-adiknya, karena tidak mau mereka masuk kedalam masalahnya.
Ayahnya Hasan Bahri memiliki berbagai ternak. Namun sebelum dia memiliki usaha itu, ibunya yang menjadi tulang punggung keluarga.
Ibunya yang mencari duit untuk kebutuhan sehari-hari. Ibunya bekerja sebagai pencari kerang di laut, dan setiap tahunnya beliau berladang atau menanam padi.
Tapi Hasan Bahri yang statusnya sebagai kepala keluarga, hanya bisa makan tidur dirumah, tanpa mau bekerja nyari duit dan membantu ibunya di ladang. Setiap harinya dirumah mereka, selalu dihiasi pertengkaran demi pertengkaran, yang membuat Fatur semakin muak.
“As... jika kau tidak ada, siapa yang akan menolongku dan menyemangatiku? Ayah dan ibuku sudah bercerai, adik-adikku menghilang... apa yang harus aku lakukan tanpamu As?” lirihnya.
Airmatanya terus mengalir deras. Sejenak dia menatap tangannya yang diperban. Dia tersenyum getir.
“Luka ini, tidak ada apa-apanya daripada kehilangan kamu As.” Fatur menghela napas berat.
Para polisi yang tadi menenangkan Fatur, mengawasi Fatur dari balik jeruji. Salah satu dari mereka, pria yang berumur empat puluh tahun menghela napas berat.
“Kasihan sekali dia. Dia nampak begitu terpukul.” gumamnya lirih.
Rekan di sebelahnya, yang lebih muda mengelengkan kepalanya. “Kasihan ataupun tidak, dia tetap seorang pembunuh.” ujarnya dingin.
Pria empat puluh tahun itu menatap pria muda itu dingin.
“Tidak usah langsung berpendapat dia manusia yang paling jahat di muka bumi ini, karena dia pembunuh. Apa kamu tidak bertanya-tanya kenapa dia membunuh? Tentu saja karena ada sebab. Hanya orang gila yang membunuh orang tanpa alasan yang jelas. Kita memang tidak boleh menormalisasikan pembunuhan, tapi kita juga nggak bisa langsung mengklaim dia pembunuh dan jahat.” jelas pria itu dengan dingin, lalu meninggalkan polisi muda itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
IamEsthe
Koreksi dialognya kurang tepat sedikit.
"Akan kubuat dia bla bla bla mati," teriaknya bla bla bla.
kenapa akhiran tanda pada dialog tanda koma (,)? Krn kamu masih menggunakan kata 'teriak' yang merajuk jika percakapan dialog itu masih berlanjut. biasanya masih diiringi dg kata ujar, decak, deham, katanya dll. itu pake tanda koma (,)
kalo tanda titik (.), merajuk jika percakapan dialog sudah berakhir. biasanya ditandai dgn aksi yang menyertai dialog.
semisal,
"Akan kubuat dia bla bla bla mati." Genggaman tangannya semakin kuat menahan emosi yang sedang bergejolak di dalam dadanya.
2025-03-21
1
Serenarara
Perbuatan bodoh yang gak bertanggung jawab. Gausah victim mentality bu, anak sendiri ditumbalin.
2025-03-22
1
Musang Bulan
Aku mampir, membawa rindu yang menggebu. Semangat ya Kak....
2025-03-28
0