Jejak Tanpa Nama mengisahkan perjalanan Arga, seorang detektif muda yang berpengalaman dalam menyelesaikan berbagai kasus kriminal, namun selalu merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Suatu malam, ia dipanggil untuk menyelidiki sebuah pembunuhan misterius di sebuah apartemen terpencil. Korban tidak memiliki identitas, dan satu-satunya petunjuk yang ditemukan adalah sebuah catatan yang berbunyi, "Jika kamu ingin tahu siapa yang membunuhku, ikuti jejak tanpa nama."
Petunjuk pertama ini membawa Arga pada serangkaian kejadian yang semakin aneh dan membingungkan. Saat ia menggali lebih dalam, ia menemukan sebuah foto yang tampaknya biasa, namun menyembunyikan banyak rahasia. Foto itu menunjukkan sebuah keluarga dengan salah satu wajah yang sengaja dihapus. Semakin Arga menyelidiki, semakin ia merasa bahwa kasus ini lebih dari sekadar pembunuhan biasa. Ada kekuatan besar yang bekerja di balik layar, menghalangi setiap langkahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dyy93, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejaran Tanpa Henti
Setelah menerima informasi dari Eka, Arga dan Alya segera menyusun rencana untuk bertemu dengan Rian. Mereka tahu waktu sangat berharga. Helios yang semakin berkembang dan ambisi David Wijaya yang tak terelakkan semakin dekat dengan puncaknya. Setiap menit yang mereka tunda bisa menjadi ancaman besar bagi keselamatan mereka dan dunia.
Lokasi yang Eka berikan berada di salah satu sudut kota yang lebih terabaikan, jauh dari perhatian publik. Sebuah kompleks apartemen tua yang sudah lama tidak terurus. Mereka berharap bisa menemui Rian tanpa meninggalkan jejak yang mencurigakan. Tetapi Arga merasakan semakin berat beban yang ada di pundaknya. Setiap langkah semakin terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca yang siap menghancurkan mereka kapan saja.
Mereka tiba di kompleks apartemen itu saat matahari baru saja tenggelam, meninggalkan langit yang kemerahan. Tidak ada orang lain yang tampak di sekitar. Hanya ada beberapa mobil tua yang diparkir acak di jalanan yang sunyi. Ketika mereka menginjakkan kaki di lantai dasar gedung, kesunyian semakin menekan. Arga merasakan bahwa mereka tidak sendirian, meskipun tidak ada siapa-siapa di sekitar mereka.
“Apakah ini tempat yang benar?” tanya Alya, matanya memindai lingkungan sekitar dengan waspada. “Terlihat sepi dan terabaikan. Ini tidak terlihat seperti tempat yang akan digunakan seseorang untuk bersembunyi.”
Arga memeriksa alamat yang diberikan Eka sekali lagi. "Ini benar. Rian harus ada di sini. Tapi kita harus hati-hati. Tempat ini terlalu sepi untuk jadi kebetulan."
Mereka mulai mendekati pintu masuk utama, namun tiba-tiba mereka mendengar suara langkah kaki yang berat mendekat dari belakang. Tanpa berpikir panjang, mereka berdua bergerak cepat ke sisi gedung, bersembunyi di balik dinding, berusaha menghindari siapapun yang sedang mendekat.
Arga menahan napasnya, mencoba mengendalikan detak jantung yang makin cepat. “Alya,” bisiknya, “kita harus tetap tenang. Jangan sampai ada yang tahu kita di sini.”
Alya mengangguk pelan. Wajahnya tegang, matanya menyelidik setiap sudut di sekitar mereka. Suara langkah itu semakin dekat, hingga akhirnya sebuah siluet muncul dari ujung lorong. Seorang pria bertubuh kekar dengan jas hitam yang dikenakan dengan sangat rapi berjalan melewati mereka tanpa curiga. Namun, ada sesuatu dalam cara pria itu bergerak yang memberi Arga firasat buruk.
“Siapa dia?” bisik Alya.
Arga mengernyit. “Aku tidak tahu. Tapi dia tampaknya bukan orang biasa. Kita harus hati-hati.”
Mereka menunggu beberapa detik setelah pria itu berlalu, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengintai mereka. Setelah merasa aman, mereka kembali melanjutkan langkah mereka menuju pintu apartemen yang tertera pada alamat tersebut.
Saat mereka mengetuk pintu, suasana hening mengisi ruang di sekitar mereka. Mereka menunggu dengan cemas, namun tidak ada suara dari dalam. Arga kembali mengetuk pintu lebih keras, namun masih tidak ada jawaban. Waktu terus berlalu, dan kegelisahan mulai merayapi mereka.
Tiba-tiba, suara dari dalam terdengar. Sebuah kunci diputar, dan pintu terbuka sedikit. Seorang pria dengan wajah kusut dan pakaian yang agak berantakan muncul di balik pintu. Pria itu menatap mereka dengan penuh kecurigaan.
“Arga... Alya...” suara pria itu terputus, tampaknya terkejut melihat mereka. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
"Rian?" tanya Arga dengan cepat, matanya mencari konfirmasi. "Kami datang untuk menemui Anda. Kami butuh informasi tentang Helios. Eka mengirim kami."
Rian menatap mereka lebih lama, seolah mencoba menilai apakah mereka benar-benar bisa dipercaya. Namun, akhirnya dia membuka pintu lebih lebar dan memberi mereka isyarat untuk masuk.
“Cepat, masuk ke dalam. Ini bukan tempat yang aman untuk berbicara,” ujar Rian, suaranya terdengar gelisah.
Begitu mereka melangkah masuk, Rian menutup pintu dengan cepat dan mengunci pintu dari dalam. Ruangan itu sangat sederhana, penuh dengan barang-barang elektronik yang tampak sudah usang, serta beberapa dokumen yang tersebar di atas meja. Rian terlihat jelas sangat berhati-hati dengan setiap gerakannya.
"Baiklah, kalian harus tahu ini," kata Rian, suara seriusnya menggema di ruangan itu. "Apa yang kalian cari, Helios, lebih dari sekadar proyek teknologi. Itu adalah proyek yang dirancang untuk mengubah segalanya. David Wijaya sudah lama bekerja dengan pihak-pihak yang tidak kalian ketahui. Mereka bukan hanya orang-orang di balik proyek ini, tetapi juga orang-orang yang mengendalikan segala hal di dunia ini."
Arga dan Alya duduk di kursi yang disediakan, mendengarkan dengan seksama. Rian melanjutkan ceritanya dengan suara rendah.
“Helios bukan hanya soal inovasi. Ini adalah alat kontrol—kontrol terhadap pasar, informasi, bahkan pola hidup manusia. Mereka ingin mengendalikan dunia tanpa ada yang menyadarinya. Semua orang yang terlibat, dari David hingga orang-orang yang membiayai proyek ini, tahu apa yang mereka lakukan. Dan mereka tidak akan berhenti sampai semua terwujud.”
Alya menahan napas. “Tapi apa hubungannya dengan David Wijaya? Mengapa dia begitu terobsesi dengan Helios?”
Rian menggelengkan kepala, matanya menyipit. “David bukan satu-satunya orang yang bertanggung jawab. Ada kelompok besar yang mengendalikan segalanya. Kelompok ini mengendalikan informasi global, data besar, dan mereka sudah mempengaruhi keputusan-keputusan besar di seluruh dunia. Helios adalah bagian dari rencana besar mereka untuk menciptakan dunia yang mereka inginkan. Mereka ingin mengontrol semua aspek kehidupan manusia.”
Arga merasakan dingin yang mengalir di sekujur tubuhnya. Semua yang mereka dengar semakin membuatnya sadar bahwa apa yang mereka hadapi jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Helios bukan hanya ancaman bagi masa depan teknologi, tetapi untuk kebebasan manusia itu sendiri.
“Kami harus menghentikan mereka,” kata Arga dengan suara yang keras, merasa semakin yakin bahwa mereka tidak bisa mundur lagi.
Rian menatap mereka dengan ragu. “Jika kalian serius, kalian harus siap menghadapi konsekuensinya. David dan kelompok ini memiliki banyak kekuatan. Mereka punya tentakel di seluruh dunia. Jika kalian menggali terlalu dalam, kalian bisa berisiko kehilangan nyawa.”
Alya menatap Rian dengan tegas. "Kami sudah siap menghadapi risiko itu. Apa yang kita lakukan sekarang?"
Rian berpikir sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah map tebal dari lemari di dekatnya dan meletakkannya di meja. "Ini adalah data yang aku ambil sebelum aku keluar dari Helios. Jika kalian bisa menggunakannya dengan baik, kalian mungkin masih punya kesempatan untuk menghentikan rencana mereka. Tapi ingat—dunia yang kalian kenal sekarang bisa berubah seketika."
Arga dan Alya saling memandang. Mereka tahu bahwa langkah selanjutnya akan menentukan semuanya. Dengan informasi yang baru mereka dapatkan, mereka harus bergerak cepat. Waktu mereka semakin sempit, dan bahaya semakin mendekat.
Namun, tidak ada jalan mundur. Mereka sudah terjebak dalam permainan ini, dan mereka hanya punya satu pilihan: terus maju, atau dunia yang mereka kenal akan jatuh ke dalam kekuasaan yang tidak pernah mereka bayangkan.
---