Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin terlihat busuknya.
Perempuan yang menyentak tangan Nina dari Budi tadi adalah Novi, mantan wali kelas anaknya.
"Mas Budi ngapain sama dia! Mas tau ngga dia ini yang bikin aku di pecat dari sekolah waktu itu!" adu Novi bergelayut manja pada Budi.
Merasa tak tahan melihat pemandangan keduanya, Nina memilih segera berlalu dari hadapan mereka.
"Nin tunggu!" Budi memilih menyentak tangan Novi dan meninggalkannya begitu saja.
Baginya saat ini dia harus menjelaskan pada Nina agar wanita itu tak salah paham padanya.
Kacau si Novi. Bisa gagal rencanaku!
Novi juga tak tinggal diam saat melihat sang kekasih justru mengabaikannya, dia pun ikut menyusul keduanya.
Novi adalah kekasih Budi, mereka terpisah karena Novi di pindahkan ke kota lain oleh Dinas Pendidikan. Selama ini Budi membohongi Nina karena memang mengincar harta Nina.
Sekarang dia sangat takut rencananya jadi berantakan gara-gara kemunculan Novi.
"Nina tunggu, tolong dengarkan Mas. Jangan seperti ini!" ucap Budi memohon.
"Apa yang perlu di jelaskan Mas, kita ngga punya hubungan apa pun jadi aku rasa ngga ada yang perlu mas Budi jelaskan," jawab Nina datar.
Bohong kalau Nina tak merasakan sakit hati saat melihat Novi bergelayut pada Budi. Nina memang memiliki perasaan pada duda itu, karena sifat perhatiannya.
Namun kali ini Budi sudah sangat keterlaluan menurut Nina, dia merasa telah di bohongi dan di beri harapan palsu oleh Budi.
"Eh janda gatal, jangan berani-berani ngedeketin mas Budi, dia ini kekasihku!" hina Novi.
Nina yang merasa kesal dengan ucapan Novi lantas berbalik menatap Novi tajam.
"Dari tadi Bu Novi selalu menghina saya, memang ibu pikir saya merayu kekasih Anda? Saya ingatkan ya Bu Novi, saya ngga punya hubungan apa pun dengan kekasih Anda ini. Jangan sembarangan berucap, ibu ini seorang pengajar kan? Ngga malu sama predikat ibu?" balas Nina datar.
Novi bungkam, dia ingin membalas tapi tak berani sebab saat ini banyak yang memperhatikan mereka, terlebih lagi dia sedang mengenakan seragam pegawai negeri.
Novi ke kota itu bersama dengan rekan sesama pengajar di sekolah barunya. Dia yang sudah lama tak bertemu dengan Budi memutuskan untuk menemui kekasihnya di pasar.
Namun hatinya sangat panas saat melihat sang kekasih justru tengah bersama dengan wanita yang membuatnya dulu di berhentikan secara tidak hormat.
Budi sendiri kelabakan karena tengah berada di antara dua orang wanita yang dekat dengannya.
Dia memang kekasih Novi, tapi saat tau masa depan Novi tak jelas karena masalah yang ia timbulkan di sekolah dulu, Budi memilih mengabaikannya dan mencari mangsa baru.
Bertemulah dia dengan Nina, janda kaya yang memiliki usaha yang di impikan banyak orang, yaitu usaha sembako haji Mursih.
Budi merasa akan semakin susah mendapatkan Nina setelah kejadian ini.
Nina memilih bergegas meninggalkan keduanya setelah puas membalas hinaan Novi.
Budi menatap Novi jengah, "kamu apa-apaan sih Nov! Sembarangan aja kalau ngomong, Nina jadi marahkan!"
Novi merasa tak terima karena sang kekasih justru membela Nina. "Kok kamu justru membela dia sih mas! Ingat aku ini kekasihmu! Jangan bilang kamu mau buang aku begitu aja. Ngga bakal bisa mas, aku pasti akan terus menuntut kamu!" ancamnya.
Budi mengusap kasar wajahnya, semakin rumit hidupnya kali ini, sudah Nina belum dia taklukkan, kini Novi kembali muncul dalam hidupnya.
.
.
Nina termenung sambil menatap foto keluarga kecilnya.
Foto dirinya beserta suami dan Rima yang masih kecil. Tanpa terasa air mata keluar dari sudut matanya.
Maafkan aku mas, karena telah melupakan janjiku. Mungkin ini teguran agar aku lebih fokus membesarkan Rima saja.
Nina menatap sendu foto itu lalu mengusapnya secara perlahan. Dia merindukan suaminya, sudah lama sekali dia tidak mendatangi makam suaminya karena berada jauh di kampung halaman sang suami.
Namun dia agak segan ke sana sebab ingatan pahit tentang hubungannya dengan mantan mertua dan keluarga mendiang suaminya, masih sangat membekas di hatinya.
Dia ingat betapa berubahnya orang tua mendiang suaminya saat memutuskan merampas semua warisan suaminya.
Hanya rumah yang di tempatinya daj rumah lama orang tuanya yang di ambil oleh mertuanya, karena mereka tak tau jika Nina dan Handoko sudah membeli rumah itu dari Dibyo.
Nahasnya, justru rumah itu di jual oleh Dibyo. Lengkap sudah penderitaan Nina dan Rima.
Nina ingat saat itu bahkan dia mengiba agar dia di beri modal untuk usaha agar bisa membesarkan Rima dari uang pesangon suaminya.
Namun dengan kejam mantan mertuanya justru tak peduli, mereka berkata bahwa mereka lah yang lebih berhak dengan peninggalan mendiang Handoko.
Ingatan pahit itulah yang berimbas pada Nina akhirnya harus pergi meninggalkan Rima. Semua kejadian buruk putrinya Nina merasa berawal dari sikap serakah keluarga suaminya.
Nina memukul pelan dadanya yang terasa sesak jika mengingat kejadian memilukan itu.
Akan tetapi rasa rindu dan bersalah pada sang suami tak bisa dia enyahkan begitu saja, Nina mungkin akan tetap berkunjung ke sana tanpa perlu bertemu dengan mantan mertua dan keluarga mendiang suaminya.
.
.
Di kediaman Tyas, ibu hamil itu terkejut kala mendapati sang ibu kembali bersama adiknya.
Tyas pikir ibunya pasti memegang uang banyak karena bisa membebaskan adiknya. Hal itu tentu saja tak bisa di terimanya.
Di saat dia sendiri tengah sibuk dengan hutang-hutangnya, sang ibu justru lebih memilih membebaskan adiknya dari pada membantunya.
"Bu! Kenapa malah bebasin Dita? Kalau emang ibu punya uang kenapa ibu ngga bantu aku dulu!" bentaknya tak terima.
Dita melenggang tak peduli, dia sangat ingin istirahat di kamar. Meski harus berbagi ranjang dengan sang ibu, Dita merasa lebih baik dari pada tidur di dalam penjara yang hanya beralaskan tikar.
"Udahlah Yas, hutang kamu dan Yanto kan urusan kalian. Dita masih tanggung jawab ibu, ngga mungkin ibu biarkan Dita menderita," jelas Titik.
Tyas merasa tak terima, dirinya memikirkan bagaimana kalau nanti rumah ini harus di jual karena mereka tak membayar hutang, lalu akan tinggal di mana mereka kelak.
"Lagian ngapain ibu ngurusin anak itu, dia itu bisanya hanya menyusahkan saja!" bentak Tyas.
Dita yang sejak tadi mendengarkan perdebatan kakak dan ibunya lantas keluar, dia tak terima jika di katakan biang kesusahan ibunya.
"Jaga mulut kamu mbak! Justru kamu yang selalu menyusahkan ibu! Kamu ngga amnesia kan? Lagi pula, aku mencopet demi bisa memberi ibu uang, bukan seperti kamu yang justru hanya bisa menggerogoti uang ibu!" balas Dita tak terima.
"Lancang kamu!" bentak Tyas lalu mendaratkan tamparan di pipi sang adik. Dita sedikit terhuyung karena pukulan Tyas lumayan keras.
Titik menjerit, lalu segera memeluk tubuh anak bungsunya.
"Diam kamu Tyas! Berani sekali kamu memukul Dita! Ibu ngga pernah mengajarkan kalian untuk saling menyakiti!" pekik Titik.
"Oh, bagus, jadi sekarang kalian berani sama aku? Kalau begitu silakan angkat kaki dari rumahku! Pergi kalian!" usir Tyas sambil menunjuk keduanya.
Sesaat tubuh Titik bergetar, karena tak percaya dengan ucapan putri sulungnya yang tega mengusirnya.
Namun setelah dia bisa menguasai diri lagi, Titik balas menatap Tyas dengan tajam.
Tyas sendiri masih melotot sambil berkacak pinggang.
Titik lantas berdiri menghadap Tyas dan melindungi Dita di belakangnya.
"Ngga usah sok kamu Yas, kamu pikir kalau ibu dan Dita pergi dari sini kamu mau makan apa hah!" ucap Titik tajam.
"Ingat, suami yang kamu cintai itu saja ngga tau di mana batang hidungnya. Pakai otak kamu, kalau selama ini kebutuhan makan kamu dan Ziva berasal dari uang ibu."
Titik sangat kesal dengan putri sulungnya yang tak tau diri, dia tak mau mengalah lagi, sebaliknya kini dia ingin bersikap tegas pada Tyas meski terkesan terlambat.
"Kalau kami pergi, tentu ibu dan Dita bisa tetap melanjutkan hidup. Sedangkan kamu?" cibir Titik.
Tyas hanya bisa mengepalkan tangannya. Dia tak bisa menampik jika dirinya dan Ziva bergantung pada penghasilan Titik sebagai buruh cuci.
"Kenapa diam? Baru sadar?" cebik Titik lalu meninggalkan Tyas bersama dengan Dita.
Sejujurnya Titik tak bermaksud menyakiti hati Tyas dengan berkata seperti itu. Namun dia sendiri sudah lelah dengan sikap putri sulungnya yang mau menang sendiri.
Sekarang dia sendiri sedang bingung bagaimana membayar hutang-hutang Tyas dan Yanto. Meminta bantuan Dibyo akan sangat sulit pastinya karena dia sudah kepergok oleh Nina.
Titik tau Nina pasti akan lebih ketat menjaga agar dirinya tak kembali masuk ke rumah itu.
"Ah sial!"
.
.
.
Tbc.