Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kembali ke pelukanmu
Dayu merasa hatinya terbakar amarah saat mengetahui ibunya, Ibu Saraswati, memutuskan untuk membantu Dimas mendekati Nanda kembali. Ia tahu betul betapa menyakitkan masa lalu yang dialami kakaknya karena Dimas. Namun, sebagai anak yang menghormati ibunya, Dayu hanya bisa menahan diri dan memilih untuk berbicara langsung dengan Nanda.
Di sore yang tenang, Dayu menunggu Nanda di kafe tempat biasa mereka mengobrol. Wajahnya tampak gelisah saat Nanda tiba dengan senyum lelah setelah seharian bekerja.
"Ada apa, Yu? Kamu kelihatan nggak enak hati," tanya Nanda sambil menyiapkan dua cangkir teh hangat.
Dayu menarik napas dalam sebelum berbicara, "Mbak... Aku harus bilang ini, biar kamu nggak kaget nanti. Ibu... dia... dia mau bantu Dimas buat balik sama kamu."
Nanda terdiam sejenak, merasakan denyutan sakit di dadanya. Bayangan masa lalu yang menyakitkan kembali muncul dalam benaknya. "Kenapa Ibu bisa sampai begitu? Bukankah dia tahu apa yang aku alami dulu?"
"Karena Dimas... dia pintar merayu. Ibu masih terpesona sama nama besar keluarganya," jawab Dayu dengan nada getir.
Nanda menatap teh yang mulai mendingin di cangkirnya. "Aku nggak akan pernah kembali ke masa lalu itu, Dayu. Tidak peduli siapa yang ada di pihaknya. Hidupku sekarang adalah milikku... dan San."
Dayu menggenggam tangan Nanda erat, merasa lega meski tahu badai yang lebih besar mungkin akan segera datang.
Sesampainya di rumah, Nanda langsung menghampiri ibunya yang sedang duduk di ruang tamu dengan wajah tenang seolah tak ada yang salah. Namun, hati Nanda sudah diliputi kekecewaan yang dalam.
"Ibu, apa benar Ibu berencana membantu Dimas mendekatiku lagi?" tanya Nanda dengan suara bergetar menahan emosi.
Ibu Saraswati mendongak dengan ekspresi datar, lalu menghela napas panjang. "Kamu sudah mendengarnya dari Dayu, ya?"
“Jadi benar?” Nanda menatap ibunya dengan mata penuh luka. “Kenapa, Bu? Kenapa Ibu masih berpihak pada Dimas setelah semua yang dia lakukan?”
Nada bicara Nanda yang penuh rasa sakit memicu amarah Ibu Saraswati. "Kamu pikir kamu bisa hidup bahagia dengan San? Dia itu siapa? Hanya seorang pengusaha kecil yang tak punya nama besar seperti Dimas!" bentaknya.
Nanda tersentak, tak menyangka ibunya akan berkata sekejam itu. "Bu... Aku nggak butuh nama besar atau harta. Aku cuma ingin hidup tenang... bebas dari rasa sakit."
Namun, bukannya mereda, Ibu Saraswati malah semakin tersulut. "Kamu itu keras kepala, Nanda! Kamu pikir bisa hidup nyaman tanpa Dimas? Lihat saja nanti, kamu akan menyesal!"
Air mata menggenang di sudut mata Nanda, namun ia menegakkan bahunya. "Kalau hidup nyaman berarti kembali ke neraka yang sama... aku lebih baik hidup sederhana dengan seseorang yang mencintaiku dengan tulus.”
Tanpa menunggu jawaban ibunya, Nanda berbalik menuju kamarnya, meninggalkan Ibu Saraswati yang terdiam dengan wajah penuh amarah dan kekecewaan. Di balik pintu yang tertutup, Nanda akhirnya membiarkan air matanya mengalir deras.
Dengan langkah berat namun penuh tekad, Nanda meninggalkan rumah yang selama ini dianggapnya sebagai tempat berlindung. Namun kini, rumah itu tak lagi memberikan kehangatan, hanya menyisakan luka dan kekecewaan mendalam.
Tanpa membawa pakaian atau barang apapun, Nanda melangkah keluar dengan hati yang remuk. Udara malam yang dingin menerpa kulitnya, namun itu tak seberapa dibandingkan dinginnya perlakuan ibunya sendiri. Ia menoleh sejenak ke arah rumah yang telah menjadi saksi dari banyak kenangan—baik dan buruk—sebelum akhirnya melangkah pergi.
“Aku tak tahu ke mana harus pergi... tapi yang pasti, aku tak bisa tinggal di sana lagi,” pikirnya sambil memeluk tubuh sendiri untuk menghalau dingin.
Langkah kakinya membawanya ke taman kecil di dekat kompleks perumahan. Ia duduk di bangku kayu yang dingin dan memandang langit malam yang penuh bintang. Sepi... seperti hatinya yang kosong. Dalam keheningan itu, telepon genggam di sakunya bergetar. Nama San terpampang di layar.
“Halo?” Suara Nanda bergetar menahan tangis yang nyaris pecah.
“Nan... kamu di mana? Aku ke rumahmu tapi kamu nggak ada. Dayu bilang kamu keluar…” suara San terdengar penuh kekhawatiran.
Nanda menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku... aku nggak tahu. Aku cuma ingin pergi dari rumah itu.”
San terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata dengan penuh ketulusan, “Tunggu di situ, aku akan menjemputmu.”
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nanda merasa ada seseorang yang benar-benar peduli dan tulus ingin melindunginya.
Dalam langkah yang tak pasti, Nanda terus berjalan tanpa tujuan. Hatinya kacau, pikirannya bimbang. Namun, tanpa disadari, setiap langkah membawanya mendekati satu tempat—rumah San. Seolah hatinya memimpin, menunjukkan ke mana ia seharusnya pergi, tempat di mana ia merasa aman dan dicintai.
Udara malam semakin menusuk, namun Nanda tak peduli. Lelehan air mata yang ia tahan sejak keluar dari rumah ibunya akhirnya jatuh bebas. Rasa sakit dan kekecewaan yang tertahan selama ini meledak begitu saja.
“San...,” bisiknya lirih, seolah memanggil satu-satunya nama yang kini terpatri di hatinya.
Ketika akhirnya ia sampai di depan rumah sederhana namun hangat itu, kakinya terhenti. Cahaya dari dalam rumah tampak menerangi jalan kecil di depannya. Hatinya berdebar, ragu apakah ia pantas mengetuk pintu itu.
Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, pintu rumah terbuka. San berdiri di ambang pintu, terkejut melihat Nanda yang berdiri gemetar, basah oleh embun malam. Wajahnya memancarkan kekhawatiran yang dalam.
“Nan?” panggil San sambil melangkah mendekat.
Melihat wajah penuh perhatian itu, Nanda tak sanggup menahan diri. Ia berlari kecil dan memeluk San dengan erat, seolah takut kehilangannya. “Aku... nggak tahu harus ke mana lagi,” isaknya pelan.
San membalas pelukannya dengan lembut, tangannya mengelus punggung Nanda, mencoba menenangkan wanita yang dicintainya. “Kamu nggak perlu ke mana-mana... kamu sudah di rumah sekarang,” bisiknya tulus.
Nanda memeluk San dengan erat, seolah takut kehilangannya lagi. Di pelukan lelaki itu, ia merasakan ketenangan yang tak pernah ia temukan di tempat lain. San adalah satu-satunya yang selalu ada untuknya, sejak masa-masa SMA hingga saat ini, ketika dunia terasa begitu kacau dan tak berpihak padanya.
“Aku nggak pernah lupa perasaan ini, San...” bisik Nanda dengan suara bergetar. “Sejak dulu... sampai sekarang.”
San mengelus lembut punggung Nanda, merasakan gemetar tubuh wanita yang sudah menjadi bagian dari hatinya sejak lama. “Aku juga, Nan... Aku nggak pernah berhenti mencintaimu.”
Sejenak waktu seperti berhenti. Kenangan masa lalu melintas dalam ingatan mereka—cinta yang pernah terpendam, terpisah oleh keadaan, namun tak pernah benar-benar padam.
Nanda menatap mata San yang penuh kehangatan. “Aku lelah terus berlari, San... Aku ingin berhenti... di kamu.”
San mengangguk perlahan, membelai wajah Nanda dengan lembut. “Aku akan ada di sini, selalu... kamu nggak perlu takut lagi.”
Dalam malam yang sunyi, dua hati yang pernah terpisah kini kembali bersatu. Tak ada lagi keraguan, hanya keyakinan bahwa cinta yang tulus akan selalu menemukan jalannya.
San perlahan mendekat, menangkup wajah Nanda dengan kedua tangannya. Tatapan lembut penuh kasihnya membuat hati Nanda bergetar. Tanpa berkata apa-apa, San mendaratkan ciuman lembut di bibir Nanda, menyampaikan perasaan yang selama ini terpendam.
Nanda memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang sudah lama ia rindukan. Sentuhan San begitu lembut namun penuh makna, seakan meyakinkannya bahwa ia tidak akan pernah ditinggalkan lagi.
Sejenak dunia terasa berhenti. Hanya ada mereka berdua, menyatu dalam keheningan malam yang penuh keintiman. Nanda merasa aman dalam pelukan San, merasakan ketulusan cinta yang tak pernah berubah sejak masa lalu.
Saat ciuman itu berakhir, San menempelkan dahinya di dahi Nanda, menarik napas panjang. “Aku nggak akan pernah biarin kamu merasa sendiri lagi, Nan.”
Nanda tersenyum kecil, matanya masih berkaca-kaca. “Aku percaya, San... Aku percaya kamu.”
Malam itu, cinta yang mereka simpan begitu lama akhirnya menemukan jalannya kembali.