Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Belum sembuh
Pagi hari tiba dengan perlahan, membawa cahaya lembut yang menembus tirai kamar. Suara burung berkicau di luar, memberi tanda bahwa hari baru telah dimulai. Diana membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tubuh Aletha yang masih terbaring di sampingnya. Tangan Diana tetap melingkari tubuh putrinya, merasa sedikit lega melihat wajah Aletha yang terlihat lebih segar.
Rama sudah lebih dulu terjaga, duduk di sisi ranjang sambil memeriksa suhu tubuh Aletha dengan lembut. “Panasnya sudah turun,” katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri, namun cukup untuk membuat Diana tersenyum tipis.
Diana mengangguk, masih terlelap sedikit, namun hatinya merasa lebih tenang dengan melihat perkembangan positif ini. “Syukurlah, semoga hari ini dia benar-benar mulai pulih.”
"Biarkan aletha lanjutkan tidurnya, aku akan berangkat ke kantor dulu, aku ingin tetap disini?." tanya Rama pada istrinya.
"Aku akan membantumu untuk pergi ke kantor terlebih dahulu mas, aku juga belum menyiapkan sarapan untuk anak anak." ucap Diana
Rama menatap Diana dengan lembut, lalu mengangguk. “Baiklah, tapi pastikan kamu juga istirahat setelah ini, ya. Aku tahu kamu belum tidur dengan benar sejak kemarin,” ujarnya, suara hangatnya mengandung rasa khawatir yang tulus.
Diana tersenyum tipis, meskipun matanya masih menunjukkan kelelahan. “Aku akan istirahat setelah semuanya selesai, Mas. Anak-anak juga butuh perhatian, dan Aletha pasti akan bangun sebentar lagi.”
Rama menghela napas pendek, lalu mendekati Diana untuk mengecup keningnya. “Kamu memang luar biasa. Aku bersyukur kamu ada untuk keluarga kita.” Ia menoleh sebentar ke arah Aletha yang masih tertidur, lalu kembali menatap Diana. “Yuk, kita ke bawah. Aku bantu sebentar sebelum berangkat.”
Diana mengangguk, kemudian pelan-pelan melepaskan pelukannya dari Aletha. Ia memastikan selimut putrinya tetap menutupi tubuhnya dengan baik, lalu berdiri dari ranjang. “Aku akan menyiapkan sarapan sederhana saja, Mas. Kamu mau makan di rumah atau bawa bekal?”
“Aku makan di rumah saja, biar nggak terlalu buru-buru. Lagipula, aku ingin menikmati waktu sebentar dengan kamu,” jawab Rama sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Diana terkekeh pelan. “Kamu selalu tahu cara membuat aku merasa lebih baik, Mas. Yuk, kita ke dapur.”
Keduanya berjalan ke bawah dengan pelan, tidak ingin mengganggu tidur Aletha. Saat tiba di dapur, Diana segera mengambil bahan-bahan untuk sarapan, sementara Rama mulai membantu mengambil piring dan gelas. “Aku buatkan teh untukmu, ya?” tawarnya.
Diana mengangguk sambil sibuk memotong beberapa sayuran. “Terima kasih, Mas. Aku rasa, setelah kamu pergi, aku juga akan membuat teh hangat untuk Aletha. Dia pasti membutuhkannya.”
Rama mengaduk kopinya dengan perlahan, matanya sesekali memperhatikan Diana. “Diana, kamu nggak perlu terlalu memaksakan diri. Kalau ada yang bisa aku bantu setelah ini, bilang saja. Aku bisa izin lebih cepat dari kantor kalau dibutuhkan.”
Diana berhenti sejenak dan menatap suaminya. Ada rasa syukur yang mendalam di matanya. “Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu selalu ada untuk kita. Tapi aku akan baik-baik saja. Kalau memang ada yang aku butuhkan, aku pasti akan bilang.”
Rama mengangguk lagi, merasa sedikit lega. Setelah sarapan selesai disiapkan, mereka duduk bersama di meja makan. Rama memastikan Diana makan lebih dulu sebelum ia berangkat. Saat waktunya tiba, Rama berdiri sambil mengambil tasnya.
“Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku, ya,” katanya sambil menatap Diana dengan serius. “Dan jaga dirimu juga, jangan sampai sakit.”
Diana tersenyum sambil mengantar suaminya hingga ke pintu. “Iya, Mas. Hati-hati di jalan. Jangan terlalu capek di kantor.”
Rama tersenyum kembali, mengecup kening Diana untuk terakhir kalinya sebelum melangkah pergi. Diana berdiri di depan pintu, memperhatikannya sampai mobil menghilang dari pandangan. Setelah itu, ia kembali ke dalam rumah, bersiap untuk menghadapi hari sambil menjaga putrinya dengan penuh kasih sayang.
Aletha mengerjapkan matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya pagi yang masuk melalui jendela. Kepalanya terasa berat, dan sedikit pusing masih menyelimuti pikirannya. Ia menggeliat pelan, menyadari tubuhnya masih terasa lemah.
"Bunda..." panggil Aletha dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Diana yang tengah membereskan kamar segera mendekat dan duduk di tepi ranjang. "Iya, Sayang. Kamu sudah bangun? Gimana rasanya sekarang?" tanya Diana lembut sambil membelai rambut putrinya.
Aletha mengangguk kecil, meskipun raut wajahnya masih terlihat letih. "Udah mendingan, Bun. Tapi kepala Aletha masih agak pusing."
Diana tersenyum tipis, mencoba menenangkan putrinya. "Itu tandanya kamu masih butuh istirahat. Jangan terlalu memaksakan diri, ya. Ibu buatkan teh hangat, ya?"
Aletha menggenggam tangan ibunya dengan lemah. "Boleh, Bun. Tapi... boleh minta bubur juga? Aletha lapar," pintanya pelan dengan mata sedikit memohon.
Diana tertawa kecil, lega karena putrinya mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. "Tentu saja, Sayang. Tunggu sebentar, ya. bunda siapkan di bawah, nanti bunda bawa ke sini biar kamu nggak perlu turun."
Aletha mengangguk, lalu kembali berbaring sambil memejamkan mata. Diana mengecup kening putrinya dengan lembut sebelum pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.
---
Di dapur, Diana segera menyiapkan semangkuk bubur hangat dengan sedikit irisan ayam dan taburan daun bawang di atasnya. Ia juga membuat teh hangat dengan madu, berharap itu bisa membantu mengembalikan energi Aletha.
Saat Diana kembali ke kamar, Aletha sudah duduk bersandar di kepala ranjang, mencoba menahan pusingnya. "Ini bubur sama tehnya, Sayang. Pelan-pelan makannya, ya," ujar Diana sambil meletakkan nampan di pangkuan Aletha.
"Terima kasih, Bunda." Aletha mulai menyendok buburnya perlahan. Sesekali Diana memperhatikan putrinya, memastikan ia benar-benar nyaman.
"Aletha, kalau masih pusing setelah makan, kasih tahu Ibu, ya. Kita istirahat lagi atau minum obat kalau perlu."
Aletha menatap ibunya dengan mata berbinar penuh kasih. "bunda baik banget. Aletha beruntung bertemu bunda."
Diana tersenyum lembut, lalu membelai pipi putrinya. "bunda yang beruntung karena punya anak seperti Aletha. Sekarang fokus sembuh, ya."
Aletha mengangguk, merasa nyaman dengan kehangatan ibunya. Di tengah rasa pusing yang belum sepenuhnya hilang, ia merasa tenang karena tahu ibunya selalu ada di sisinya.
***
Selesai makan aletha kembali beristrikan, Diana sudah pergi dari kamarnya agar aletha bisa istirahat dengan tenang.
Namun aletha tidak bisa istirahat lagi, rasa terlalu lelah juga harus rebahan, ia memutuskan memainkan ponsel dan dapat dia lihat banyak notifikasi chatting dari pacarnya.
________________
Angkasa:
[sayang, gimana keadaan kamu? sudah lebih baik?.]
[Besok nggak usah sekolah dulu ya, istirahat yang cukup.]
[Besok aku kerumah kamu ya?."]
Aletha:
[Hai angkasa, aku udah mendingan kok, tapi kepala masih agak pusing, ini juga rencananya mau ke sekolah.]
[Tapi kalau Angkasa mau ke rumah, ya aku nggak nolak, hehe.]
Angkasa:
[Kamu jangan keras kepala, ya. Istirahat dulu yang benar. nanti siang aku bawa sesuatu buat kamu, jadi kamu nggak boleh nolak.]
[Mau aku bawain apa? Bubur favorit kamu, atau novel yang belum kamu baca?]
Aletha terkekeh pelan membaca pesannya. Angkasa memang selalu tahu cara untuk membuatnya merasa diperhatikan. Ia mengetik balasan lagi.
Aletha:
[Angkasa nggak usah repot-repot. Tapi kalau bawa novel, aku suka. Makasih ya, Ka, kamu baik banget.]
Angkasa kembali membalas cepat.
Angkasa:
[Baik banget dong. pacar siapa dulu. Kamu istirahat yang cukup, nanti aku kabarin sebelum ke rumah, ya.]
[Kamu jangan lupa minum obat, atau aku yang bawain nanti.]
Aletha tertawa kecil. Kehangatan Angkasa selalu berhasil menghiburnya, bahkan di saat ia merasa tak enak badan.
Aletha:
[Iya, Ka. Aku bakal minum obat habis ini. Hati-hati di jalan nanti kalau mau ke rumah.]
Angkasa:
[Iya sayang.]
__________________
Percakapan itu sedikit menghibur Aletha. Meskipun tubuhnya masih terasa lelah, ia merasa lebih baik karena tahu ada orang-orang yang menyayanginya, mulai dari ibunya, ayah nya, abang abang nya hingga Angkasa. Aletha kembali meletakkan ponselnya dan mencoba memejamkan mata, berharap tidur kali ini akan lebih nyenyak.