Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Mobil bergoyang-goyang. Seirama dengan gerakan yang dilakukan sepasang sejoli di dalamnya. Peluh bercucuran disertai deru napas yang memburu.
Anjelo dan Zeona masih mengejar kepuasan mereka. Zeona bergerak lincah di atas. Menaik turunkan tubuhnya. Di bawahnya, Anjelo mendesiskan lidah, merasakan terbuai oleh kelihaian sang istri kedua. Jiwanya seakan terbang melayang ke awang-awang.
"Hmm ... Zeo, kamu sangat menawan. Teruskan Sayang! Sebentar lagi saya sampai." Cengkraman Anjelo di pinggang Zeona mengetat, detik selanjutnya, er*ngan panjang mengudara, menembus heningnya malam gelap gulita. Diiringi dengan ambruknya tubuh Zeona di dada bidang Anjelo.
"Thank you, Honey. You always make me satisfied." Anjelo mencium kening Zeona lalu turun ke bibir merekah yang sudah membengkak. Memagutnya dengan sangat lembut.
Efek obat laknat itu masih ada. Anjelo masih merasakan darah panasnya berdesir-desir. Namun tidak semenggelegak tadi. Dua kali pelepasan, sedikit mengurangi nafs*nya.
Anjelo memangku Zeona. Menciumi pundak mulus tanpa helai benang itu.
"T-tuan ... bisakah kita pulang sekarang? Ini sudah terlalu malam. Kakak saya sendirian di kontrakan." Dengan napas tersengal-sengal, Zeona memuntahkan apa yang ada dalam benaknya. Berharap suaminya mengakhiri kegiatan panas mereka.
"Hm, izinkan saya menyentuhmu sekali lagi, Zeona. Saya ingin menghilangkan efek obat laknat ini, kamu bersedia 'kan?" Kedua mata Anjelo memandang sayu, penuh damba dan candu.
Zeona tak punya pilihan. Setiap perintah dan permintaan Anjelo adalah mutlak.
"Baiklah Tuan. Tapi jangan terlalu la--ahh ..." Rumpang sudah perkataan itu karena Anjelo sudah mulai menyerang lagi.
Mereka berdua mulai melanjutkan kegiatan. Mengejar kebahagiaan untuk terbang ke nirwana.
*****
[Apa yang kamu katakan Nela?! Rencana kita gagal?!] Vivian membentak Nela yang berbicara di seberang sana.
[Iya, Bu. Maafkan saya. Pak Anjelo malah pergi entah ke mana.] Adu Nela, suaranya terdengar meringis.
Raka yang berada dalam satu selimut yang sama dengan Vivian berusaha menenangkan. Mengusap-usap punggung polos Vivian dengan sangat lembut.
[ANJ___!] Vivian menggeram emosi. [Keluar sekarang juga dari rumah itu! Kembalilah ke tempatmu. Besok pagi, aku akan menemuimu!]
[Baik Bu!]
Panggilan tersebut diakhiri oleh Vivian. Kedua tangan putihnya mengepal erat sampai buku-buku jarinya terlihat menonjol. Dadanya kembang kempis, detik selanjutnya, Vivian menangis.
"Sayang, jangan menangis." Raka merengkuh tubuh Vivian. Mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Kita bisa menyusun rencana yang lain lagi. Kamu sabar ya?" Satu kecupan hangat mendarat di kening Vivian.
"Tapi Ka, aku sudah menaruh harapan besar pada rencana ini. Kenapa hasilnya tidak sesuai dengan yang aku harapkan?" Gurat putus asa menghiasi wajah Vivian. "Aku sudah bermimpi berpisah dengan Anjelo dan menikah denganmu kemudian kita punya anak yang banyak dan hidup bahagia. Tapi kenyataannya ..." Vivian menggeleng-gelengkan kepalanya. Menyambung kembali tangisan. "Semua impian itu terpatahkan oleh realita. Seolah aku dan Anjelo akan tetap bersama. Aku benci hal itu, Raka ..." lirih Vivian di sela tangisan.
"Tenanglah, Sayang!" Semakin erat Raka memeluk Vivian. "Meski Tuhan dan semesta tak mendukung cinta kita, aku berjanji tak akan pernah meninggalkanmu. Aku rela menjadi simpananmu untuk selamanya. Karena kamulah satu-satunya wanita yang aku cintai." Raka menghujani puncak kepala Vivian dengan ciuman. Menyalurkan rasa sayang dan cintanya yang tak pernah padam sejak dari dulu. Rasa cintanya sudah habis di Vivian. Nama Maurencia Vivian sudah terpatri di jantung dan hatinya. "My love for you is never-ending!" pungkasnya sambil mengecup bibir merah sang kekasih.
"Tanamkan benihmu di rahimku, Raka. Tak perlu pakai pengam*n. Aku ingin mengandung anakmu!" Vivian berbisik di telinga Raka.
"Bb-benarkah Vi? Kamu siap menerima benihku?" Kedua mata Raka berkaca-kaca.
"Ya, Sayang. Lakukanlah." Vivian kembali menitikkan air mata dan Raka pun sama. Mereka saling merangkul penuh cinta. Kembali menyatukan miliknya.
*****
"Are you okay, Zeona?" Anjelo mengusap peluh yang bercucuran di dahi Zeona. Lalu mengecup dahi itu dengan sangat lembut.
"Hm, ss-saya sangat lelah, Tuan," lirih Zeona dengan mata setengah terpejam dan napas yang terdengar pelan.
"I'm sorry my dear," mohon Anjelo penuh sesal sambil mendekap tubuh Zeona yang masih dalam keadaan tanpa sehelai benang. Begitu pun dengan dirinya.
"Hm, tak apa, Tuan." Zeona menyurukkan kepalanya ke ketiak Anjelo. Menghirup aroma yang menguar dari sana. Tidak bau, melainkan sangat menenangkan. "Tuan, ayo kita pulang!" ajaknya masih dengan suara lemah.
Tenaganya sudah terkuras habis. Anjelo benar-benar mengerjainya dengan sangat panas dan liar.
"Ayo. Tapi pakai dulu bajumu!"
"Iya."
Mereka berdua sibuk memasangkan pakaian ke tubuh masing-masing. Kemudian membersihkan bekas percintaan mereka. Setelah selesai, barulah Anjelo memundurkan mobil, keluar dari area gedung terbengkalai itu. Memutar setir untuk kembali ke jalan menuju tempat tinggalnya.
"Tuan ... bolehkah saya bertanya sesuatu?"
"Silakan Zeona!" Anjelo menyahuti.
"Kenapa pembantu baru itu memasukkan obat laknat itu ke minuman Tuan? Motif dia apa?" Sepanjang percintaan tadi, Anjelo menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Maka dari itu, Zeona jadi penasaran.
"Entahlah Zeo. Tapi sepertinya, dia ingin menjebak saya supaya tidur bersamanya. Untung saja, saya masih bisa menahan diri dan tidak tergoda. Meski dia sangat seksi, tapi saya tidak tertarik. Kamu ..." Anjelo memalingkan pandangan dari jalanan di depannya ke arah Zeona. "Kamu jauh lebih menarik dari dia."
Wajah Zeona langsung terasa panas. Jantungnya berdetak tak karuan. Membuang muka ke arah luar jendela. Guna menyembunyikan wajah meronanya.
Diam-diam, Anjelo mengulum senyum. Dia menyadari jika Zeona sedang salah tingkah akibat perkataannya barusan. Lucu juga ternyata menggoda gadis belia seumuran Zeona. Dia jadi ingin mengerjai Zeona lagi. Tapi ini sudah hampir tengah malam. Istri keduanya butuh istirahat.
"Zeo, kamu habis dari mana dulu, kenapa baru pulang jam segini?" Baru membuka pintu kontrakan, Zeona sudah disambut pertanyaan penuh kecemasan dari kakaknya yang berjalan tergopoh-gopoh menghampiri dirinya.
"Maaf Kak, tadi ada sedikit kendala di tempat kerja. Jadi ya, semua karyawan yang kebagian shift siang terpaksa pulang terlambat." Zeona mengatakan kebohongan sesuai apa yang dikatakan Anjelo kepadanya saat di mobil tadi.
"Hm, yasudah kalau begitu, segera ganti baju dan lekaslah tidur!" titah Zalina sambil memeluk Zeona sekilas. Kening Zalina mengernyit, hidung mancungnya membaui aroma parfum yang asing dari tubuh sang adik. Serupa parfum seorang lelaki. "Zeo, kamu ganti parfum?"
Zeona terlonjak di tempatnya. Telapak tangannya tiba-tiba berkeringat. "Ya Tuhan ... aku harus jawab apa? Kenapa tadi Tuan Anjelo harus menyemprotkan parfumnya ke tubuhku?Jadi mengundang tanya 'kan dari Kakak," keluhnya membatin bingung. Zeona menjadi pusing sendiri. Tetapi jika diam saja, kakaknya pasti akan curiga. "Ah, aku nggak ganti parfum, Kak. Tadi tuh aku nyobain parfum punya Nindi, sesama rekan kerjaku. Soalnya wanginya enak banget. Menenangkan." Zeona mengakhiri kebohongannya dengan tertawa kecil supaya sang kakak percaya sembari menyembunyikan kegugupannya.
"Mm ... pantas." Zeona mengusap dada setelah mendengar tanggapan Zalina. "Udah sana ganti baju! Kakak mau pipis dulu."
"Ok Kak!" Zeona masuk ke dalam kamar dan Zalina memandangi kepergian adiknya sambil berkata lirih.
"Zeo, apa yang kamu sembunyikan dari Kakak? Parfum yang menempel di bajumu jelaslah bukan parfum biasa. Orang miskin seperti kita, tak mungkin mampu untuk membelinya. Itu parfum orang kaya, Zeona. Dan khusus untuk lelaki. Sama seperti parfum yang dulu selalu dipakai Tuan Rodrigo."
lanjut Thor
seru
aku zuka