NOVEL INI SUDAH TAMAT.. DENGAN KISAH EPIKNYA YANG MEMBAGONGKAN..
NANTIKAN NOVEL SAYA SELANJUTNYA..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jack The Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ch 010_kau melatih calon monster
"Nazzares, kamu ikut misi lagi dengan Guru Vitjendra?" tanya Kandhita yang sedang membantu Abail meracik ramuan obat di belakang rumah.
"Yah," jawab Nazzares sambil sedikit berlatih di halaman belakang rumah.
"Mm, tapi hati-hati ya."
"Tenang saja."
"Apakah jika kau menjalani misi, ada hadiah atau bayaran untuk itu?"
"Entahlah. Aku bukan seorang yang terdaftar dalam kesatuan prajurit. Aku hanya murid dari Guru Vitjendra." jawab nazzares
"namun aku hanya berusaha keras untuk memasuki akademi. Bagaimanapun nanti kita memasuki akademi bukan melewati jalur reguler yang sejak umur 8 tahun sudah mendapat pendidikan formal dari akademi" lanjutnya.
"Ya, baiklah."
Kandhita lalu membuatkan bekal untuk calon suaminya itu agar dibawanya pergi menjalani misi.
"Ini bekalmu. Kasih kotak satunya untuk Guru Vitjendra."
"Terima kasih, Kandhita."
"Sini sebentar."
"Apa?"
Kandhita menarik tangan Nazzares dan mencium pipi Nazzares dengan lembut, lalu berlari masuk ke dalam rumah dengan rasa malu.
Namun, Darkino yang sudah menunggu di depan rumah Nazzares melihat itu dan hanya tersenyum sinis.
"Dasar bucin," ucap Darkino dengan nada mengejek.
Lalu mereka berdua berangkat ke pangkalan militer di Hutan Blora, berjalan santai di pagi yang masih berembun. Wajah Nazzares memerah, penuh senyum.
"Heii, bisakah kau hentikan senyumanmu itu?" ucap Darkino yang melihat Nazzares tersenyum-senyum sendiri.
"Heh... maafkan aku."
"Senangnya jadi dirimu, mendapatkan kembang desa seperti Kandhita."
"Haa... yah, aku beruntung dijodohkan dengan wanita baik hati seperti dirinya."
Setelah sampai di pangkalan militer kerajaan majapahit..
Darkino segera mempersiapkan perlengkapan dan mulai berlatih, sementara Nazzares berjalan menuju ruang guru.
"Guru, ini sarapan dari Kandhita," ucap Nazzares sambil menyerahkan bekal.
"Waa... pasti enak sekali masakan dari calon istrimu, muridku," jawab Guru Vitjendra, tersenyum sambil mengambil suapan.
Sambil menikmati sarapannya, Guru Vitjendra memberi tahu Nazzares bahwa mereka akan pergi ke Desa Tropos Agem esok hari, sebuah desa yang terletak di bagian utara Hutan Blora, jauh di ujung, yang memerlukan waktu perjalanan sekitar tujuh jam jika mereka berlari dan melompati pepohonan.
"Siapkan dirimu, Nazzares," kata Guru Vitjendra, matanya penuh tekad.
"Baik, Guru. Apakah tempat itu lebih jauh daripada Kota Serabi?" tanya Nazzares, sedikit penasaran.
"Yah, tentu saja," jawab Guru Vitjendra, mengangguk pelan.
"Berapa lama kita akan berada di sana?" tanya Nazzares lagi, menyadari betapa beratnya perjalanan yang akan mereka tempuh.
"Entahlah, mungkin cukup lama," jawab Guru Vitjendra, suara lembut namun tegas.
Nazzares mengangguk, menyusun rencana dalam benaknya. Ia meninggalkan ruangan guru dan bergabung dengan para prajurit yang tengah bersiap-siap.
"Hei, Darkino, bagaimana kalau kita berlatih bersama?" seru Nazzares sambil mendekati temannya.
"Baiklah, tapi ingat, jangan gunakan kekuatan mistismu. Aku ini hanya manusia biasa," balas Darkino, sedikit mengejek namun dengan nada yang bersahabat.
Nazzares tersenyum dan mengangguk. Mereka pun mulai berlatih, bertarung satu sama lain. Meski berlatih tanpa senjata, Nazzares, dengan tubuh dan kekuatan seorang Fatalis, sangat jauh berbeda dibandingkan dengan Darkino yang hanya seorang manusia biasa. Dengan sedikit usaha, Nazzares dengan mudah memenangkan pertarungan, hanya membuat dirinya sedikit berkeringat.
Dimalam hari..
Nazzares menjemput calon istrinya, Kandhita, untuk berjalan-jalan sejenak, mengingat besok ia harus mengikuti misi Guru Vitjendra ke Desa Tropos Agem.
"Mm, jadi misimu besok?" tanya Kandhita, menatap Nazzares dengan perhatian.
"Iya," jawab Nazzares singkat, namun dengan nada yang penuh arti.
Mereka berjalan menyusuri jalan pedesaan yang diterangi cahaya obor, menikmati ketenangan malam.
Tiba-tiba, Nazzares mengangkat Kandhita dengan kekuatannya, membawa gadis itu terbang ke langit. Mereka melayang tinggi, melewati atap rumah yang terlihat kecil di bawah mereka. Di atas, bulan bersinar terang, memberikan cahaya lembut yang menerangi perjalanan mereka.
Kandhita terdiam sejenak, terpesona dengan pemandangan yang begitu indah. Angin malam yang sejuk menyentuh wajah mereka, sementara keduanya melayang di antara bintang-bintang, merasakan kedekatan yang tak terungkapkan.
"Ini luar biasa..." ujar Kandhita, suaranya lembut dan penuh rasa kagum.
Mereka terus terbang, menikmati momen ini, meninggalkan jejak kebahagiaan di langit yang tak pernah mereka lupakan.
...___~V~___...
...Keberangkatan...
Keberangkatan di pagi hari dimulai dengan Nazzares dan Guru Vitjendra yang melompati pepohonan, bergerak cepat menyusuri hutan Blora.
"Guru, aku bisa terbang, kau juga bisa, kan? Mengapa kita tidak balapan saja?" tanya Nazzares dengan senyum lebar.
Guru Vitjendra tertawa ringan. "Hahahaha... baiklah, sepertinya itu ide yang bagus," jawabnya, setuju dengan tantangan tersebut.
Nazzares segera bersiap, menggunakan teknik mistisnya untuk mengangkat tubuhnya ke udara. Energi mistis mengalir lancar, dan tubuhnya terangkat, siap melesat.
Sementara itu, Guru Vitjendra dengan santai menaiki pedang panjangnya, yang merupakan manifestasi dari teknik mistis bawaannya. Pedang itu mengeluarkan cahaya lembut, dan Guru Vitjendra mulai terbang, mengikuti Nazzares.
Mereka terbang bersama, melesat membelah udara pagi, bergerak cepat di antara pepohonan.
...___~V~___...
...Pangkalan militer hutan blora bagian utara....
Setelah sampai di pangkalan militer, Laksamana Vitjendra langsung disambut oleh Jenderal Nansa, seorang orc bertubuh besar dengan tanduk kecil di dahinya. Nazzares memandang pria itu dengan rasa heran bercampur kagum.
"Siapa ini, Kapten?" tanya Nansa dengan suara berat sambil melirik Nazzares.
"Dia muridku," jawab Vitjendra singkat.
Nansa mengangguk hormat. "Baiklah, Kapten."
Mereka segera memasuki ruangan utama tempat pertemuan berlangsung. Di sana, para perwira sudah berkumpul, memberikan laporan tentang teror raksha yang melanda desa itu.
"Kapten, banyak anak-anak, pria, dan wanita menghilang secara misterius di malam hari," lapor salah satu prajurit. "Kami yakin ini ulah raksha."
Vitjendra mengangguk mendengar laporan itu. "Baiklah. Persiapkan semua orang. Malam nanti kita akan menyusun strategi untuk mengatasi masalah ini."
Hari masih siang, sehingga Vitjendra, Nansa, dan para perwira lainnya mulai menyusun rencana secara mendetail. Sementara itu, Nazzares memanfaatkan waktu dengan berlatih di area pelatihan prajurit. Ia menggunakan pedang abhisekanya, mengayunkannya dengan lincah, melatih gerakan yang diajarkan oleh gurunya.
Dari kejauhan, Jenderal Nansa memperhatikan Nazzares. Setelah beberapa saat, ia melangkah mendekat.
"Heh, bocah, siapa namamu?" tanya Nansa dengan suara lantang, menarik perhatian Nazzares.
"Namaku Nazzares Abhiseka," jawab Nazzares sambil menghentikan latihannya dan menundukkan kepala hormat.
"Baik, aku Nansa," kata sang orc memperkenalkan dirinya. "Sudah berapa lama kau berlatih dengan Laksamana Vitjendra?"
Nazzares berpikir sejenak. "Mungkin hampir tiga bulan," jawabnya jujur.
Nansa mengangguk, lalu menyeringai kecil. "Tiga bulan, ya? Baiklah, aku ingin mengetes kemampuanmu. Bertarunglah denganku."
Mata Nazzares membelalak. "Benarkah?" tanyanya, tidak percaya.
"Iya," Nansa mengangguk mantap. "Tunjukkan apa yang bisa kau lakukan."
Nazzares tersenyum lebar. "Baiklah! Aku akan berusaha melakukan yang terbaik," ucapnya penuh semangat sambil memegang erat pedangnya. Ia tahu ini adalah kesempatan langka untuk mengukur sejauh mana kemampuannya setelah berlatih di bawah bimbingan Laksamana Vitjendra.
...___~V~___...
...Pertarungan nansa melawan nazzares...
Nansa menatap Nazzares dengan senyum tipis, tanduk kecilnya memantulkan cahaya matahari. Dia berdiri tegap, bersiap menghadapi murid dari Laksamana Vitjendra. Suasana di sekitar mereka berubah tegang. Prajurit-prajurit lain yang sedang berlatih berhenti sejenak, memperhatikan pertarungan yang akan segera dimulai.
Tanpa basa-basi, Nazzares mengangkat satu tangannya, telapak menghadap ke arah Nansa. Dengan sekejap, teknik mistisnya aktif, menarik tubuh sang orc ke arahnya dengan kekuatan yang tidak terlihat.
Whoosshhh...
"Apa-apaan ini? Anak ini menggunakan teknik mistisnya tanpa syarat!" seru Nansa, terkejut saat tubuhnya ditarik mendekat dengan cepat.
Namun, Nansa tidak tinggal diam. Dengan cepat, dia membaca mantra, suaranya berat dan penuh keyakinan.
"Corrosion Resistant: Tungsten Axe!" teriaknya. Cahaya biru kehijauan melingkupi tangannya, dan sebuah kapak besar yang tampak berat namun kokoh muncul dalam genggamannya, manifestasi dari teknik mistisnya.
Tang!
Benturan pertama terjadi. Pedang Abhiseka milik Nazzares menghantam kapak tungsten milik Nansa. Suara dentingan keras menggema, menciptakan gelombang energi yang mengguncang udara di sekitar mereka.
Beberapa prajurit yang berdiri terlalu dekat merasakan tekanan itu dan mundur dengan kagum. Lalu melanjutkan pertarungan antara kedua fatalis itu.
Pertarungan jarak dekat pun dimulai. Nansa mengayunkan kapaknya dengan brutal, setiap tebasan memiliki kekuatan untuk menghancurkan batu besar. Namun, Nazzares dengan gesit menghindar, mengandalkan kecepatan dan kelincahan yang luar biasa. Pedang Abhisekanya bersinar terang, menangkis setiap serangan kapak yang datang dengan presisi sempurna.
Serangan demi serangan saling bertukar, menciptakan dentingan yang bergema seperti genderang perang. Setiap benturan antara pedang dan kapak memancarkan percikan cahaya mistis yang membuat para prajurit terpana.
"Anak ini..! Dia tersenyum?" gumam Nansa, matanya menyipit, menyadari kekuatan yang luar biasa dari Nazzares. Namun, dia tidak berniat mengalah. Dengan raungan keras, dia melompat mundur, kapaknya berputar di udara sebelum kembali diayunkan dengan kekuatan penuh ke arah Nazzares.
Nazzares mengangkat pedangnya, menangkis dengan tegas. Namun, gelombang energi dari benturan itu mendorongnya beberapa langkah ke belakang.
"Hebat juga, Kapten!" seru Nazzares, matanya berbinar. Dia melangkah maju, siap melanjutkan serangan.
"Jangan terlalu percaya diri, bocah!" balas Nansa, menyerang dengan kapaknya sekali lagi. Pertarungan terus berlanjut, intensitasnya semakin meningkat, membuat para penonton di sekitar mereka menahan napas.
Setelah sekian belasan menit bertarung..
Nazzares terjatuh di tanah, napasnya terengah-engah. Peluh membasahi wajahnya, tapi senyum puas terpancar jelas. Dia mengangkat tangannya sebagai tanda menyerah.
"Hahaha, aku menyerah!" ucapnya dengan bangga meski kalah.
Nansa tertawa kecil sambil menyandarkan kapaknya di pundak. "Hmm... kau kuat, bocah. Untuk seseorang yang baru berlatih tiga bulan, kau jauh di atas rata-rata."
Nazzares bangkit perlahan, menepuk debu dari pakaiannya. "Terima kasih, Kapten. Tapi aku masih harus banyak belajar."
Setelah itu, Nansa menyimpan kapaknya, yang perlahan menghilang menjadi kabut mistis, kembali ke teknik mistisnya. Sang orc berjalan meninggalkan Nazzares yang masih mengatur napasnya, menuju markas militer. Di perjalanan, dia berpapasan dengan Laksamana Vitjendra yang sedang menuju arah lapangan latihan.
"Bagaimana muridku, Nansa?" tanya Vitjendra, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu.
Nansa berhenti, menatap sang laksamana dengan ekspresi serius. "Kau akan menciptakan monster, Kapten," jawabnya singkat, sebelum melanjutkan langkahnya.
Vitjendra hanya tersenyum tipis, puas dengan jawaban itu. Dia menatap ke arah lapangan di mana Nazzares masih berdiri, kini tampak lebih bersemangat meski baru saja kalah. "Itu memang tujuanku," gumam Vitjendra pada dirinya sendiri, sebelum berjalan menuju markas.
Bersambung...