Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjelaskan Kesalahpahaman
“Apanya yang hah? Kau tidak mendengar jelas kata-kataku?” sahut Dizza lagi, nada suaranya naik satu oktaf.
“Maksudmu apa, Dizza? Aku tidak mengerti,” timpal Edzhar di panggilan telepon, pemuda itu tampak sangat kebingungan.
Dizza berdecak. “Tidak usah pura-pura tidak tahu begitu, Edzhar. Aku tahu kalau kau sudah punya pacar.”
“Pacar? Siapa bilang aku punya pacar?”
Kali ini giliran Dizza yang harus terdiam. Dia tidak mungkin mengatakan kepada Edzhar bahwa dirinya menguping pembicaraan pria itu dengan si mahasiswi di perpustakaan tadi siang. Makanya sebisa mungkin Dizza mulai memikirkan celah untuk bisa memberi alasan yang logis atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Edzhar kepadanya sekarang.
“Seseorang mengatakan hal itu kepadaku,” dusta Dizza pada akhirnya.
“Siapa?”
“Ck, sudahlah Edzhar. Bukan itu pokok permasalahan yang sedang kita bahas. Yang—”
“Pokoknya apapun yang kau dengar tentang aku itu tidak benar. Aku bisa membuktikannya padamu kalau aku tidak punya pacar, Dizza.”
“Tapi kau sendiri yang bilang pada gadis itu kalau kau sudah punya pacar hmmp—”
Sial! memang dasar mulut sampah. Terkadang Dizza kerap menyesali mulutnya yang sulit diajak kerja sama. Bisa-bisanya dia malah keceplosan seperti ini. Dia benar-benar menyesal dan hanya bisa membekap mulutnya sendiri sambil menutup mata. Mati lah dia!
“Siapa yang sebenarnya kau maksud?”
“Bukan siapa-siapa,” kilah Dizza cepat. Dia berharap Edzhar tidak mengungkit apapun soal itu. Sejujurnya Dizza sudah sangat malu dan kalau bisa dia ingin segera menggali lubang sekarang juga untuk menutupi tubuhnya sendiri.
“Kau ada disana kan, Dizza? Di perpustakaan?”
Mampus! Batin Dizza sambil membuat ekspresi sesal. Dia tahu kalau terlalu sulit untuk mengelabui Edzhar, karena mereka sudah cukup dekat akibat persahabatan mereka. Dizza memang pembohong yang buruk.
“A—aku … itu … aku bersumpah aku tidak sengaja menguping.” Pada akhirnya Dizza hanya bisa mengatakan yang sebenarnya. Berbohong pun percuma karena toh, Edzhar akan bisa mengulitinya dengan mudah.
“Kau salah dengar, aku tidak bilang kalau aku sudah punya pacar.”
“Tapi yang kau bilang kan, bisa dibilang begitu,” sahut Dizza cepat, masih segar dalam ingatannya adegan penolakan tersebut. Dan Dizza bisa menjamin bahwa dia sangat memperhatikan setiap detail dari adegan tersebut tanpa sedikit pun kekurangannya.
“Kalau begitu kau yang salah mengartikan maksudku.”
“Lalu yang benar memang apa?”
“Aku menyukai seseorang dan berharap orang itu jadi pacarku.”
Saat itu pula lidah Dizza mendadak terasa gatal untuk bertanya siapa orang yang Edzhar maksud. Namun sisi pecundang dalam dirinya mengurungkan diri untuk bertanya. Harga dirinya melarang untuk itu. Selain karena gengsi dia juga tidak mau sakit hati kalau dia sudah tahu jawabannya nanti.
“Dizza?” terdengar suara Edzhar setelah lama keduanya hanya berdiam diri saja.
“Ya?”
“Jadi tidak apa-apa kan kalau aku meneleponmu?”
“Hanya untuk mendengar suaraku?”
“Ya.”
Dizza menganggukan kepala sambil menjawab. “Tidak apa-apa, asal kau jelaskan kenapa kau tiba-tiba ganti nomor ponsel.”
“Nah kalau yang itu—”
***
Sama seperti waktu di SMA, kampus juga mengadakan sebuah acara festival olahraga setelah menjalankan ujian tengah semester sebagai waktu yang digunakan para mahasiswa untuk merefresh kembali otak mereka. Selama satu pekan semua jurusan mengirimkan wakil-wakilnya untuk mengikuti setiap pertandingan yang dilombakan. Mulai dari lari estafet, permainan bola, dan berbagai permainan lainnya yang sudah menjadi tradisi kampus.
Lari pembawa pesan adalah salah satu permainan yang paling diminati oleh semua orang. Karena ada hal unik yang akan terjadi dan biasanya menjadi ajang bagi beberapa orang untuk mengungkapkan perasaan kepada orang yang disukai dengan cara yang tidak biasa berdasarkan pesan yang tertulis secara acak kepada para pesertanya. Dalam pesan tersebut biasanya terdapat suruhan untuk membawa seseorang/benda untuk ikut bersama peserta hingga ke garis finish.
“Kau yakin akan membiarkan Levin disana, Dizza? Bukannya kau paling menantikan perlombaan ini?” tanya Kimber saat mereka duduk di tepi lapangan.
“Tidak ah, terima kasih. Aku mau jadi penonton saja. Lagipula yang paling ngebet itu Levin, jadi aku mengalah saja untuk dia,” jawab Dizza cepat sambil mengambil dua pompom, masing-masing kini sudah berada di kedua tangannya.
“Tumben sekali kau mengalah padanya,” komentar Kimber yang tampak sesekali mengerling ke arah Levin.
Dizza pun memandang ke arah yang sama dan kemudian dia mendapati Edzhar yang berdiri bersebelahan dengan Levin. Keduanya tampak sedang bercengkrama satu sama lain.
Sejak Dizza menjadi satu-satunya orang yang diberitahu nomor rahasia Edzhar. Mereka jadi semakin lebih dekat satu sama lain. Dia jadi semakin sering bertukar pesan, saling membalas status entah itu di saluran whatsapp atau pun media sosial. Bahkan tak jarang mereka juga menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk bicara melalui telepon. Meski begitu, tidak ada yang lebih dari itu. Mereka masih tetap dipersatukan dengan title sebagai ‘sahabat’.
“Dizza.” Panggilan Kimber menyadarkan Dizza dari lamunannya. “Kenapa diam saja? kamu bertengkar dengan salah satu diantara mereka berdua?” tanya Kimber memastikan.
Dizza menggeleng. “Tidak kok, aku baik-baik saja dengan mereka berdua.”
“Syukurlah kalau begitu,” kata Kimber kemudian. Tetapi karena Dizza yang kedapatan selalu melirik ke arah Edzhar, diam-diam membangkitkan rasa keingintahuan Kimber. “Kalau dengan Edzhar? Yakin baik-baik saja?”
Dizza mengangguk yakin. “Aku baik-baik saja kok, bahkan kami cukup dekat,” ujarnya ringan dan santai. Dizza mengindahkan tatapan Kimber yang takjub atas pengakuan barusan.
“Eh? Apa maksudnya itu?” Kimber langsung heboh, dia segera meminta penjelasan lebih kepada Dizza.
Kalau dipikir-pikir karena Levin kerap menghabiskan waktu bersamanya, Kimber jadi jarang berkumpul bersama. Makanya dia jadi sedikit ingin tahu perkembangan antara Dizza dan Edzhar yang tidak dia ketahui akhir-akhir ini.
“Itu artinya kami sudah cukup dekat meski tidak berinteraksi secara langsung,” jelas Dizza apa adanya.
“Cara apa?” Kimber mendadak tidak bisa berpikir dengan benar. Dia akan sangat senang bila benar hal itu terjadi, dan tentu saja dia memang sejak dulu sudah menjadi supporter nomor satu untuk Dizza lebih terbuka terhadap perasaannya. Makanya ketika dia mendengar hal ini dia jadi super excited untuk bisa menyelami lebih dalam lagi.
“Bagaimana bilangnya ya.”
“Ayo ceritakan padaku detailnya,” desak Kimber.
Dizza memberi isyarat agar Kimber mendekat kepadanya lalu berbisik di telinga temannya itu.
Kimber kemudian langsung menyeringai. “Ck, dasar,” dia berdecak tetapi raut wajah gadis itu tidak terlihat kesal sama sekali dan malah menghadiahi Dizza dengan sebuah cubitan di kedua pipinya.
“Ih, kenapa kau mencubit pipiku?”
“Karena kau menggemaskan, Dizza. Sungguh …,”ungkap Kimber sambil tertawa kecil dan Dizza sendiri manyun karena diperlakukan seperti anak kecil hanya karena telah mengaku soal dia dan Edzhar kepada Kimber.
“Aku bukan anak kecil.”
“Iya, iya, iya …”
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱