Alexa seorang gadis cantik yang memiliki wajah bulat seperti tomat yang menyukai seorang pria tampan di kantor nya. "Sampai kapan pun aku tidak akan pernah tertarik dengan wanita berwajah bulat. Mau dia secantik bidadari sekali pun aku tidak akan tertarik. "ucap chavin (pria yang disukai lexa). Dengan seiring nya waktu tanpa disadari mereka pun berpacaran. Chavin menerima cinta lexa kerena alasan tertentu. Tapi lexa sering diperlakukan tidak baik. Chavin suka membandingkan lexa dengan wanita lain. Dan akhirnya chavin memutuskan untuk berpisah dengan lexa. Tak disangka- sangka lexa mengalami kecelakaan yang membuat wajah nya yang bulat menjadi tirus mungkin disebabkan dia sakit teruk. Apakah setelah wajah lexa tirus cavin menerima cinta lexa kembali dengan tulus??? apakah lexa akan tetap mengejar cinta cavin atau malah sebaliknya. Nantikan kisah mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. ISAK TANGIS DIRUANG ICU
Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu, seakan ikut merasakan duka yang menyelimuti keluarga Alexa. Di salah satu sudut rumah sakit ternama, di lantai tertinggi, ruang ICU tampak tenang namun penuh dengan ketegangan.
Alexa, Yah kini dia bertarung untuk hidupnya, senyum yang dulu memancarkan kebahagiaan, kini terbaring tak berdaya. Seluruh tubuhnya dibalut perban, hanya menyisakan bagian kecil dari wajahnya yang dulu begitu cantik. Deretan alat medis berdengung pelan, mempertahankan nyawa gadis itu di tengah perjuangan antara hidup dan mati.
Di luar ruangan, keluarga Alexa duduk terpaku. Mereka adalah saksi bisu dari tragedi yang begitu mendadak, merenggut tawa dan kebahagiaan mereka dalam sekejap. Sang Ibu yang Penuh Harap, tak habis habis berdoa dan menangis, bahkan sesekali ibu Alexa pun pingsan karena melihat sang putri masih tak sedarkan diri.
Ibu Alexa, tak pernah meninggalkan tempat duduknya di depan kaca ruang ICU. Matanya sembab, memerah, dan kosong menatap putrinya di balik dinding kaca itu. Dalam hatinya, ia terus berdoa. Tangannya yang kurus menggenggam tasbih, menghitung doa-doa yang tiada henti ia panjatkan kepada Tuhan.
"Alexa, sayaaangg bangun, Nak... Mamah ada di sini nak," bisiknya dengan suara bergetar.
"Bangun sayaaang... Lihat lah kami disini menunggu mu, pagi, siang, malam ingin melihat kamu ceria seperti dulu. " ucap sang ibu sambil menangis.
"Alexa... anak mamah, apakah lexa, tidak sayang kamu nak dengan mamah dan papa mu? Banguunn Sayaang mamah, banguuun..." ucap nya lagi dengan isak.
"Pa.... suruh Lexa bangun Pa cepat Pa. " ucap Ibunya dengan menggoyang goyang pundak sang suami. Seolah menyuruh sang suami membangun kan anaknya.
"Sudah Mah... Lexa hanya tidur sebentar. Mamah jangan nangis lagi yah, nanti puteri kita pasti akan bangun. Tenang yah Mah tenaaang. "jawab Ayah Lexa yang berusaha menenangkan Ibunya.
Tiap tiap hari adegan sedih ini yang selalu terdengar dirumah sakit itu. Kenangan masa kecil Alexa berputar di pikirannya seperti film yang tak berujung. Alexa kecil yang gemar bermain di taman, melompat-lompat sambil tertawa lepas.
Alexa remaja yang selalu pulang membawa cerita tentang mimpinya menjadi wanita kuat. Dan Alexa dewasa, yang kini hanya terbujur lemas tak berdaya melawan maut.
"Mamah janji, Alexa... Kalau kamu bangun, apa pun yang kamu mau, Mamah akan berikan," ujar sang Ibu pelan, meski ia tahu putrinya tak bisa mendengar. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
Ayah yang tegar di luar, runtuh di dalam kesedihan. Ayah Alexa, berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Dari luar, ia terlihat tegar, menjadi pilar untuk keluarganya yang tengah rapuh. Namun, dalam diam, hatinya hancur berkeping-keping.
Ia menyalahkan dirinya sendiri. Seandainya malam itu ia tak membiarkannya Lexa mengendarai mobil di tengah hujan deras, mungkin semua ini tidak akan terjadi.
"Pa, jangan salahkan diri sendiri," ucap salah satu kerabat yang datang menjenguk. Namun Ayah hanya membalas dengan anggukan singkat.
Di dalam kepalanya, ia terus memutar ulang kejadian malam itu, yang diceritakan oleh polisi. Sebuah mobil truk melaju kencang di tengah hujan dan kehilangan kendali. Mobil Alexa tak sempat menghindar, hingga tabrakan hebat itu terjadi.
"Saya harus kuat," gumam Ayahnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Di kursi lain, Ninda, sahabat baik Alexa, duduk sambil memeluk lututnya. Ia menatap lurus ke lantai, wajahnya penuh dengan rasa bersalah. Mereka berdua sangat dekat, lebih dari sekadar sahabat. Alexa adalah sahabat terbaiknya, tempat ia berbagi cerita, mimpi, dan keluhan hidup.
"Malam itu aku betul betul tidak tahu kamu keluar Lexa. Tapi kenapa aku malah sibuk dengan pekerjaanku?" bisiknya lirih. Pikiran itu membuat Ninda semakin tersiksa. Bagaimana mungkin sahabat yang baik yang selalu ceria yang selalu membawa kebahagiaan itu kini terbaring tak berdaya?
"Ninda mengenang kenangan bersama lexa disetiap sudut, "Lex..kita belum weekend lagi kan. Minggu kemarin. Kamu janji kan Lex kita akan selalu bersama sama, tapi kenapa kamu bohong Lex. Kamu selalu berbohong pada ku. " Gumam Ninda.
"Kamu kan mau lihat aku punya pacar kan. Aku sekarang sudah jadian dengan Bryan Lex. Apa kamu gak iri Lex??? Pasti kamu iri kan melihat kedekatan kami. Come on, la Lex... come on.. jangan tidur saja kamu Lex..."gumam nya dengan lembut.
Dokter yang berusaha sebisa mungkin, Di dalam ruang ICU, dokter dan perawat bekerja tanpa henti, memastikan semua alat bekerja dengan baik. Dokter Smith, yang menangani kasus Alexa, merasa berat menyampaikan kabar kepada keluarga tadi.
"Keadaannya kritis, tapi kami akan melakukan yang terbaik," ucapnya dengan nada hati-hati.
Namun ia tahu, keluarganya menggantungkan harapan besar padanya. Dalam hatinya, Docter Smith juga merasa frustrasi. Ia telah menyaksikan banyak pasien dengan kondisi serupa, dan ia tahu betapa tipisnya harapan di saat seperti ini.
Bahkan sangat kemungkinan tidak ada harapan. Seandainya pun sembuh tidak berkemungkinan wajah Alexa akan mengalami cacat total. "fikirnya
Dua minggu lebih, selalu penuh harapan. Waktu berlalu dengan lambat. Hari berganti menjadi malam, dan malam kembali menjadi pagi. Pagi menjadi siang dan siang menjadi malam, sampai kepagi lagi, keluarga Alexa tak pernah beranjak dari rumah sakit.
Setiap bunyi alat medis didalam ruangan itu, membuat siapa saja menjadi tegang, takut akan hal buruk terjadi kepada Alexa.
Saat itu ditengah keheningan dan kesedihan itu, ada secerca harapan. Malam itu saat Dokter Smith sedang memeriksa kondisi Alexa. Ia melihat sesuatu yang membuat nya kaget.
Ia melihat jemari Alexa sedikit bergerak.
"Ibu Sarah, Bapak Alex, (nama kedua orang tua Alexa) mari masuk sebentar," ujar dokter Smith, yang mencoba menyembunyikan senyumnya.
Keluarga Alexa masuk ke ruangan dengan perasaan cemas sekaligus berharap. Saat mereka mendekat, mata Alexa perlahan terbuka. Meski lemah, gadis itu tampak sadar.
"Mmm...Ma..Mamah... Papa..." bisiknya pelan, hampir tak terdengar. rintih Lexa memanggil.
Kedua orang tua nya langsung menangis haru, memeluk tangan putrinya dengan hati-hati. Ayah nya mengusap kepala Alexa dengan lembut, dan Ibunya tak bisa menahan air matanya lagi.
Kesadaran Alexa malam itu menjadi titik awal dari perjuangannya untuk pulih. Jalan yang harus ia tempuh masih panjang, penuh dengan terapi dan banyak operasi lanjutan. Namun, bagi keluarganya, kesadaran Alexa dari koma pun itu sudah cukup.
Mereka tahu, selama mereka bersama, mereka bisa melewati apa pun. Alexa adalah cahaya dalam hidup mereka, dan meski cahaya itu sempat meredup, kini ia mulai menyala kembali. Di luar, hujan sudah berhenti.
Hanya bekas sisa air hujan embun yang menempel disetiap jendela, pagi itu sinar matahari memancat dengan terang. Seperti sedang menyambut gembira kehadiran Alexa.
Cinta keluarga yang kuat, doa yang tak putus putus harapan yang selalu ada bisa menjadi kekuatan besar dalam menghadapi cobaan hidup. Itu lah yang membuat Alexa bangkit.
BERSAMBUNG....
jika berkenan mampir juga dikaryaku yuk/Smile/