John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Terulang Lagi
“Aku tahu,” potong Nadira, matanya semakin berkaca-kaca. “Tapi ini benar, Om. Aku… tidak pernah merasa begini pada seseorang.”
John terdiam, menatap Nadira yang menampilkan emosi tulus di depannya. Tanpa sadar, ia merasakan keinginan untuk mendekat pada Nadira, meskipun ia tahu ini mungkin tidak benar.
Nadira perlahan mendekatkan wajahnya ke arah John, menatap pria itu dengan sorot mata penuh rasa. "Om… aku jatuh cinta pada Om sejak pertama kali kita bertemu," ucapnya dengan suara pelan tapi sarat emosi. "Om adalah satu-satunya orang yang aku percayai di dunia ini." Tangannya terangkat, membelai lembut rahang John.
John terdiam, terpaku oleh pengakuan dan sentuhan Nadira. Hatinya campur aduk antara kaget, bingung, dan tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ketika Nadira tiba-tiba mengalungkan lengannya di lehernya, ia merasa makin terkejut.
"Om Bule… kawin yuk!" ujar Nadira, suaranya terdengar khas orang mabuk, diselingi tawa kecil. "Miliki aku… seutuhnya." Tiba-tiba, Nadira mendorong John hingga pria itu jatuh terlentang di sofa, sementara Nadira menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh John, masih menatapnya penuh rasa. Jantung John berdetak cepat, apalagi saat ia merasakan kehadiran Nadira begitu dekat, lebih dari sebelumnya.
Dengan tatapan yang sedikit kabur dan senyum yang polos, Nadira mengangkat tangan, membelai wajah John. "Om Bule ganteng… mau, ya, nikah sama aku?" tanyanya, suaranya lirih namun terdengar dalam. "Aku akan memberikan semua yang aku punya… hanya untuk Om seorang."
John terdiam, tubuhnya terasa kaku, tak tahu harus bicara atau berbuat apa. Jantungnya berdetak semakin kencang saat Nadira mendekatkan wajahnya, dan sebelum sempat menahan diri, Nadira perlahan mencium bibirnya. Gerakan gadis itu masih terasa kaku, seakan ini hal yang baru, namun kehangatannya justru membuat tubuh John tersulut seketika, seperti api yang membakar perlahan.
Tanpa disadari, dorongan dalam dirinya menuntun John untuk membalasnya. Ciumannya semakin dalam, mengabaikan semua suara logika yang berusaha menahan. Saat ini, hanya ada mereka berdua, terjebak dalam momen yang menggantung antara kesalahan dan hasrat.
Ciuman dalam yang membawa mereka kembali ke dalam kehangatan yang membuat keduanya lupa sejenak akan batasan dan kendali. John membalikkan posisi mereka hingga kini ia yang ada di atas Nadira. Bibir dan jemari tangannya perlahan menjelajahi seluruh tubuh Nadira. Helai demi helai kain yang menempel di tubuh mereka berserakan di lantai.
"Ahh ..Om..." lenguh Nadira merasakan nikmat dan gelisah yang semakin menggelora. Setiap sentuhan John membuat darahnya mengalir semakin deras dan suhu tubuhnya semakin meningkat, ingin disentuh lebih dan lebih.
Hingga akhirnya, mereka berdua kembali terseret dalam momen one-night stand yang tak terelakkan, dipicu oleh kejujuran Nadira yang terungkap dalam keadaan mabuk.
Seperti saat pertama kali mereka melakukannya di hotel, kali ini pun bukan hanya sekali. Bahkan setelah mendapatkan pelepasan pertamanya, John membawa Nadira ke dalam kamarnya, melanjutkan sesi bercinta mereka yang penuh gelora, melalui malam panjang dalam kenikmatan yang membuat mereka semakin candu.
***
Pagi itu, sinar matahari yang menerobos jendela menyinari ruangan dengan lembut. John dan Nadira terbangun dari tidur mereka, masih berpelukan tanpa sekat di bawah satu selimut. Hening yang menyelimuti suasana mendadak terpecah oleh dering ponsel di atas nakas.
John mengerjap, setengah sadar, lalu meraih ponselnya. Sekilas ia melihat nama di layar dan segera menerima panggilan, suaranya masih berat dan sedikit parau saat menjawab. Sementara itu, Nadira mengamati John dari samping, perasaan bergejolak di dalam hatinya. Wajahnya memerah, tersipu malu ketika terlintas kembali ingatan semalam, saat ia mengungkapkan isi hatinya yang selama ini terpendam.
Ia memalingkan wajah, merasakan campuran antara kebahagiaan dan keraguan. Perasaannya bagaikan riak gelombang, masih sulit ia pahami, namun satu hal yang pasti, Nadira tahu bahwa malam itu adalah titik awal dari perubahan besar dalam hidupnya.
Setelah menutup panggilan telepon, John meletakkan ponselnya kembali di atas nakas, wajahnya masih serius dan belum sepenuhnya tenang. Ia menoleh, menatap Nadira yang terbaring di sampingnya.
"Aku harus pergi. Ada pekerjaan yang perlu kuselesaikan," ujarnya pelan.
Nadira tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan perasaan malu yang masih bersemayam di hatinya. "Aku akan buatkan sarapan," katanya pelan.
John menatap Nadira sejenak, kemudian menggeleng. "Tidak perlu. Lebih baik kau istirahat saja," katanya lembut, menyentuh lengan Nadira agar tetap berbaring. "Kau pasti lelah... setelah tadi malam..." Kalimatnya terhenti, mengingat bagaimana malam itu berakhir, penuh keintiman yang membuat hubungan mereka terasa semakin rumit.
Nadira hanya menunduk, wajahnya merona. John menarik napas dalam, perasaan bersalah melintas di benaknya karena membiarkan hubungan ini berjalan sejauh ini. "Tidurlah lagi. Aku akan pesan makanan nanti," tambahnya, masih bimbang dengan perasaannya yang tak menentu.
Nadira mengangguk pelan, menerima sarannya. Tubuhnya memang masih terasa lelah. John lalu bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Nadira menatap punggungnya yang menjauh, hatinya dipenuhi rasa tak pasti. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang selama ini belum pernah ia beranikan untuk ditanyakan. "Apa yang akan terjadi dengan kami setelah ini?"
John berdiri di bawah shower, membiarkan air mengucur deras membasahi dirinya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berkecamuk. Mengambil keputusan ini ternyata tidak semudah yang ia kira.
Setelah membersihkan diri, ia kembali ke kamar, tatapannya tertuju pada Nadira yang kembali terlelap di bawah selimut karena kelelahan.
Kenangan semalam berkelebat di pikirannya. Sambil menatapnya, John bergumam pelan, “Apakah aku harus membuka hatiku untukmu, Nadira?” Perasaan ragu bercampur keinginan mulai menyelinap, tetapi ia masih tak yakin.
Sebelum pergi, John memastikan makanan yang ia pesan akan tiba segera, agar Nadira tidak perlu bangun dalam keadaan lapar. Dengan satu pandangan terakhir yang lembut, John meninggalkan apartemennya, siap menuju proyek investasi yang perlu ia tinjau, namun membawa bayang-bayang Nadira dalam benaknya.
***
Di lokasi proyek yang sedang ia tinjau, John berdiri memeriksa konstruksi sambil melihat-lihat pekerjaan para bawahannya. Namun, pikirannya tampak melayang-layang, tak sepenuhnya hadir di tempat itu.
Zion, sahabat yang telah dianggapnya seperti keluarga sendiri, mengamati ekspresi John yang tampak lebih gelisah dari biasanya. Ia menghampiri John dan menepuk bahunya.
"John, kenapa akhir-akhir ini kau terlihat seperti orang galau?" tanyanya sambil tersenyum, mencoba memecahkan ketegangan.
John menghela napas, sedikit tersenyum sebagai usaha untuk menyembunyikan kegundahannya. "Ah, nggak apa-apa. Cuma... banyak yang dipikirkan saja," jawabnya, berusaha terdengar santai.
Zion mengangkat alis, tidak yakin dengan jawaban itu. "Kau nggak bisa bohong sama aku, John. Aku tahu kalau ada yang mengganggu pikiranmu. Ini soal bisnis? Atau..." Zion berhenti sejenak, tersenyum penuh arti. "Soal wanita?"
John tertawa kecil, meski nadanya terdengar agak berat. "Kau benar-benar tahu apa saja," jawabnya akhirnya. "Hidup memang... semakin rumit belakangan ini."
Zion menatap John lebih dalam, menyadari ada sesuatu yang lebih besar dari yang John akui. "Kau tahu, kadang kita cuma butuh seseorang untuk mendengarkan," ucapnya pelan. "Jadi, kalau ada yang perlu diceritakan, aku selalu ada buatmu."
John tersenyum tipis, merasa sedikit lega. Ia tahu Zion selalu bisa diandalkan, tapi ia masih ragu untuk berbicara. Perasaannya pada Nadira begitu rumit, dan entah bagaimana harus diungkapkan.
"Mungkin nanti, Zion," jawab John pelan. "Tapi, terima kasih sudah selalu ada."
...🍁💦🍁...
.
To be continued
beno Sandra dan sasa merasa ketar-ketir takut nadira mengambil haknya dan beno Sandra dan sasa jatuh jatuh miskin....
mampus org suruhan beno dihajar sampai babak belur sampai patah tulang masuk rmh sakit....
Akhirnya menyerah org suruhan beno resikonya sangat besar mematai2 nadira dan dihajar abis2an sm anak buahnya pm john....
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂