Dijodohkan sejak bayi, Zean Andreatama terpaksa menjalani pernikahan bersama aktris seni peran yang kini masih di puncak karirnya, Nathalia Velova. Memiliki istri yang terlalu sibuk dengan dunianya, Zean lama-lama merasa jengah.
Hingga, semua berubah usai pertemuan Zean bersama sekretaris pribadinya di sebuah club malam yang kala itu terjebak keadaan, Ayyana Nasyila. Dia yang biasanya tidak suka ikut campur urusan orang lain, mendadak murka kala wanita itu hendak menjadi pelampiasan hasrat teman dekatnya
--------- ** ---------
"Gajimu kurang sampai harus jual diri?"
"Di luar jam kerja, Bapak tidak punya hak atas diri saya!!"
"Kalau begitu saya akan membuat kamu jadi hak saya seutuhnya."
-------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - Gundah
Berawal dari ketakutan Syila bahwa Zean akan tidak nyaman, faktanya pria itu terlihat baik-baik saja meski di rumah sakit. Walau memang Zean sudah memindahkan Zulia ke ruangan yang lebih baik, tetap saja rumah sakit tidak akan senyaman itu untuk tempat tidur. Begitulah pemikiran Syila awalnya, akan tetapi malam ini matanya lagi-lagi terbuka dan merasa mengenal Zean lebih dalam lagi.
"Terima kasih, kamu sudah memberikan semua ini untuk ibuku."
"Memang sudah tanggung jawabku, jadi tidak perlu mengucapkan terima kasih, Syila ... lagipula, beliau ibuku juga, 'kan?" tanya Zean yang masih saja meminta validasi dan meminta diakui secara langsung oleh sang istri.
Syila hanya menjawab dengan senyumannya, wanita itu menatap sendu sang ibu yang sudah menjalani perawatan sejak beberapa bulan yang lalu. Berawal dari kalimat Ibu baik-baik saja, hanya sesak biasa, kini berakhir pada keadaan dimana Syila menyesali keterlambatannya.
Andai saja Syila sadar dan lebih cepat memaksa sang ibu, mungkin keadaannya tidak akan seburuk ini. Bodohnya lagi, Syila justru menuruti keinginan Zulia setiap minta dibelikan obat sesak napas. Tanpa dia sadari, jika kondisi sang ibu yang melemah dan tidak seperti dulu adalah gejala awal pembengkakkan jantung dan kini kondisinya semakin serius.
Namun, jika Syila kembali mengingat hal itu. Kehadiran Zean memang merupakan jalan Tuhan yang diberikan padanya. Terlepas dari cara yang mereka jalani tidak dibenarkan, Syila tetap berterima kasih pada Zean.
Untuk saat ini tidak ada yang Syila utamakan selain ibu. Bahkan, dia rela sekalipun harus mengorbankan kehormatannya demi perawatan Zulia tidak dihentikan. Lagi-lagi, dia kembali terlihat cengeng dan lemah di mata Zean. Wanita itu baru tersadar kala Zean menepuk wajahnya beberapa kali.
"Syila ... jangan membuatku takut, kenapa?"
Zean paling anti dengan rumah sakit sebenarnya, apalagi bagian belakang rumah sakit tidak begitu jauh dengan tempat pemakaman umum. Ya, sekalipun Zean tidak takut hal-hal semacam itu mengganggunya, tetap saja sang istri yang menangis dengan tatapan kosong di sisinya membuat Zean berpikir macam-macam.
"Ma-maaf, aku cuci muka dulu."
Syila segera berlalu meninggalkan Zean yang kini bernapas lega istrinya bukan kerasukan. Dia paling tidak percaya dengan hal mistis yang kerap Khayla katakan sejak kecil, akan tetapi beberapa menit lalu Zean tiba-tiba bergidik dan hampir percaya bahwa mereka semua memang nyata.
"Tenang, Zean ... mereka memang tidak ada, kenapa kau jadi mengingat ucapan tukang ngarang itu." Zean bermonolog seraya mengelus dada, hampir saja keyakinannya berubah.
Dia sudah berkali-kali meyakinkan tidak ada hal semacam itu. Akan tetapi, malam ini entah kenapa Zean tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengacau hatinya, entah apa dan dia tidak mampu menjelaskan kegundahan dalam benaknya.
"Ck, dia lama sekali."
Istrinya pamit cuci muka, tapi hingga detik ini belum keluar juga. Dada Zean kian bergemuruh dan dia tidak paham sebenarnya kenapa, tidak mungkin jika ini hanya takut belaka. Di saat suasana sedang mencekam, ponselnya tiba-tiba bergetar dan hal itu hampir saja membuat jantung Zean lepas dari tempatnya.
"Huft, ya Tuhan."
Zean memejamkan matanya, dia sejenak lebih tenang kala mengetahui Zia yang menelponnya. Akan tetapi, sesaat kemudian keningnya berkerut dan kini bertanya-tanya kenapa sang mama menghubunginya di saat-saat begini.
"Hallo, Ma."
Deg
Bersamaan dengan kilatan petir di luar sana, jantung Zean seakan berhenti berdetak kala mendengar suara lemah sang mama. Mata Zean memanas, lututnya kini lemas dengan tangan yang bergetar hingga ponselnya jatuh ke lantai.
"Pulang, Zean ... Nathalia sudah di sini. Cepat ya, Nak."
Di saat bersamaan, Syila kembali dan mendengar permintaan Zia karena memang dia yang mengambil ponsel Zean. Syila hendak bertanya, tapi mata Zean sudah membasah dan hal itu membuat Syila khawatir apa sebabnya.
"Ze pelan-pelan saja, jangan panik ... atau perlu Evan saja yang jemput? Katakan kamu dimana?"
Meski Syila tidak mengerti apa yang terjadi, tapi isak tangis dan teriakan histeris di sana membuat batinnya ikut tersiksa. Syila paham makna keramaian semacam itu, keramaian berbalut tangis dan dia tidak akan bertanya pada Zean saat ini.
"Sayang, Zean dimana?"
"Entahlah, dia cuma diam saja ... aku khawatir."
"Ze ... Zean!! Jawab bodoh!! Pulang, kenapa juga sudah menikah masih keluar malam!!"
Itu adalah Mikhayla yang tengah kehabisan stok sabar lantaran Zean tidak menjawab sama sekali. Padahal, saat ini Zean tengah susah payah menahan tangisnya, hatinya sakit. Pria itu terduduk lemas di lantai dengan harapan yang sudah musnah. Ingin berteriak histeris, dia ingin meraung dan bertanya pada Tuhan kenapa harus sekarang.
Hanya saja, di sini ada Zulia yang tengah terlelap dan tidak mungkin Zean menangis layaknya anak kecil. Syila yang paham rasa sakit Zean, segera bertutut dan memeluk suaminya untuk memberikan kekuatan.
"Menangislah, aku paham itu sakit."
Tidak, sekalipun akan meraung bukan di sini. Zean akan menahannya dan kini bersandar pada Syila yang membuatnya tidak berdaya. Ini adalah kali pertama Syila melihat Zean juga makhluk yang lemah, dia hanya bisa menenangkan sang suami sebisanya.
"Aku pulang."
Beberapa menit kemudian, Zean beranjak berdiri meski air matanya kini mengalir begitu deras. Wajah pria itu muram sekali, Zean menerima ponsel yang Syila berikan padanya. "Ak-aku ikut," ucap Syila seakan lupa jika dia sedang menjaga ibunya, mungkin terlalu khawatir dengan Zean yang harus pulang dalam keadaan begitu.
"Jangan, kamu di sini saja jaga ibu ... lagipula jika kamu ikut malam ini, sama saja bunuh diri," ucap Zean masih begitu lembut seraya mengecup pipinya. Padahal, saat ini mungkin hatinya hancur berkeping-keping.
.
.
- To Be Continue -