Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan Revan
Keesokan paginya, sinar matahari yang menerobos melalui celah gorden kamar perlahan membangunkan Revan.
Matanya terbuka perlahan, kepalanya terasa sedikit berat, dan ia mendapati dirinya terbaring di atas ranjang. Namun, saat pandangannya mulai jelas, ia terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Tubuhnya tanpa sehelai pakaian, dan di sampingnya, Karina masih tertidur pulas, wajahnya terlihat tenang. Rambut Karina terurai di atas bantal, dan selimut yang menutupi mereka berdua menjadi satu-satunya penutup.
Revan duduk perlahan, mencoba tidak membangunkan Karina. Ia mengusap wajahnya, berusaha mencerna apa yang terjadi semalam. Kilasan momen-momen penuh gairah antara mereka berdua muncul di benaknya, membuat dadanya berdebar. Apa yang aku lakuin? pikirnya.
Ia menatap Karina lagi, perasaan bersalah dan bingung bercampur menjadi satu. Namun, di balik semua itu, ada kehangatan aneh yang merayap di hatinya.
Meski ia tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini, ada bagian kecil dari dirinya yang merasa tidak ingin pergi.
Setelah beberapa saat, Revan berdiri pelan dan mulai mencari pakaiannya yang berserakan di lantai.
Sambil mengenakan kemejanya, ia melirik Karina sekali lagi. Hatinya bergumul antara keinginan untuk tinggal dan dorongan untuk pergi sebelum Karina terbangun. Namun, ia tahu, cepat atau lambat mereka harus berbicara tentang apa yang telah terjadi.
Setelah berpakaian dengan tergesa-gesa, Revan melirik Karina sekali lagi sebelum melangkah keluar dari kamar. Pikirannya dipenuhi berbagai perasaan, bersalah, bingung, dan bahkan sedikit takut. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan situasi ini, baik kepada dirinya sendiri maupun Mira.
Revan menyetir pulang ke rumah Mira dengan pikiran berkecamuk. Jalanan pagi yang ramai tidak mampu mengalihkan fokusnya.
Saat sampai di depan rumah Mira, Revan memarkir mobil dengan perlahan di halaman. Ia duduk diam sejenak, menatap rumah tersebut.
Ia menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Berdiri di depan pintu, tangannya terulur, merasa ragu untuk mengetuk pintu.
Dadanya terasa berat, seperti ada beban yang menghimpitnya, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan tentang reaksi Mira, bila dirinya tahu.
Setelah beberapa saat, akhirnya ia mengetuk pintu dengan lembut. Suara ketukan itu terasa begitu keras di telinganya sendiri.
Pintu terbuka perlahan, dan Mira muncul di baliknya, mengenakan pakaian sederhana. Wajahnya terlihat lelah, namun sorot matanya langsung berubah lega saat melihat Revan berdiri di depan pintu.
“Sayang…” ucapnya lirih, suaranya terdengar penuh kelegaan.
“Kamu dari mana? Semalaman nggak pulang, aku khawatir mikirin kamu,” lanjutnya dengan nada cemas.
Revan tidak langsung menjawab. Ia menatap Mira, memperhatikan wajahnya yang terlihat lelah namun tetap memancarkan kasih sayang. Hatinya semakin berat. Rasa bersalah mulai menyelimutinya.
“Aku… maaf, sayang,” katanya akhirnya, suaranya terdengar serak. “Semalam ada hal yang harus aku selesaikan. Aku nggak sempat kasih tahu kamu karena handphoneku lowbat.”
Mira menghela napas panjang, mencoba mengusir kekhawatirannya. Ia menatap Revan dengan lembut.
“Ya sudah. Yang penting kamu pulang dengan selamat. Pasti kamu capek. Nanti setelah sarapan, kamu istirahat aja,” katanya sembari mempersilakannya masuk.
Revan hanya mampu mengangguk kecil saat mendengar kata-kata Mira. Tatapan lembut dan perhatian istrinya terasa seperti tamparan keras, mengingatkannya pada kesalahan yang telah ia perbuat. Ia berjalan perlahan menuju meja makan, mendapati berbagai macam makanan tersaji rapi di atas meja. Aroma masakan itu semestinya menggugah selera, tetapi yang ia rasakan hanyalah kekosongan.
“Aku tadi bangun agak pagi buat masak ini,” ujar Mira dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Takut kalau kamu pulang, nggak ada apa-apa buat dimakan.”
Ia menarik kursi untuk Revan, menyuruhnya duduk dengan lembut. "Aku sengaja bikin yang kamu suka. Telur mata sapi setengah matang, nasi hangat, sama sup ayam. Kalau kamu lapar, makan aja yang banyak."
Revan menatap makanan itu sejenak, merasa semakin bersalah. Mira, meskipun mungkin kelelahan dengan rutinitasnya sendiri, masih memikirkan dirinya, sementara ia justru mengkhianati kepercayaan wanita itu.
“Aku nggak bisa lama-lama di rumah,” lanjut Mira sambil melirik jam dinding. “Nanti aku harus cepat berangkat ke toko. Banyak orderan yang harus aku packing sebelum kurir datang.”
Revan mengangguk, memaksakan senyuman. "Iya, sayang. Nanti kalau ada apa-apa kasih tahu," Ujarnya pelan, namun suaranya terdengar berat.
"Iya, Mas. Nanti aku telpon kamu kalau aku butuh bantuan." Jawab Mira, lalu berjalan menuju dapur, sibuk mengemasi barang-barang untuk persiapan berangkat ke toko bunga.
Sementara itu, Revan duduk di meja makan, menatap piring di depannya tanpa semangat untuk makan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa kebohongan yang ia simpan hanya akan memperumit keadaan. Namun, ia juga tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kebenaran.
Tatapannya beralih ke arah Mira yang sedang menggandeng tasnya, lalu melambaikan tangan ke arah Revan sebelum ia melangkah keluar rumah
Revan hanya bisa membalas lambaian tangan Mira dengan senyuman tipis yang nyaris tak terlihat.
Tatapannya mengikuti langkah Mira yang semakin menjauh, hingga pintu tertutup di belakangnya.
Suara pintu itu terasa seperti sebuah penegasan, tentang jarak yang kini tumbuh di antara mereka, meskipun Mira sama sekali tidak menyadarinya.
Ia menghela napas panjang, memandangi makanan di depannya yang kini terasa hambar. Apa yang gue lakuin? pikirnya, rasa bersalah kembali menghantam seperti ombak besar. Mira adalah wanita yang selalu ada untuknya, mencintainya tanpa syarat, mendukung setiap langkahnya meskipun kadang ia sendiri ragu pada dirinya. Dan sekarang, ia justru merusak semuanya dengan kebohongan yang terus ia pelihara.
Revan menyandarkan tubuhnya ke kursi, menutup wajah dengan kedua tangannya. Pikirannya dipenuhi konflik, antara keinginan untuk jujur kepada Mira dan ketakutannya akan kehancuran yang mungkin terjadi jika ia melakukannya.
Di dalam keheningan rumah itu, ia menyadari satu hal. Cinta yang diberikan Mira adalah sesuatu yang langka, sesuatu yang mungkin tidak akan pernah ia temukan lagi. Namun, di sisi lain, perasaannya terhadap Karina juga bukan sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Revan bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela ruang tamu. Tatapannya kosong, menembus kaca, melihat jalanan yang mulai ramai dengan aktivitas orang-orang. Di sana, ia berdiri lama, mencoba mencari jawaban, tapi hanya menemukan keraguan yang semakin besar.
Revan duduk kembali di meja makan, menatap piringnya yang masih penuh. Ia tahu dirinya butuh tenaga untuk apa yang akan ia lakukan nanti.
Dengan perlahan, ia mulai menyendok makanan ke mulutnya, meskipun rasa bersalah yang terus menghantui membuat setiap suapan terasa hambar.
Namun, ia memaksakan dirinya untuk menghabiskannya, mencoba mengumpulkan kekuatan fisik dan mental.
Setelah selesai makan, Revan membereskan meja, mencuci piringnya sendiri. Tindakan kecil itu seperti usaha untuk meredakan rasa bersalahnya terhadap Mira, meskipun ia tahu itu tidak akan pernah cukup.
Setelah semuanya bersih, ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Air hangat mengalir membasahi tubuhnya, membawa sedikit ketenangan di tengah pikiran yang penuh dengan rencana dan kekhawatiran.
Aku harus selesaikan ini. Aku nggak boleh biarin Mira tahu apa yang terjadi, pikirnya sambil menatap pantulan dirinya di cermin setelah selesai mandi. Wajahnya tampak letih, tapi ia tahu, malam yang ia habiskan di rumah Karina tidak bisa dibiarkan menjadi ancaman bagi rumah tangganya.
Setelah berpakaian, Revan mengambil kunci mobilnya dan melangkah keluar rumah. Ia menyalakan mesin mobil, dan sekali lagi menarik napas panjang sebelum melajukan kendaraannya menuju rumah Karina.
Jalanan pagi itu terasa panjang dan penuh beban, seolah mengingatkannya bahwa ia sedang menuju sebuah persimpangan yang mungkin akan mengubah segalanya.
Di dalam hatinya, Revan tahu bahwa pertemuannya dengan Karina kali ini bukan lagi tentang perasaan, melainkan tentang menutup celah, menghindari kehancuran yang bisa menghampiri kehidupan yang telah ia bangun bersama Mira.
Sesampainya di rumah Karina, Revan berdiri di depan pintu, mengetuknya berkali-kali.
Namun tak ada jawaban. Ia melangkah mundur sedikit, menatap pintu itu dengan dahi berkerut, rasa cemas mulai merayapi pikirannya.
Ke mana Karina? pikirnya. Ia mencoba mengetuk lagi, kali ini lebih keras, namun hasilnya tetap sama, sunyi. Tidak ada tanda-tanda Karina di dalam rumah.
Revan menggenggam ponselnya, mencoba menghubungi Karina, tetap tak ada jawab darinya.
Membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Berfikir bahwa Karina sedang pergi mencari dirinya. Ia tahu Karina bisa saja bertindak impulsif, dengan apa yang telah terjadi di antara ia dan dirinya.
Ia berjalan ke samping rumah, mencoba mengintip ke dalam melalui jendela. Tirai tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam. Revan kembali ke depan pintu, memutar otak untuk mencari cara lain.
Namun, di tengah kegelisahannya, ia tiba-tiba berhenti dan mencoba menenangkan diri.
"Tenang, Revan. Mungkin dia cuma keluar sebentar," gumamnya pada dirinya sendiri, meskipun kata-kata itu tidak cukup untuk meredakan rasa khawatirnya.
Ia menyalakan rokok, berdiri di dekat mobil, sambil terus menatap pintu rumah Karina dengan harapan wanita itu tiba-tiba muncul.
Sambil merokok, pikirannya dipenuhi skenario-skenario terburuk, apa yang akan terjadi jika Karina benar-benar mencari dirinya, atau lebih buruk lagi, jika ia nekat mendatangi Mira.
Setelah beberapa menit berlalu, Revan memutuskan untuk menunggu di dalam mobil. Ia tahu bahwa ia tidak bisa pergi begitu saja sebelum memastikan Karina baik-baik saja. Mata Revan terus mengawasi setiap orang yang lewat di jalan, berharap salah satunya adalah Karina.