"Kak, ayo menikah?" Vivi yang masih memakai seragam putih merah itu tiba-tiba mengajak Reynan menikah. Reynan yang sudah SMA itu hanya tersenyum dan menganggapnya bercanda.
Tapi setelah hari itu, Reynan sibuk kuliah di luar negri hingga S2, membuatnya tidak pernah bertemu lagi dengan Vivi.
Hingga 10 tahun telah berlalu, Vivi masih saja mengejar Reynan, bahkan dia rela menjadi sekretaris di perusahaan Reynan. Akankah dia bisa menaklukkan hati Reynan di saat Reynan sudah memiliki calon istri?
~~~
"Suatu saat nanti, kamu pasti akan merindukan masa kecil kamu, saat kamu terluka karena cinta..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
"Hari ini Mama masaknya sama Vivi," kata Rani setelah makanan siap di meja makan.
Reynan juga sudah duduk di dekat Vivi yang sedang mengambil nasi untuk Reynan.
"Nasi aku kebanyakan," kata Reynan.
Baru saja Vivi akan meletakkan piring itu di depan Reynan tapi Reynan sudah menolaknya.
"Biar aku ambil sendiri." Nada bicara Reynan semakin ketus. Mungkin dia kesal karena Vivi terus menghalangi Noval membantu Reynan.
Akhirnya Vivi meletakkan sepiring nasi itu di depannya sendiri.
"Rey, jangan begitu sama Vivi. Dia berusaha menjadi istri yang baik buat kamu," kata Rani. Dia merasa kasihan pada Vivi karena sikap Reynan yang belum juga bisa lembut.
"Vivi tidak perlu melakukan ini."
Vivi hanya terdiam dan memakan sarapannya. Ini sudah menjadi keputusannya menikah dengan Reynan tanpa ada cinta untuknya, jadi dia harus bisa menerima semua konsekuensinya.
"Rey, kan ini keputusan kamu sendiri menikah dengan Vivi jadi kamu harus menerima dia," kata Rangga.
Reynan hanya terdiam dan mulai memakan sarapannya.
"Hari ini ada jadwal terapi kamu. Kamu ditemani Vivi ya, biar lebih semangat," kata Rani.
Reynan tak menjawabnya. Dia memang tidak ada semangat untuk melakukan terapi apapun.
"Kak Rey, harus semangat!" bisik Vivi sambil tersenyum. "Kalau Kak Rey bisa jalan, kita bisa melakukan sesuatu yang enak, jadi harus semangat!" bisik Vivi lagi.
Seketika Reynan hampir tersedak. Dia terbatuk lalu mengambil air putih yang berada di dekat Vivi. Dia kini menatap Vivi yang masih saja tersenyum padanya. "Jangan bicara yang tidak-tidak saat makan."
"Manisnya yang pengantin baru. Ciee, bisik-bisik berdua sampai Kak Rey tersedak. Ngomongin apa nih?" goda Raina.
Reynan hanya terdiam dan melanjutkan sarapannya, sedangkan Vivi masih saja tersenyum kecil. Tentulah, baru sehari menjadi istri Reynan dia sudah menggoda Reynan beberapa kali. Dia pantang menyerah sebelum mendapatkan hati Reynan.
...***...
Siang itu, Vivi berada di dekat Reynan saat melakukan terapi. Dia terus memberinya semangat saat Reynan berhasil menggerakkan kakinya satu langkah meskipun sambil berpegangan.
"Sampai berkeringat gini." Vivi mengusap pelipis Reynan yang berkeringat dengan tisu.
"Ditemani istri tercinta harus semangat," kata Dokter yang mengawasi Reynan terapi.
Saat alat bantu itu diambil, seketika Reynan terjatuh. Sebenarnya Vivi tidak tega melihat Reynan yang jatuh dan berusaha bangkit tapi tidak bisa.
"Aku tidak bisa!" teriak Reynan. Dia sudah mengeluarkan semua tenaganya tapi kakinya sama sekali tidak bergerak.
"Kak Rey harus semangat. Kak Rey pasti bisa!"
Reynan sudah berhenti berjuang. Dia kini menundukkan pandangannya. "Dokter, berapa persen harapan saya untuk bisa berjalan lagi?" tanya Reynan. Jika persentasenya sangat kecil, dia harus menerima kondisi kakinya yang akan cacat seumur hidup.
"Tidak bisa dipastikan. Anda harus rutin melakukan terapi."
Reynan membuang napas kasar. Sepertinya percuma melakukan terapi, semua hanya angan belaka. Kemudian Reynan meraih kursi rodanya dan berusaha untuk berdiri sendiri tapi terus gagal.
"Ayo, Kak, aku bantu." Vivi menahan lengan Reynan hingga akhirnya dia duduk di kursi roda.
Tanpa berkata apa-apa, Reynan memutar rodanya lalu keluar dari ruang terapi itu.
"Terima kasih, Dok," kata Vivi. Lalu dia berjalan mengikuti Reynan dan mendorong kursi roda Reynan.
Vivi memberanikan diri untuk berbicara pada Reynan. "Kak Rey, di taman itu banyak anak kecil. Kita ke sana ya?"
Tanpa menunggu persetujuan dari Reynan, Vivi memutar kursi roda Reynan menuju taman rumah sakit. Tapi Reynan menekan rem hingga kursi roda itu berhenti.
"Kak Rey, sebentar saja."
Akhirnya Reynan melepas rem dan dia pasrah mengikuti kemauan Vivi. Saat berada di taman itu, memang ada beberapa anak kecil yang duduk di kursi taman dan sebagian di kursi roda. Di rumah sakit itu memang ada berbagai macam terapi.
"Kak Rey lihat anak-anak itu masih bisa tersenyum di tengah kekurangannya." Vivi menunjuk tiga anak kecil yang sedang duduk di kursi roda dengan kaki yang tidak sempurna. Mereka bermain dengan keterbatasan mereka dan tertawa.
"Ada juga yang sedang berjuang melawan penyakit kanker," kata Vivi lagi.
"Perjalanan mereka masih panjang dan masih punya banyak harapan, jangan samakan aku dengan mereka," kata Reynan. Dia merasa seolah dirinyalah yang paling menderita di dunia ini.
"Apa bedanya dengan Kak Rey? Perjalanan Kak Rey juga masih panjang, bahkan Kak Rey saja belum punya anak. Kak Rey juga masih punya banyak harapan." Kemudian Vivi berjongkok di samping Reynan dan menatap paras tampan itu.
"Aku sudah tidak punya harapan."
"Jangan membunuh harapan sendiri, yang membuat Kak Rey cepat sembuh hanya semangat dari diri Kak Rey sendiri."
Reynan hanya mendengar Vivi tanpa menyahutinya. Dia berusaha mengalihkan pandangannya dari Vivi yang terus menatapnya. Bahkan Vivi kini menyandarkan dagunya di pegangan kursi roda Rey.
"Aku tahu, Kak Rey sangat kecewa dengan kondisi Kak Rey saat ini, karena bukan hanya raga Kak Rey yang sakit tapi juga hati. Gini, sekarang siapa orang yang paling Kak Rey sayangi?"
"Ya jelas kedua orang tua aku."
"Oke, kalau begitu Kak Rey harus tetap semangat demi kedua orang tua Kak Rey. Demi kebahagiaan Mama Rani dan Papa Rangga. Mereka juga sangat sedih dengan kondisi Kak Rey saat ini tapi mereka berusaha tertawa dan menghibur Kak Rey agar Kak Rey bisa semangat."
Apa yang dikatakan Vivi memang benar. Dia masih tidak menyangka, Vivi yang sering bertingkah seperti anak kecil justru bisa berpikir dewasa. "Besok aku akan kembali ke perusahaan."
Vivi tersenyum kecil, karena sejak kecelakaan itu Reynan memang tidak pernah datang ke perusahaan. "Iya, aku besok juga sudah mulai kerja. Kalau Kak Rey butuh apa-apa di kantor, Kak Rey bilang saja sama aku. Tapi ngomong-ngomong gaji aku jadi double yah, selain jadi sekretaris, aku kan juga jadi istri."
"Iya, pasti ada uang bulanan buat kamu."
"Tapi bukan soal uang sih. Aku masih menunggu saat aku menjadi istri Kak Rey sepenuhnya."
Seketika Reynan menatap Vivi.
Vivi mengerlingkan matanya sambil tersenyum menggoda.
Tiba-tiba Reynan menjalankan kursi rodanya hingga membuat Vivi terjatuh ke paving karena Vivi masih menyandarkan kepalanya di kursi roda Reynan sebelum melaju.
"Aduh!" Dagu Vivi terbentur paving cukup keras. Kemudian dia berdiri dan mengusap dagunya yang terasa sakit dan perih.
"Maaf," kata Reynan. Dia kini mendekati Vivi dan melihat dagu Vivi yang berdarah. "Kamu obati dulu lukanya. Aku panggilkan suster."
"Tidak usah, ini cuma luka kecil. Kak Rey tunggu di sini ya. Sebentar saja, jangan kemana-mana. Aku mau ke toilet." Kemudian Vivi berjalan menuju toilet sambil mencari plester luka di dalam tasnya.
Sambil menunggu Vivi, Reynan keluar dari taman dan berhenti di dekat kursi tunggu. Tanpa sengaja dia melihat Lena yang sedang berjalan sambil membawa map.
"Lena!"
💞💞💞
Like dan komen ya...
dari dimanfaatin aldi & sekarang masih aja betah jadi artis
udah resiko kalau ada adegan gitu , jadi jangan sok nangis