Jika cinta pertama bagi setiap anak perempuan adalah ayah, tetapi tidak bagi Lara. Menurut Lara ayah adalah bencana pertama baginya. Jika bukan karena ayah tidak mungkin Lara terjebak, tidak mungkin Lara terluka.
Hidup mewah bergelimang harta memang tidak menjamin kebahagian.
Lara ingin menyerah
Lara benci kehidupan
Lara lebih suka dirinya mati
Di tuduh pembunuh, di usir dari kediamannya, bahkan tunangannya juga menyukai sang adik dan membenci Lara.
Lantas, apa yang terjadi? Apakah Lara mampu menyelesaikan masalahnya? Sedangkan Lara bukanlah gadis tangguh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue.sea_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Disinilah Lara berada, sebuah Club yang terkenal di ibu kota. Tentu saja Arthur juga mengikutinya.
Hampir setengah jam Lara membujuk Arthur. Hampir segala rayuan Lara lontarkan tapi Arthur tetap tidak mengizinkannya. Ckk, Arthur memang sulit untuk di bujuk. Tapi bukan Lara namanya jika ia tidak berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Kamu yakin?" Lara mengangguk mantap, ia sangat yakin. Anggukan kepala Lara entah kenapa malah membuat Arthur gusar.
Keduanya mulai menapakkan kaki memasuki area club yang pastinya sangat berisik. Dentuman musik DJ menyapa indra pendengaran. Begitu keduanya benar benar masuk hampir seluruh penghuni memandang ke arah mereka. Bukan tanpa alasan, tapi kedatangan Arthur dan Lara bagai ancaman.
"Lara tetap di samping ku, jangan sampai kita berpencar." Lara lagi lagi hanya bisa patuh, padahal ia hanya ingin bicara berdua saja nantinya dengan paman James.
"Oke oke terserah om aja deh."
"Kamu tahu di mana posisinya?"
"Gak tahu tuh, bentar deh aku telfon aja dulu." Lara segera mengeluarkan ponselnya, sebenarnya Lara sangat kesal ia sudah bersusah payah datang ke club tetapi ia tidak mendapati paman James.
"Lara kamu gak takut kalau kamu di jebak?" Lara menatap Arthur, benar juga kenapa ia tidak berpikir ke sana? Tapi tidak mungkin paman James membohonginya.
"Gak mungkin om."
"Kamu gak bisa percaya gitu aja sama siapapun Lara termasuk aku sekalipun." Arthur tahu bahwa kehidupan Lara tidak jauh dari kebohongan belaka.
Lara membuang muka, ia tak ingin menatap Arthur yang menurut Lara terlalu mengekangnya. Gadis itu menggulirkan bola matanya menatap sekeliling dengan intens, hingga sebuah pemandangan membuatnya mematung.
"Gak mungkin..." Lara mengucek matanya berharap ini hanya hayalan, tapi saat Lara kembali menatap ke arah sama ia tetap melihat pemandangan yang sama seperti sebelumnya.
"Lara, ada apa?"
Lara hanya menggeleng, gadis itu segera mengeluarkan ponselnya. Tak lama, Lara kembali menyimpan hp bermerek apel gigit tersebut setelah ia mendapatkan beberapa foto dan juga video.
"Udah om, urusan aku udah selesai, kita balik sekarang."
Arthur ingin sekali bertanya tapi Lara sudah menarik lengannya lebih dulu. Sebelum benar benar pergi Arthur sempat menoleh tak lama ia menyeringai tipis.
"Baiklah, ayo."
Arthur membawa kambali Lara ke apartemen miliknya. Ia tahu Lara pasti kecewa saat ini. Bahkan selama di perjalanan Lara hanya diam saja, tak mengeluarkan suara sedikitpun. Bahkan Lara tergesa gesa, Lara ingin segera tidur.
Ceklek
"Kalo kalian juga mau keluar kenapa harus nyuruh gue buat beli makanan?"
Lara terkejut ketika melihat seseorang tengah duduk di sofa. Lara melirik Arthur, melihat Arthur yang biasa saja Akhirnya Lara menyimpulkan pasti orang tersebut adalah teman Arthur.
Arthur tak menyahut, ia segera ikut duduk tepat di sofa yang berhadapan dengan Julian diikuti Lara yang juga melakukan hal yang sama.
"Lara kenapa masih di sini? Kamu harus istirahat."
Lara yang pada dasarnya memang keras kepala tidak memperdulikan ucapan Arthur. Ia segera membuka bungkusan sate kesukaannya kemudian makan dengan lahap. "Temen om?" Arthur mengangguk.
Julian tidak nyaman dengan tatapan Lara yang sangat mengintimidasi dirinya. "Mata Lo bocah." ucap Julian.
"Om kok bisa punya teman kayak dia sih? Memangnya om betah?"
Julian membelalak, gadis ini cukup berani juga. Tapi kenapa ia tidak pernah melawan pada Ravindra?
Arthur menggulir bola matanya karena pertanyaan yang Lara lontarkan. "Karena hanya dia yang betah dan bisa diandalkan."
Saat itu juga Julian menjatuhkan rahang, terkejut, tentu saja.
Lara kembali menatap satenya dengan nikmat, tak memperdulikan Julian yang menatap penuh permusuhan padanya. Toh, ia juga tidak mengenal teman Arthur ini. Tapi sebentar, tadi Arthur berkata Julian dapat diandalkan?
Lara kembali menatap Julian dengan tatapan yang sulit di mengerti. Jika dilihat dari tampangnya, Julian ini terlihat sangat tidak meyakinkan.
"Om, siapa nama om?"
Julian menatap Lara tak percaya, ia kemudian menoleh kebelakang. Tidak ada orang selain dirinya. "Gue?" Julian menunjuk dirinya sendiri.
"Ada orang lain?" Gadis ini sangat menyebalkan, kanapa malah bertanya balik.
Lara menyebut dirinya om, Julian mengusap wajahnya gusar. Ternyata seperti ini rasanya dipanggil om sama bocah.
"Gue Julian." Julian mengulurkan tangannya pada Lara sebagai tanda perkenalan diri. Tapi diluar dugaan Lara tak menyambut hangat uluran tangannya.
"Om udah tahu kan nama gue."
'Sekarang gue percaya sama omongan orang orang, nihh bocah sombongnya emang udah gak tertolong. Gue udah menyelamatkan dia dari neraka berkedok rumah itu dan gue juga belikan dia sate. Tau gitu gue taruh racun tuhh sate.' Batin Julian menjerit tapi ia tahan, Julian menarik kembali uluran tangannya.
"Om, aku mau om selidiki sesuatu." Lara mengotak atik ponselnya, tak lama ia menyodorkan ponsel tersebut pada Julian. Julian kaget, tentu, tapi ia tetap berusaha menormalkan ekspresinya.
Arthur juga ikut mengintip apa yang Lara tunjukkan pada Julian.
"Om tau kan apa yang harus om lakukan?"
Julian tersenyum miring begitu juga Arthur.
~-----~
"Mama, gimana apa berhasil?"
Alena menyambut ibunya yang pulang pagi ini setelah semalaman keluar. Alena sangat berharap Rania membawakan kabar gembira.
"Gagal total, sia sia mama melakukannya. Anak itu tidak terpancing." Rania duduk di sofa, ia sangat lelah. "Dimana ayah mu?"
"Ayah keluar kota tiga hari, ada masalah di perusahaan cabang. Ayah turun tangan sendiri untuk mengatasinya."
Semalam Ravindra sempat menelepon Alena sebelum pergi. Ravindra tidak pulang, karena mungkin masalah kali ini serius.
"Mama, kalo gitu ini biar jadi urusan aku aja." Pikiran Alena dipenuhi oleh rencana rencana. Yang akan ia lakukan. "Kita bakal kasih kejutan di hari kepulangan ayah."
salam kenal
terus semangat
jangan lupa mampir ya