Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan
Di tengah pelajaran, Paula memperhatikan Draven yang duduk di barisan yang sama dengannya. Namun, hari itu Draven tampak tidak fokus. Dia terus-menerus mengecek ponselnya, seolah menunggu sesuatu yang penting.
Paula mengerutkan kening, merasa kesal. Baginya, Draven yang biasanya tenang dan berkharisma kini terlihat gelisah dan tidak seperti dirinya.
"Draven," bisik Paula dengan nada pelan, cukup hanya untuk didengar oleh Draven, "apa yang sedang kau lakukan? Kenapa terus mengecek ponsel?"
Draven menoleh sebentar ke arah Paula, tapi tidak menjawab. Tatapannya kembali tertuju pada layar ponselnya, berharap ada pesan yang masuk—dari Belle. Namun, layar itu tetap kosong tanpa ada notifikasi yang diharapkan.
Paula mendekat sedikit, kini suaranya lebih tegas. "Draven, ini ada hubungannya dengan murid baru itu, ya?" desak Paula, jelas-jelas merujuk pada Belle. Dia sudah merasa tidak nyaman dengan situasi ini sejak awal.
Draven menutup ponselnya, menghela napas dengan berat. "Tidak ada hubungannya dengan itu, Paula. Aku hanya sedang berpikir."
Paula memutar bola matanya, tidak percaya. "Berpikir apa? Tentang bisnis keluarga kita atau tentang perempuan itu?"
"Paula, aku sedang tidak ingin berdebat," balas Draven singkat, mencoba menghindari pembicaraan lebih lanjut. Dia tahu bahwa situasinya dengan Belle semakin rumit, dan Paula tidak akan pernah mengerti apa yang sebenarnya ia rasakan.
Paula mendesah kesal, merasa diabaikan. Dia merasa hubungan mereka makin renggang, dan ini semua terjadi sejak kemunculan Belle di sekolah. Bagaimanapun juga, sebagai tunangan Draven, Paula tidak akan membiarkan orang lain masuk begitu saja ke dalam hubungan mereka.
Pelajaran berlanjut, tapi pikiran Draven tetap melayang. Sementara itu, Paula diam-diam merencanakan sesuatu. Dia tidak akan membiarkan Belle dengan mudah mengganggu hidupnya—dan terlebih lagi, hubungannya dengan Draven.
Saat jam istirahat tiba, Paula memutuskan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mengambil langkah. Dia sudah cukup lama menahan diri, tetapi kehadiran Belle di sekolah mulai mengganggunya. Ditambah lagi, ketidakjelasan tentang latar belakang Belle membuat Paula semakin penasaran dan curiga.
Paula, bersama dengan teman-temannya, berjalan menuju Belle yang sedang duduk sendiri di kantin, menikmati makanannya. Dengan aura penguasa yang selalu ia pancarkan, Paula berhenti tepat di depan meja Belle.
"Hei, Belle, kan?" sapanya dengan nada yang terdengar ramah, namun penuh sindiran. Belle mendongak, merasa aneh dengan perhatian tiba-tiba dari Paula. "Aku cuma penasaran, kamu siapa, sebenarnya? Kenapa tiba-tiba muncul di sini dan... kelihatannya dekat dengan Draven," lanjut Paula dengan nada penuh penekanan pada nama Draven.
Belle menatap Paula dengan tenang, meski dalam hatinya dia merasa sedikit tidak nyaman. "Aku hanya murid baru di sini. Tidak ada yang istimewa," jawab Belle singkat, mencoba menghindari konfrontasi.
Namun, Paula tidak semudah itu menyerah. "Oh ya? Tapi, aneh sekali... kita semua tahu latar belakang keluarga di sekolah ini. Siapa yang keluarganya berpengaruh, siapa yang tidak. Tapi tentang kamu... tidak ada yang tahu," ujarnya sambil menyilangkan tangan di depan dada. Teman-temannya yang berdiri di belakangnya mengangguk, mendukung Paula sepenuhnya.
"Jadi, siapa kamu sebenarnya, Belle? Dari keluarga mana? Apa keluargamu punya posisi penting seperti keluargaku dan Draven? Kalau nggak, aku rasa kamu harus tahu batasan," Paula menambahkan dengan nada yang semakin tajam, sorot matanya menantang.
Belle menelan ludah, merasa tertusuk oleh kata-kata Paula. Dia tahu sejak awal bahwa posisinya di sekolah ini tidak akan mudah, terutama dengan status keluarganya yang rumit dan tersembunyi. Tetapi, dia juga tidak ingin tunduk pada intimidasi Paula.
"Aku tidak punya urusan untuk menjelaskan siapa aku atau keluargaku," jawab Belle dengan tenang, meski ada nada tegas di balik kata-katanya. "Dan soal Draven, aku juga tidak berusaha mendekatinya. Jadi, aku sarankan kamu berhenti mencari masalah."
Paula tersenyum sinis, merasa tersulut oleh jawaban Belle. "Jadi, kamu pikir kamu bisa berdiri sejajar dengan kami hanya karena pernah sekolah di Manchester? Jangan harap, Belle. Ini bukan tentang siapa yang pintar atau keren. Ini soal kekuatan dan pengaruh. Dan di sekolah ini, kamu belum punya apa-apa."
Teman-temannya tertawa kecil mendukung Paula, tetapi Belle tetap duduk tegap, menahan diri agar tidak tersulut. Di dalam hatinya, dia merasa jengkel, tetapi dia tahu bahwa melawan Paula secara langsung hanya akan memperburuk situasi.
"Paula, kalau kamu ingin membuktikan siapa yang lebih kuat atau berpengaruh, lakukan saja dengan caramu. Aku tidak peduli," ujar Belle dingin sambil berdiri dari tempat duduknya, mengabaikan sorotan mata dari sekelompok siswa lain yang memperhatikan konfrontasi mereka.
Paula mengepalkan tangan, merasa tidak puas dengan respons Belle yang tampak tenang dan tak tergoyahkan. "Kita lihat saja nanti, Belle. Jangan kira kamu bisa sembunyi terus di balik kesan misteriusmu itu," katanya sebelum berbalik dan pergi, diikuti oleh teman-temannya.
Belle hanya berdiri di sana, menghela napas panjang. Di satu sisi, dia lega bisa mempertahankan sikapnya. Namun di sisi lain, dia tahu masalah dengan Paula belum berakhir.
Setelah pulang sekolah, Darwin dan Amanda memutuskan untuk menghampiri Draven yang tampak lesu dan penuh pikiran. Mereka berjalan bersama menuju sebuah kafe kecil dekat sekolah untuk membicarakan masalah yang akhir-akhir ini membuat segalanya semakin rumit, terutama soal Belle.
Setelah memesan minuman, mereka duduk di sudut yang lebih sepi. Darwin membuka percakapan lebih dulu, langsung ke pokok masalah. "Draven, aku harus bicara soal Belle. Dia memintaku menyampaikan sesuatu padamu—dia ingin kau menjauhinya. Dia nggak mau terlibat lebih jauh, apalagi di tengah situasi seperti ini."
Draven mengerutkan alisnya, matanya tajam menatap Darwin. "Apa? Jauhi Belle? Itu mustahil."
Amanda yang duduk di samping Darwin mulai merasa geram mendengar respons Draven. "Draven, dengar, Belle itu ingin hidup tenang. Dia baru saja pindah ke sini, dan dia tidak ingin ada masalah denganmu atau dengan Paula. Kamu tahu posisi dia nggak mudah, kan?"
Draven menghela napas panjang. Dia menundukkan kepala sejenak, sebelum akhirnya mengungkapkan perasaannya. "Aku nggak bisa. Aku... aku menyukai Belle."
Darwin dan Amanda terdiam sesaat, kaget mendengar pernyataan yang begitu blak-blakan dari Draven. Amanda langsung bereaksi, suaranya terdengar semakin kesal. "Kamu nggak bisa seperti ini, Draven. Kamu sudah bertunangan dengan Paula. Apapun yang kamu rasakan, kamu harus ingat posisimu."
Darwin mencoba menenangkan situasi, tapi terlihat jelas bahwa dia juga terkejut dengan pengakuan Draven. "Draven, kau tahu Belle nggak ingin terlibat dalam drama ini. Dia hanya ingin hidup normal dan jauh dari keributan antara kau, Paula, dan keluargamu. Kau harus menghargai keinginannya."
Draven menggigit bibirnya, merasa terjebak di antara perasaannya dan tanggung jawabnya. "Aku tahu aku sudah bertunangan dengan Paula. Tapi hubungan kami... semuanya terasa salah. Aku tidak pernah benar-benar punya pilihan dalam hal ini. Aku... aku hanya merasa berbeda dengan Belle. Ada sesuatu yang membuatku ingin lebih dekat dengannya."
Amanda mendengus, terlihat semakin frustrasi. "Ini bukan soal perasaan, Draven. Ini soal tanggung jawab. Kamu terikat dengan Paula, dan Belle itu bukan siapa-siapa di sini. Dia hanya orang baru yang ingin tenang. Kamu nggak bisa menghancurkan hidupnya karena kebingunganmu sendiri!"
Darwin mengangguk setuju. "Amanda benar, Draven. Kalau kamu benar-benar peduli pada Belle, kamu harus melepaskannya. Biarkan dia hidup damai tanpa terjebak dalam masalahmu dengan Paula."
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus