Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Atee..." seru Adel ketika sedang berdiri di depan pagar, Arumi berboncengan motor dengan Anjani entah dari mana.
"Adeline..." Arumi tidak pernah membayangkan jika Adel akan datang ke kost. Ia menepuk pundak Anjani minta turun di tempat itu.
"Ate kenapa pelgi nggak bilang-bilang Adel" anak itu mengulang tangis padahal selama menuju tempat ini sudah tenang.
"Tante minta maaf" Arumi menggendong Adeline menatap pipi chuby itu lalu menyusut air matanya.
"Kamu jangan mentang-mentang dibutuhkan lantas seenaknya" Ketus Davin, pria yang sudah menahan marah dari tadi itu akhirnya meletus juga.
Arumi tidak menjawab tetapi melotot tajam ke arah Davin. "Orang nomor satu di perusahaan tapi tidak tahu sopan santun ya kamu itu Davin" Arumi tentu hanya mengucap dalam hati. Dia tidak mau seperti Davin marah di depan Adel yang akan mengganggu mentalnya.
"Kita masuk yuk" Arumi melangkah sambil menggendong Adeline ketika pintu gerbang sudah dibuka oleh Anjani.
"Eh, mau kamu ajak ke mana Adel?" Davin menahan tangan Rumi.
Rumi merasakan tangannya dicengkeram kuat oleh Davin melotot tajam. Seketika Davin melepas tangannya. "Sebaiknya kamu kembali ke rumah" Davin kali ini menurunkan intonasi suara.
"Untuk siang ini Adeline biar bermain bersama saya di kost, Pak" Arumi bermaksud mengantar nanti sore.
"Tidak bisa, kamu pikir saya akan percaya sama kamu begitu saja" Davin ngegas, dia pikir Rumi akan menculik anaknya. Mereka terus berdebat seperti suami istri korban perceraian merebutkan seorang anak.
"Jangan beltengkal telus, Adel mau sama Ate, Papa" Adel garuk-garuk kepala yang memang gatal.
"Rumi, sebaiknya kamu ikut ke rumah Tuan Davin saja" Derman menengahi.
"Benar Rumi, nanti sore kalau sudah mau pulang aku jemput" Anjani menambahkan.
Arumi pun akhirnya mengalah mengikuti saran Derman dan juga sahabatnya. Orang seperti Davin rupanya tidak bisa diajak bicara baik-baik. Jika mau membantah, Rumi bisa saja karena sekarang bukan jam kerja yang siap disuruh-suruh. Namun, semua ini Rumi lakukan demi Adel.
Setelah sepakat mereka berangkat. Davin duduk di pinggir kiri, Adel tengah, dan Arumi pinggir kanan di belakang Derman.
"Adel mau ini?" Rumi menunjukkan cilok yang masih hangat di tusuk dengan lidi. Ternyata ini tujuan Rumi bersama Anjani keluar kost.
"Mau-mau" Adel bersemangat.
Davin menoleh cepat. "Kamu beri makan apa anak saya" Bentak Davin karena ia tidak pernah memberi Adel makanan sembarangan. Wajahnya sudah ingin mendamprat Rumi karena Adel sudah terlanjur menggigit cilok yang biasa dijual di pinggir jalan.
"Enak kok Pa, cobain" Adel mendekatkan cilok ke mulut Davin. Ia nampak menikmati makan yang terasa baru di lidahnya.
"Jangan dihabiskan sayang... itu makanan pasti berdebu" Davin menoleh Rumi yang nampak lebih asik mengunyah cilok daripada mendengarkan ucapanya.
"Kata Papa... kalau makan halus habis, nggak boleh dibuang" Adel menirukan nasehat Davin.
Davin tidak bisa berkata-kata lagi selain mengalah membiarkan Adel makan.
"Aromanya enak banget Rumi, boleh dong" Derman yang sedang meyetir pun menelan ludah ketika aroma wangi bumbu bawang putih terhirup olehnya.
"Nggak ada lagi, Bang" Arumi hanya membeli dua bungkus, itupun seharusnya milik Anjani yang terbawa olehnya dan dia berikan kepada Adeline.
"Bekas kamu nggak apa-apa Rum" jujur Derman. Arumi memberikan cilok yang hanya tinggal setengah kepada Derman. Pria itu langsung melahap dari plastik dengan satu tangan tanpa dia tusuk.
"Om Delman jangan lakus" celetuk Adel, rupanya bocah itu memperhatikan pipi Derman yang menggelembung karena satu cilok dia masukan ke mulut semua.
"Hihihi... kena deh Bang Derman" Arumi terkikik, melirik pria di pinggir kaca pura-pura tidur tetapi nampak senyum tipis di bibirnya.
"Hauus..." ucap Adel ketika cilok sudah habis. Arumi segera ambil air minum dari dalam tas memberikan kepada Adel.
"Jangan dikasih bekas minuman kamu, anak saya bisa ketularan penyakit" Davin tiba-tiba ngegas sampai Adel batuk-batuk karena kaget.
"Ya ampuuuunn... Bapak. Jangan marah-marah dulu apa Pak, tolong periksa baik-baik segel air mineral ini baru saya buka" Arumi kesal lalu menunjukkan plastik bekas segel dengan wajah kesal. "Sudah jadi Bapak itu mbok ya tahan es mo si sedikit" sambung Rumi mengeja kata emosi agar jangan terlalu menyolok di depan Adel.
"Benal kata Ate Pa, jangan emosi" Imbuh Adel ketika selesai minum. Arumi pun berpaling ke arah Adel. Tidak menyangka Adel akan tetap bisa merangkai kata yang sudah Rumi eja.
Derman hanya geleng-geleng kepala menatap dari kaca spion. Perang dunia pun berakhir ketika Adel tidur di pangkuan Arumi.
Hingga akhirnya tiba di halaman rumah mewah, Arumi hendak menggendong Adeline yang tengah tidur, tetapi Davin mengangkat lebih dahulu. Tanpa basa basi Davin turun dari mobil membawa Adel ke kamar.
Arumi bingung sendiri entah apa yang akan dia lakukan. Ingin langsung pulang khawatir jika Adel bangun nanti mencari dirinya. Ingin masuk pun tidak mungkin, karena yang punya rumah tidak menyuruh masuk.
"Kamu jangan pulang Rum, bisa-bisa Adel ngamuk lagi" Derman rupanya tahu apa yang Arumi pikirkan, lalu mengusulkan agar Rumi pulang ketika Adel bangun.
"Terus kalau Adel bangun menemani main sampai sore, terus nggak boleh pulang, terus saya dipaksa menginap disini, gitu kan maksudnya Bang" Arumi membayangkan sejauh itu. Jelas Arumi senang bermain dengan Adel, tetapi bapaknya itu seperti Harimau kelaparan. Rumi pusing membayangkan itu.
"Nggak apa-apa Rum, itung-itung belajar menjadi calon menantu keluarga Xanders" Derman tertawa, ingat doa Adeline tadi pagi.
"Arumi... kenapa kamu diluar? Sini masuk" titah Rose yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu masuk.
"Terimakasih Tante..." seperti mendapat tiupan angin hati Rumi merasa sejuk. Ia menurut saja ketika diajak Rose masuk.
"Kamu berasal dari mana Nak?" Tanya Rose, bukan hanya Adel yang merasa tertarik kepada Arumi. Tetapi Rose pun ingin tahu banyak tentang wanita sederhana itu.
"Saya dari Semarang Tante" Rumi mengatakan jika ia merantau ke Jakarta untuk bekerja, tetapi tidak menceritakan jika ia sedang kuliah semester akhir.
"Oh... dari Semarang" Rose mengangguk-angguk. Sambil menunggu Adel bangun, Rose mengajak ngobrol Arumi bertanya tentang ini itu.
Semenjak saat itu Adel semakin lengket dengan Arumi. Tentu saja pekerjaan Rumi bertambah, bekerja sambil momong. Kadang merangkap menjadi guru, karena Adel minta diajari menggambar dan menulis. Tidak jarang Arumi pun dijemput ke rumah Rose bila sedang tidak ke kantor.
Bukan hanya Adel saja yang dekat dengan Arumi, tetapi Rose pun sama. Kerap kali mereka ngobrol jika ada kesempatan. Sejauh ini Rose menangkap bahwa Arumi nyambung jika dia ajak bicara. Rumi ternyata wanita cerdas dan memiliki wawasan yang luas, kritis dan bijaksana. "Wanita seperti ini yang dibutuhkan perusahaan Davin" monolog Rose.
Hingga satu bulan kemudian.
"Kita jemput Ate ke kos saja Papa" rengek Adel sebab sudah dua hari ini Rumi tidak masuk kerja dan tidak ada kabar. Entah wanita itu kesal menghadapi Davin dan juga Malika yang selalu ketus atau apa penyebabnya hanya Arumi yang tahu.
"Nanti sore sayang, sekarang Papa terburu-buru" kilah Davin.
"Nggak mau, mau sekalang" Adel tidak mau dibantah.
"Sekarang Adel mandi terus ganti baju sama bibi, setelah itu kita menjemput Aunty Rumi ke kost" Oma memberi usul.
"Ya, Oma" Adel pun berlari ke belakang memanggil bibi.
"Dav, lihat anak kamu. Adel sudah tidak mau berpisah dengan Rumi bukan?"
"Maksud Mama apa" Potong Davin yang tengah mengenakan sepatu pun berhenti.
"Kamu ini tidak peka Dav, menurut Mama cepat nikahi Rumi demi kebahagiaan anak kamu"
...~Bersambung~...