keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Cemburu atau bukan?
Ketika hari mulai beranjak sore, Gus Zidan menatap jam di pergelangan tangannya lalu menoleh ke Aza. "Sudah sore, Za. Kita harus kembali ke pesantren sekarang," ujarnya dengan nada lembut namun tegas.
Aza mengerucutkan bibir, merasa masih ingin menghabiskan waktu di luar. "Tapi aku masih mau jalan-jalan, Mas gus. Lagi pula, besok juga aku bisa menyelesaikan anyaman keranjang itu. Nggak perlu buru-buru pulang, kan?"
Gus Zidan tersenyum sabar, mengetahui betul Aza hanya mencari alasan untuk menunda kepulangannya. "Aza, kamu tahu, kan, aturan di pesantren? Kamu nggak boleh terlalu lama di luar. Kalau nggak pulang sekarang, bisa-bisa ada yang curiga."
Aza mendesah kesal, tapi ia tahu Gus Zidan benar. Meski ia merasa betah berada di luar pesantren, kenyataannya ia masih punya tanggung jawab di sana, apalagi dengan tugas menganyam keranjang yang belum selesai.
"Bisa nggak semalam lagi aku ijinnya, besok aku kan juga keluar buat pergi ke workshop," Aza mencoba membujuk dengan nada manja, berharap bisa menunda sedikit lebih lama.
Gus Zidan tertawa kecil, kemudian menatap Aza dengan penuh pengertian. "Mazaya Farha Kaina, dengar. Kamu diberi waktu dua jam setiap hari untuk menyelesaikan anyamanmu di workshop, tapi bukan berarti kamu bisa melanggar aturan pesantren. Lagi pula, kalau kamu telat pulang sekarang, bisa-bisa besok malah sulit izin keluar lagi."
Aza terdiam, menyadari bahwa Gus Zidan benar. Meskipun ia ingin tetap di luar lebih lama, ia tak mau menambah masalah di pesantren. Dengan enggan, ia mengangguk. "Baiklah... Tapi janji ya, nanti kalau ada waktu kita jalan-jalan lagi."
Gus Zidan tersenyum dan mengangguk. "Insyaallah. Sekarang ayo kita pulang dulu, nanti kita atur waktu lagi buat jalan-jalan."
Dengan langkah malas, Aza mengikuti Gus Zidan keluar dari food court menuju tempat parkir.
Sepanjang perjalanan kembali ke pesantren, Aza tetap merajuk kecil, ia berharap Gus Zidan bisa diajak kerjasama dan tidak membiarkan tetap tinggal di pesantren.
Sebelum turun dari mobil, Aza tampak ragu sejenak. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu berbalik menghadap Gus Zidan yang sedang mematikan mesin mobil. Wajahnya tampak serius, sesuatu yang membuat Gus Zidan langsung menyadarinya.
"Ada apa, Za?" tanya Gus Zidan dengan senyum yang penuh rasa ingin tahu.
Aza menatapnya sebentar sebelum akhirnya berkata, "Mas gus... aku mau ngomong sesuatu."
"Ada masalah?" tanya Gus Zidan dengan kening yang berkerut.
"Emmm itu...., Jangan terlalu... ya, jangan terlalu tebar pesona di kelas, ya?" ucap Aza ragu dan dengan cepat memalingkan wajahnya yang sudah terasa panas.
Gus Zidan menaikkan alisnya, jelas terkejut dengan peringatan itu. "Tebar pesona? Maksud kamu, aku? Kapan?"
Aza mendesah, merasa agak canggung. Ia melipat tangan di dada, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan.
"Ya, aku lihat saat... di kelas, para santri itu bukan nya mendengarkan penjelasanmu. Mereka tuh... lebih fokus ngelihatin kamu daripada pelajarannya," kata Aza dengan nada sedikit kesal, sambil menghindari tatapan Gus Zidan.
Gus Zidan tertawa kecil, jelas menikmati situasi ini. "Oh begitu, ya? Mazaya Farha Kaina. Jadi kamu cemburu?"
Wajah Aza langsung memerah mendengar kata-kata Gus Zidan. Ia buru-buru menggelengkan kepala dan menjawab dengan cepat, "Siapa yang cemburu? Aku nggak cemburu. Aku cuma nggak suka lihat mereka kayak begitu, itu saja."
Gus Zidan menatap Aza dengan senyum nakal, memiringkan kepalanya sedikit. "Ya itu tandanya cemburu sih kalau menurut buku yang aku baca."
Aza menyipitkan matanya, "Memang kamu baca buku apa?"
"Ada deh, kamu tahu nggak? Ini pertama kalinya kamu memprotes sesuatu yang berhubungan dengan aku dan perempuan lain. Jangan-jangan..." Gus Zidan sengaja menggantungkan kalimatnya, lalu mendekat sedikit dengan nada menggoda, "Istri kecilku ini mulai jatuh cinta pada suaminya, ya?"
Aza hampir tersedak mendengar godaan itu. "Apa?! Jatuh cinta?" Ia langsung bereaksi cepat, menggelengkan kepalanya dengan kuat sambil menepis dugaan Gus Zidan. "Jangan geer dulu, Mas gus yang banyak nganggurnya!"
"Lalu?"
"Ya. Aku cuma... cuma nggak suka aja kalau ada orang yang melanggar aturan kelas. Mereka seharusnya fokus belajar, bukan sibuk ngelihatin kamu."
Gus Zidan semakin tersenyum lebar, menikmati bagaimana Aza berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya. "Ah, jadi begitu? Kalau begitu, aku harus lebih hati-hati supaya nggak ada yang terlalu terpesona, ya?" ucapnya sambil berpura-pura berpikir keras, matanya berbinar nakal.
Aza menggerutu pelan, jelas tidak puas dengan respons Gus Zidan yang masih menganggap semuanya sebagai lelucon. "Aku serius, Mas gus. Kamu tahu nggak, aku sampai risih lihat mereka semua fokus ke kamu. Seharusnya mereka belajar, bukan... bukan itu."
Gus Zidan tidak bisa menahan tawanya lagi. "Iya, iya, aku paham, Mazaya Farha Kaina. Insyaallah, aku akan berusaha supaya kelasnya tetap kondusif. Tapi jangan salahkan aku kalau mereka terpesona, ya? Kan bukan salahku kalau suami kamu ini memang menarik dan karismatik."
Aza memutar bola matanya, seakan tidak percaya dengan kepercayaan diri suaminya. "Ya Tuhan, narsis banget sih," gumamnya pelan, meski hatinya sedikit geli mendengar kata-kata Gus Zidan.
Sebelum Aza sempat menurunkan tangannya ke pintu mobil, Gus Zidan memanggilnya lagi dengan nada yang lebih lembut. "Mazaya Farha Kaina, aku justru berharap kamu benar-benar cemburu. Itu artinya kamu memperhatikanku."
"Jangan mulai deh. Aku lagi nggak nafsu untuk berdebat."
Gus Zidan tersenyum puas, "Kamu pasti tahu kan, aku cuma mengajar seperti biasa. Jangan khawatir soal yang lain, ya?"
Aza diam sejenak, menatap Gus Zidan, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Iya iya... aku tahu, Mas gus yang baik hati dan tidak sombong. Cuma ya... aku tetap nggak suka kalau lihat mereka lebih perhatian ke kamu daripada pelajaran."
Gus Zidan mengangguk penuh pengertian. "Oke, aku akan lebih berhati-hati, dan... mungkin sedikit lebih serius di kelas supaya nggak ada yang kelebihan fokusnya ke aku," katanya, masih dengan senyum lembut di bibirnya.
Aza akhirnya tersenyum kecil, meski masih ada sedikit sisa kesal di hatinya. "Baiklah. Aku masuk dulu, Mas gus."
"Jangan lupa, besok hanya pergi ke workshop, jangan kemana-mana," Gus Zidan mengingatkan sebelum Aza benar-benar membuka pintu mobil. "Dan aku akan mengawasimu."
Aza mengangguk lagi, kali ini dengan ekspresi lebih tenang. "Iya, aku tahu. Makasih, Mas gus."
Gus Zidan tersenyum, melambaikan tangan saat Aza turun dari mobil dan melangkah ke arah pesantren.
Saat pintu mobil sudah tertutup, Gus Zidan hanya bisa menggeleng pelan, senyumnya tidak hilang. "Cemburu atau bukan, setidaknya Aza mulai peduli," gumamnya sendiri sebelum menyalakan mesin mobil.
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....