Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendatangi Masa Lalu (3)
Aku dan mas Arwan memilih untuk pulang lebih awal, karena sudah malam. Kami pulang sekitar jam sepuluh.
Sebenarnya, acara reuni itu masih berlangsung dengan meriah. Dan karena mas Arwan besok harus bekerja, jadi aku yang meminta padanya agar pamit pulang lebih dulu.
"Aku nggak nyangka, ternyata kamu punya kenalan di sana," tanya Mas Arwan, tanpa mengalihkan pandangannya dari depan, karena sedang fokus mengemudi. Ia membuka percakapan, ketika mobil yang kami tumpangi baru saja meninggalkan area gerbang sekolah.
Aku menatapnya sekilas, sebelum menjawab. "Dia yang dulu ngajakin aku ke festival sekolah kamu, buat ketemuan sama pacaranya. Dia juga bilang, kalau rumahnya ada di deket sekolah itu," jawabku sambil mengingat-ingat kejadian semasa SMA.
"Pacar?" tanya mas Arwan, memastikan.
"Iya. Dia yang sekarang jadi suaminya. Namanya, Adi." Aku memperjelas.
"Oh, si Adi?" Mas Arwan tampak menganggukkan kepalanya, tanda sudah paham.
"Iya, itu namanya. Dia adik kelas kamu, kan?" tanyaku sembari memiringkan kepala, guna menatap lawan bicaraku.
Luar biasa! Dari arah samping pun, wajah rupawan mas Arwan masih dapat tertangkap jelas oleh indra penglihatanku.
"Iya. Wah, dulu agak bandel anak itu. Masih suka pacaran meski udah dilarang sama pihak sekolah. Jadi, dia suami temen kamu sekarang? Dunia memang sempit, ya?" ujar mas Arwan sambil tersenyum.
Andai mas Arwan tahu, kalau dulu aku pernah mendapat tamparan maut dari istri si Adi itu. Kira-kira, responnya bagaimana ya, kalau tahu istrinya yang cantik jelita ini pernah disakiti oleh seseorang?
"Dia temen deket kamu?" tebak mas Arwan tiba-tiba.
"Bukan," sanggahku cepat.
"Oh."
Sempat terjadi keheningan, sebelum mas Arwan kembali membuka percakapan.
"Ternyata, kita memang belum kenal satu sama lain, ya? Kalau kamu mau tanya sesuatu, aku akan jawab, apapun itu." Mas Arwan terlihat berusaha mengakrabkan diri denganku.
Yah, suami baruku ini memang terkadang, telihat masih agak canggung denganku. Tapi entahlah. Itu karena dia merasa canggung, atau karena dia memang baik.
Mas Arwan selalu laporan padaku sebelum melakukan segala hal. Bahkan, termasuk hal sepele sekalipun.
Seminggu yang lalu, saat pulang dari kantor, mas Arwan langsung menelponku hanya untuk melapor kalau dia hendak mampir ke sebuah mini market.
Mas Arwan juga sangat detail menjelaskan kepadaku, entah ke mana, atau apa saja yang ia makan, ia kenakan, juga dengan siapa saja dia bertemu selama seharian.
Yah, aku sendiri juga tidak keberatan karena semua itu adalah hal yang baik. Suamiku memang orang yang unik. Aku selalu dikejutkan oleh kepribadian, dan juga kebiasaannya.
'Apa karena baru awal pernikahan?' Semoga saja tebakanku salah. Dan kuharap, mas Arwan tidak akan pernah berubah. Sebagai manusia biasa, aku juga sempat merasa was-was.
"Apa kamu pernah liat aku, pas di acara festival dulu?" tanyaku pada mas Arwan, setelah teringat kalau ada hal yang membuatku penasaran sejak di acara reuni tadi.
"Iya. Waktu kamu ngobrol sama Jaka. Aku sempet liat wajah kamu sekilas," jawab mas Arwan sembari melirik ke arahku.
Ternyata benar. Siswa yang dulu kulihat itu adalah seseorang yang kini telah menjadi suamiku. Bahkan sejak dulu, ketampanannya tetaplah paripurna.
'Suami yang tampan dan kaya memang membanggakan!' Aku tersenyum sembari mengusap bawah hidungku mengunakan jari telunjuk.
"Jadi begitu." Aku membalas singkat, ucapan mas Arwan barusan.
"Berkat kejadian dulu, kamu jadi cukup terkenal, loh. Para murid sekolah banyak yang ngomongin kamu setelah acara festival itu berakhir," ucap mas Arwan, diiringi dengan tawa kecil.
"Iya kah? Aku jadi bahan gosip ternyata." Aku khawatir jika yang dimaksud oleh mas Arwan adalah sesuatu yang memalukan.
"Bukan hal yang buruk, kok. Mereka cuma bilang, kalau ada tamu cantik yang datang dari sekolah lain buat liat festival di sekolah kami. Sebagai tuan rumah, kita seneng kalau ada pengunjung terlihat menikmati acara yang telah kami persiapkan." Penjelasan dari mas Arwan, membuatku tersenyum lega.
'Syukurlah, kalau bukan hal yang aneh-aneh.' Dan setiap mendengar kata cantik dari mas Arwan, aku masih belum terbiasa dan selalu merasa tersipu.
'Ternyata begini, rasanya jadi pengantin baru.'
"Kamu juga boleh tanya sesuatu tentang aku, kalau ada yang bikin kamu penasaran," ujarku sambil memandangi wajah mas Arwan.
'Selama ini, mungkin aku terlalu tertutup pada suamiku sendiri. Tidak seharusnya aku begitu, kan?'
"Kamu inget jembatan ini?" Pertanyaan dari mas Arwan, mambuatku berpikir sejenak guna mencerna perkataannya.
Aku tidak menyangka, kalau mas Arwan akan menanyakan hal yang tidak terduga. Dan itupun, secara kebetulan, mobil yang kami tumpangi sedang melaju melewati jembatan yang ia bicarakan barusan.
"Tentu. Ini tempat pertemuan pertama kita. Dulu, kamu ngasih minuman rasa matcha ke aku, kan?" balasku sambil mengingat sebuah kejadian yang rasanya belum lama ini terjadi.
"Iya. Aku sengaja ngasih yang rasa favoritku buat kamu." Benar. Perkataan mas Arwan ini bukanlah sebuah candaan atau semacamnya, meski awalnya aku juga sempat berpikir demikian.
Dulu, saat pesta pernikahan kami sedang berlangsung, mas Arwan memang pernah bilang padaku kalau dia alah seorang pecinta rasa matcha. Maka dari itu, dia memberiku minuman rasa matcha, setelah membukakan tutupnya untukku, ketika dulu kami bertemu di atas jembatan ini.
Dia bilang, rencananya dia ingin mengobrol sebentar denganku setelah memberikan minuman itu, namun aku malah langsung pergi begitu saja meninggalkannya.
Mas Arwan memang orang yang sangat cekatan dan juga merupakan orang yang serius.
Selama aku mengenalnya sejauh ini, dia hampir tidak pernah mengatakan sesuatu yang sifatnya candaan. Soal minuman matcha itupun, dia juga serius.
Aku selalu merasa heran, setiap kali melihat suamiku meneguk minuman soda rasa teh itu dengan santai. Seleranya memang cukup unik.
Dia juga bilang, bahwa produk bersoda rasa matcha itu juga merupakan idenya sendiri.
'Wow, selain unik, suamiku juga sangat kreatif. Inilah yang disebut dengan, kreativitas tanpa batas!'
Mas Arwan terlihat menatapku sejenak sembari tersenyum manis, sebelum mengatakan sesuatu.
"Ternyata, kamu kalo nggak ditanya dulu, nggak mau ngomong, ya? Aku nggak maksa, sih. Tapi, agak repot juga. Misalnya, pas kamu tiba-tiba dipeluk sama cowok yang ternyata adalah adik kamu sendiri. Waktu itu, aku bener-bener syok, loh." Curhatan mas Arwan ini, berhasil membuatku tertawa lepas.
Benar. Aku masih mengingat dengan sangat jelas, wajah mas Arwan yang terkejut ketika Kiky tiba-tiba datang dan langsung memelukku di depan mata kepala calon suamiku itu.
Tidak Mungkin aku hendak menikah, tanpa mengabari adikku dulu, kan?
Masalahnya, aku lupa bilang pada mas Arwan, kalau aku memiliki seorang saudara.
Namun, berkat kejadian itu, keraguan yang sempat hadir di dalam hatiku saat menjelang pernikahan, akhirnya memudar.
Wajah syok dari mas Arwan kala itu, entah kenapa malah membuatku senang.
Pernikahan merupakan suatu momen yang sakral. Aku mengucap sebuah janji untuk setia mendampingi dan didampingi oleh seorang pria di sisa hidupku.
~