Di tahun terakhir mereka sebagai siswa kelas 3 SMA, Karin dan Arga dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka sering bertengkar, tidak pernah sepakat dalam apapun. Namun, semua berubah di sebuah pesta ulang tahun teman mereka.
Dalam suasana pesta yang hingar-bingar, keduanya terjebak dalam momen yang tidak terduga. Alkohol yang mengalir bebas membuat mereka kehilangan kendali, hingga tanpa sengaja bertemu di toilet dan melakukan sebuah kesalahan besar—sebuah malam yang tidak pernah mereka bayangkan akan terjadi.
Setelah malam itu, mereka mencoba melupakan dan menganggapnya sebagai kejadian sekali yang tidak berarti. Namun, hidup tidak semudah itu. Beberapa minggu kemudian, Karin mendapati dirinya hamil. Dalam sekejap, dunia mereka runtuh.
Tak hanya harus menghadapi kenyataan besar ini, mereka juga harus memikirkan bagaimana menghadapinya di tengah sekolah, teman-teman, keluarga, dan masa depan yang seakan hancur.
Apakah mereka akan saling menyalahkan? Atau bisakah kesalahan ini menjadi awal dari sesuatu yang tidak terduga? Novel ini mengisahkan tentang penyesalan, tanggung jawab, dan bagaimana satu malam dapat mengubah seluruh hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardianna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Orang Tua
Sesampainya di rumah, Karin langsung disambut oleh wajah tegang ibunya, Bu Salma, yang tampak sangat marah.
Bu Salma: "Karin! Kamu itu kemana aja, hah?! Mama sama Papa khawatir banget! Udah jam segini kamu baru pulang! Bukannya langsung pulang les, malah keluyuran.”
Karin menunduk, merasa bersalah. Dia tahu orang tuanya pasti sangat khawatir.
Karin: "Ma, aku cuma sebentar aja main sama Arga. Kita.”
Bu Salma memotong dengan nada tinggi. "Sebentar apanya? Kamu nggak lihat jam? Ini udah malam, kamu itu masih tanggung jawab Mama dan Papa!"
Di sudut ruangan, Pak Roby, papahnya Karin, mencoba meredakan ketegangan. Dia mendekati istrinya dan meletakkan tangan di bahunya.
Pak Roby: "Mah, tenang dulu. Anak kita udah pulang dengan selamat. Lagian, Arga kan nganterin, Jangan terlalu keras dulu, ya?"
Bu Salma masih terlihat kesal, tapi dia menurunkan nada suaranya sedikit, meskipun amarahnya belum mereda.
Bu Salma: "Tapi Pah, ini bukan soal dia pulang terlambat aja. Kita udah kasih tanggung jawab buat dia fokus belajar, bukan malah jalan-jalan nggak jelas."
Pak Roby menghela napas dan mengangguk pelan. Dia mengerti kekhawatiran istrinya, tetapi juga paham bahwa situasi ini perlu ditangani dengan lebih lembut.
Saat situasi mulai sedikit mereda, Bu Salma menatap Karin dengan tegas.
Bu Salma: "Sekarang mama mau telpon orang tua Arga. Ini nggak bisa dibiarkan begitu aja. Mereka harus tahu kalau anaknya juga ikut-ikutan keluyuran malam-malam."
Karin: "Ma, jangan.”
Bu Salma tidak menghiraukan protes Karin dan langsung mengambil ponsel. Tak lama, dia sudah menelpon Ibu Syntia, mamahnya Arga, dan Pak Dewa, papahnya Arga.
Bu Salma: "Halo, Bu Syntia? Maaf ganggu malam-malam. Saya cuma mau kasih tahu kalau Arga tadi bareng Karin, keluyuran setelah les, dan mereka baru pulang.”
Di seberang telepon, terdengar suara Ibu Syntia merespons dengan nada tenang namun tegas.
Ibu Syntia: "Terima kasih, Bu Salma. Kami juga akan bicara dengan Arga soal ini. Jangan khawatir, nanti saya dan Mas Dewa akan tegur dia supaya nggak ngulangin lagi."
Setelah percakapan selesai, Bu Salma mengembalikan ponselnya ke meja dan menatap Karin lagi. Kali ini, suaranya lebih tenang namun tetap tegas.
Bu Salma: "Kamu sekarang naik ke kamar dan pikirkan baik-baik apa yang kamu lakuin hari ini. Jangan bikin orang tua kamu khawatir lagi, Karin."
Karin mengangguk pelan, lalu berjalan naik ke kamarnya dengan perasaan bersalah yang berat. Pak Roby hanya bisa menghela napas panjang, sementara Bu Salma tampak masih menahan emosi.
Arga pun pamit pulang. Sesampainya di rumah, Arga langsung masuk ke dalam dengan perasaan gelisah. Dia tahu, kejadian malam ini pasti membuat orang tuanya marah besar, apalagi setelah Bu Salma menelepon mamanya.
Begitu masuk ke ruang tamu, Pak Dewa, papahnya, sudah menunggu dengan wajah tegang.
Pak Dewa: "Kamu tahu jam berapa ini, Arga? Kenapa kamu baru pulang? Apalagi bawa anak cewe partner bisnis papa dari kamu kecil.”
Sebelum Arga sempat menjawab, Pak Dewa mendekat dan tanpa basa-basi langsung mendorong bahunya dengan keras.
Pak Dewa: "Anak laki-laki tapi keluyuran sampai malam sama cewek! Kamu nggak pikirin orang tua kamu khawatir, orang tua karin khawatir hah?!"
Arga mencoba menjelaskan, "Pah, aku cuma..."
Namun, Pak Dewa tidak memberi kesempatan untuk berbicara. Dengan kemarahan yang tak terbendung, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Arga.
Pak Dewa: "Jangan banyak alasan! Kamu pikir ini main-main?!"
Bu Syntia, yang berdiri di sudut ruangan, berusaha menghentikan suaminya.
Bu Syntia: "Mas, cukup! Jangan sampai keterlaluan, ini anak kita!"
Tapi Pak Dewa sudah dikuasai amarah. Dia memukul wajah Arga, kali ini lebih keras. Arga terjatuh ke lantai sambil memegangi wajahnya yang sakit, air mata mulai mengalir di pipinya.
Arga: "Papa, maaf... Aku salah, aku nggak akan ulangi lagi, Papa... Tolong,..."
Tangisan Arga tak menghalangi amarah Pak Dewa, meskipun Bu Syntia sudah berusaha melerai.
Pak Dewa: "Salah?! Ya iya salah, kamu bawa anak oranh sampe malem begini, padahal orang tua karin udah ngasih kepercayaan sama
Kamu ga!.”
Akhirnya, setelah Bu Syntia memeluk Arga erat-erat, Pak Dewa berhenti. Dia menghela napas panjang, masih terlihat kesal, lalu berbalik dan pergi ke kamarnya.
Arga terisak di pelukan ibunya. Bu Syntia membelai rambutnya pelan, mencoba menenangkannya.
Bu Syntia: "Nak... Kamu tahu kan Papa sayang sama kamu, cuma caranya yang kadang terlalu keras. Kamu jangan ulangin lagi kedepannya ya?"
Arga mengangguk lemah. Setelah beberapa saat, dia berdiri dan berjalan pelan ke kamarnya. Begitu pintu tertutup, Arga duduk di tepi ranjang, merenung dengan tatapan kosong. Tangannya masih gemetar akibat kejadian tadi.
Namun, yang paling mengganggunya bukan hanya pukulan Pak Dewa. Arga tahu, jika hanya masalah pulang malam saja sudah membuat semua orang marah sebesar ini, bagaimana jika mereka tahu tentang kesalahan besar yang pernah dia lakukan bersama Karin? Malam itu terus terbayang di benaknya.
Arga berbaring, menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya terus berputar pada kejadian itu, rasa bersalah, ketakutan, dan kecemasan semakin menumpuk.
Arga: "Kalau Papa sama Mama tahu... Kalau orang tua Karin tahu... Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi..."
Arga terbaring di ranjang, pikirannya penuh dengan kekhawatiran.
Arga: "Ya Allah, aku takut. Kalau terjadi apa-apa sama Karin, apa yang harus aku lakukan? Kami berdua... nasib kami seperti apa?"
Dia menatap langit-langit kamar, berusaha menahan air mata yang ingin jatuh. Rasa bersalah dan ketakutan menyelimutinya.
Arga: "Yallah Tolong kita berdua, Jangan biarkan semua kesalahan yang kita buat menghancurkan masa depan kita. Kita berdua emang salah, Tolong beri kita kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Dengan napas yang berat, Arga terlelap, berdoa dalam hati agar Allah mendengarkan permohonannya. Malam itu, harapan dan ketakutan berbaur, membentuk satu pelukan yang erat di dalam jiwa.
——
Karin duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke dinding. Pikirannya berputar tentang semua yang terjadi, terutama bagaimana reaksi orang tuanya jika mereka tahu kebenarannya.
Karin: "Kalau Mama dan Papa tahu tentang aku dan Arga pernah melakukan kesalahan yang besar gimana ya reaksinya, kita pulang malem aja mereka kecewa."
Rasa takut mulai menyelimuti hatinya. Dia teringat semua pengorbanan yang telah dilakukan orang tuanya untuknya, usaha mereka untuk memastikan dia bisa masuk ke sekolah kedokteran terbaik.
Karin: "Aku sudah janji untuk jadi anak yang baik, untuk tidak mengecewakan mereka. Tapi sekarang, semua itu bisa hancur hanya karena satu kesalahan."
Dia meraba pergelangan tangannya, merasakan bekas luka dari saat-saat sulit yang dilaluinya. Rasa bersalah dan penyesalan mengganggu pikirannya.
Karin: "gimana kalau semua yang sudah aku lakukan menjadi sia-sia? Kalo mereka tahu, bisa jadi ini bukan hanya tentang aku dan Arga lagi, tapi juga tentang masa depan yang sudah kami impikan."Air mata mulai menggenang di matanya.
Karin: "Ya Allah, berikan aku petunjuk. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kalo semua ini terbongkar, apakah aku masih bisa dikasih kesempatan?.”
Dengan harapan dan ketakutan bercampur, Karin berdoa agar diberi kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Bersambung…