Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 21 ~
Masih berdiri di tempat semula, aku menatap kepergian mas Bima yang mobilnya perlahan menjauh dari pandanganku. Aku di buat termangu dengan ucapan-ucapannya.
Kalau boleh aku percaya diri, apakah mas Bima mulai membuka hatinya untukku? Atau itu hanya alibinya saja supaya aku tetap berada di rumahnya untuk merawat Lala.
Sepertinya aku tidak boleh mengambil kesimpulan bahwa mas Bima sudah mencintaiku, sebab aku masih belum faham apa maksud kalimat mas Bima yang tersirat tadi. Di samping itu, masih ada Gesya dan wanita di cafe yang belum ku tahu ada hubungan apa antara mas Bima dengan mereka.
"Bi" panggilan dari Riska membuatku tersadar dari lamunan.
Aku menoleh untuk mencari sepasang manik bulatnya. "Iya, Ris?"
"Ngelamun terus?" Selorohnya sambil tersenyum. "Ngelamunin apa? Mantan adik ipar suami, atau wanita berhijab di cafe?"
Mendengar pertanyaan Riska, entah kenapa perasaanku mendadak was-was, aku takut jika salah satu dari wanita itu memiliki hubungan dengan mas Bima. Kalau ya, itu artinya aku harus siap mundur dan terluka.
"Nggak tahu Ris"
"Suamimu sudah berangkat dinas?"
"Sudah"
"Kalau begitu, kamu memiliki waktu selama dua bulan untuk mengumpulkan keberanianmu. Tanyakan semuanya setelah suamimu pulang, pastikan tidak ada lagi unek-unek yang kamu simpan, jika mas Bima ada hubungan dengan salah satu dari wanita itu" Katanya yang membuatku langsung kehilangan konsentrasi. "Kamu harus pergi darinya, lupakan Lala dan cari kebahagiaanmu sendiri"
"Tapi aku sangat menyayangi Lala"
"Kamu bukan menyayangi Bi, kamu mengkhawatirkannya. Percayalah Lala akan baik-baik saja meski tanpa kamu, dia memiliki ayah, opa, oma, budhe budhenya juga aku yakin sangat menyayanginya. Kamu tak perlu mencemaskan hidup Lala"
"Kamu salah, Ris. Aku bahkan lebih menyayangi dia di banding diriku sendiri"
"Atau mungkin saja suamimu masih belum menerimamu karena melihat tatapanmu yang menyiratkan itu"
"Aku memang mengasihani Lala dan mas Bima, mereka harus menderita karena ulah mbak Hana. Tapi aku benar-benar tulus sayang sama mereka"
"Aku tahu kamu sayang sama Lala serta mas Bima, tapi coba rubah cara pandangmu"
"Apa aku yang menciptakan dinding pembatas antara aku dan mas Bima, Ris?" tanyaku cemas.
"Hmm, bisa jadi begitu" Riska mengangguk mantap. Dan itu membuat kecemasanku kian meningkat "Jadi bicarakan semuanya pada suamimu setelah dia pulang! Jangan menundanya lagi. Kamu harus berani, semua harus jelas, Bi"
Aku menghirup napas dalam-dalam seraya mengalihkan pandangan ke arah tempat parkir, tak menyangka kalau ada arti lain yang terpancar dari sorot mataku.
"Kamu nggak jenguk Lala?" Riska kembali bersuara, dan aku kembali menoleh untuk melihat wajahnya.
"Aku jenguk dia nanti"
"Salam buat Lala"
"Iya, nanti aku sampaikan"
"Itu berarti kita nggak makan siang bareng?" Tanya Riska.
Aku dan dia sama-sama melangkah ke ruangan kami, ruangan yang berada dalam satu area.
"Aku akan makan siang bersama putriku, dia pasti sangat sedih karena baru satu minggu ayahnya di rumah, main-main juga belum puas, tapi sudah di tinggal lagi"
Riska hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Aku harus menghiburnya, bukan? Dan Lagipula, Lala masih belum pulih, aku perlu mengecek kondisinya"
"Ya sudah, hati-hati nanti"
"Hmm" Jawabku Singkat. Kami berpisah karena meja kami berlawanan arah.
****
Lala tengah melaksanakan sholat Dzuhur bersama teman-teman dan bunda-bundanya di playgroup saat aku tiba di sekolahnya.
Aku memperhatikan gerakan Lala yang di iringi dengan canda tawa dengan salah satu temannya.
Bibirku tersungging, melihat bagaimana para anak-anak yang belum genap lima tahun itu mengikuti gerakan bundanya yang menjadi imam di depan mereka.
Ada yang bisik-bisik, tengok kesana kemari sambari senyum-senyum, dan berbagai tingkah lucu lainnya. Anak-anak belum faham betul jika sholat itu bukan untuk mainan, namun, perlu di ajarkan sejak kecil meski dalam sholatnya mereka sesekali bercanda.
"Bunda!" Begitu sholat selesai, pandangan Lala langsung menangkapku berdiri di balik kaca.
Aku melambaikan tangan sekaligus tersenyum meresponnya.
Setelah melipat mukena yang Lala lipat sesuai intruksi bu gurunya, Lala langsung menghampiriku.
Aku merentangkan tangan untuk menyambut dan memeluknya.
"Anak bunda pintar sholatnya" Kataku setelah puas mengecupi pipi Lala.
"Bunda bawa apa?" Sepasang mata Lala melirik goodie bag yang ku bawa di tangan kananku.
"Bunda bawa makan siang, Nak. Bunda kan mau makan siang sama Lala"
Aku hanya membawa makanan untuk diriku sendiri, sebab Lala sudah ada jatah makan siang dari sekolahnya.
Sekolah Lala ibarat rumah kedua bagi Lala, anak-anak juga di beri kesempatan untuk tidur siang selama satu setengah jam. Playgroup ini benar-benar tempat untuk penitipan anak bagi kami orang tua yang super sibuk. Dan kebanyakan dari teman-teman Lala berasal dari golongan kelas atas.
"Duduk di sana yuk!" Aku menunjuk sebuah ruangan yang di sediakan khusus untuk makan.
"Ayo" Tangan kami saling bergandengan selagi melangkah.
"Ayah sudah pergi ya bun?"
"Sudah, sayang. Ayah ada datang kesini?"
"Ada, tadi sama onty Gesya datanganya"
Ucapan Lala, membuat jantungku berdesir dan pikiranku mendadak kacau.
Mas Bima datang bersama Gesya?
"Kapan ayah datang sama onty, La?"
"Pas Lala baru selesai istirahat, Lala di panggil bunda, katanya di tunggu ayah sama onty"
Pikiranku langsung di buat traveling entah kemana.
Setelah Lala istirahat, itu artinya sekitar hampir pukul sepuluh mas Bima datang. Karena Lala istirahat pukul sembilan hingga setengah sepuluh.
Kenapa pas sekali barengan sama Gesya jengukin Lalanya? Apa mereka janjian?
Aku yakin mereka memang sengaja janjian dan ketemuan di sini.
Tiba-tiba hatiku merasa seperti tertusuk duri yang sangat tajam.
"Tapi ayah cuma sebentar bun" Kata Lala memecah lamunanku. "Ayah cuma pamit sama Lala, nasehatin Lala supaya jangan nakal, jangan jadi anak bandel, jangan ngerepotin bunda, sama jangan minta gendong"
"Kenapa bunda nggak boleh gendong Lala?" Aku ingin tahu jawaban Lala. Pasti mas Bima memberikan alasan, sebab kalau tidak, Lala pasti akan terus bertanya-tanya.
"Soalnya kata ayah Lala udah berat, kasihan bunda kalau gendong Lala, nanti tangan bunda jadi sakit, ayah nggak mau bunda sakit, Lala juga nggak suka bunda sakit"
Jadi itu alasan mas Bima. Cukup masuk akal.
Sementara aku, tadi hatiku yang sempat tertusuk, langsung bisa sedikit terobati, sebab merasa mendapat perhatian lebih dari mas Bima.
"Kata ayah kalau bunda sakit nanti nggak bisa jagain Lala"
Kalimat tambahan Lala, membuatku seperti tersengat listrik, pikiranku kembali di penuhi dengan prasangka buruk.
Apa mas Bima hanya memanfaatkanku untuk menjaga Lala? Bukan karena perhatian padaku dan mengkhawatirkanku sakit?
Ah,,, kenapa anak dan ayah membuat hatiku terombang-ambing begini? Sebentar membuatku sedikit lega, tapi untuk sesaat membuat hatiku kembali merasakan cubitan yang terasa pedas.
Menghirup napas, aku berusaha menetralisir rasa yang bergemuruh dalam dada, berusaha menenangkan otakku yang gemerisik akibat perkataan Lala.
"Terus ayah pesan apa lagi ke Lala"
"Kalau ada laki-laki dewasa yang ketemu bunda, terus ngobrol lama-lama harus kasih tahu ayah"
Apa?? Jadi diam-diam mas Bima juga suka mencari informasi tentangku ke Lala? Mas Bima juga menjadikan Lala sebagai informannya?
Sebenarnya seperti apa isi hatimu mas?
Respect or not respect?
Just simpatic, or love?
"Ada lagi pesan ayah, nak?"
"Ngga ada bun, ayah langsung buru-buru pamit, soalnya kata ayah, ayah mau ke kantor bunda, mau pamitan sama bunda"
"Oh ya?"
"Eungh" Lala mengangguk.
"Terus onty Gesya?"
"Onty Gesya pulangnya nanti-nanti, katanya kangen sama Lala, terus kemarin nggak sempat jenguk Lala, jadinya lama tadi ngobrol sama Lala"
"La, sepertinya makanan Lala sudah siap, bunda ambilkan dulu ya"
"Iya"
"Lala disini saja"
Kedua kalinya putriku mengiyakan.
Aku langsung bangkit dan mengarahkan kaki menuju meja presmanan. Di tengah-tengah langkahku, pikiranku kembali terusik oleh ucapan Lala.
Kira-kira, apa yang Lala dan Gesya bicarakan?
Sepertinya, aku harus mengorek informasi dari Lala, tapi tidak sekarang, mungkin nanti malam setelah makan malam.
Bersambung.
Semangat berkarya