"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ANGIN MEMBAWA KABAR
Setelah beberapa Minggu kemudian,Di dalam rumah sederhana yang tenang, suara angin sore menyelusup lewat celah jendela, membawa udara segar yang menenangkan. Namun, suasana hati di dalam rumah jauh dari damai. Farah, seorang Singgle parent, berdiri di ambang pintu ruang tamu, menggandeng tangan seorang Gadis yang tampak canggung dan gugup. Di hadapannya, Zilfi putri semata wayangnya, duduk di sofa dengan ekspresi curiga.
“Zilfi,” Farah memanggil pelan. “Ibu ingin kamu bertemu dengan seseorang.”
Zulfi menatap ibunya dengan alis terangkat, lalu memindai Gadis di sebelahnya. Gadis itu tampak gugup, memandang ke bawah, kedua tangannya meremas ujung kaosnya. Dia 2 tahun lebih tua dari Nisa, mungkin usianya sekitar 17 tahun, dengan rambut yang agak berantakan dan mata yang tampak penuh kecemasan.
“Ini Sani” kata Farah dengan lembut, mencoba memberi kehangatan dalam suaranya. “Dia sepupu kamu. mulai hari ini dia akan tinggal bersama kita.”
Sekejap, suasana di ruang tamu berubah menjadi hening. Zilfi menatap ibunya dengan tajam, lalu melemparkan pandangannya ke Sani, yang berdiri kaku di tempatnya.
“Kenapa?” suara Zilfi datar, tidak menutupi ketidaksenangannya. “Kenapa dia harus tinggal di sini?”
Farah menarik napas panjang. Dia tahu momen ini akan datang, dan dia sudah mempersiapkan diri. “Ibunya,Tante Santi Menikah Dengan Ayah kamu ,Zilfi...Dan ayah nya meninggalkan nya di rumah nenek mu Nak.. Sani tidak punya tempat lain untuk tinggal.”
Zilfi mengerutkan kening. “Jadi, sekarang aku harus berbagi semuanya? Kamarku, waktumu, semuanya… dengan dia?” suaranya mulai meninggi. “Kenapa harus aku yang menanggung ini, Bu?”
Farah tetap tenang, meski hatinya perih mendengar penolakan putrinya. “Sani butuh tempat yang aman dan keluarga yang bisa menjaganya . Ibu tahu ini berat untukmu,bahkan berat juga untuk ibu. tapi kita harus membantu.tidak mungkin kan kita membiarkan dia tinggal bersama nenek mu?"
Zilfi bangkit dari sofanya, melempar buku yang tadi ia baca ke meja dengan kasar. “Ini nggak adil, Bu! Aku nggak pernah minta orang lain tinggal di sini. Ini rumah kita, bukan rumahnya! Kenapa aku harus berbagi dengan dia?”
Sani menunduk semakin dalam, matanya mulai memerah, merasakan kemarahan Nisa seolah ditujukan langsung padanya. Tangannya semakin erat meremas kaosnya, seolah mencari kekuatan dari sana.
“Zilfi!” Rini menegur, suaranya kini lebih tegas. “Sani adalah keluargamu. Ibu tahu kamu kesal, tapi ini bukan salahnya. Dia tidak memilih untuk berada dalam situasi ini.”
Zilfi memutar bola matanya, napasnya tersengal marah. “Aku nggak peduli. Aku nggak mau ada orang lain di rumah ini, apalagi harus mengurus dia.”
Setelah mengatakan itu, Zilfi berlari ke kamarnya, membanting pintu keras-keras. Ruang tamu kembali hening, hanya terdengar nafas tertahan dari Sani yang berusaha keras menahan tangis.
Farah berlutut di depan Sani, mengusap lembut bahu anak itu. “Maafkan Zilfi, ya. Dia hanya butuh waktu untuk menerima ini.”
Sani mengangguk pelan, matanya tetap tertuju ke lantai. “Nggak apa-apa, Tante,” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Farah merasa hatinya semakin berat. Ia tahu, tugas ini akan sulit,tidak hanya menjaga Sani, tetapi juga membantu Zilfi memahami situasi yang tak adil ini. Ia bangkit, menatap pintu kamar Zilfi yang tertutup rapat. Sebagai seorang ibu, dia harus menemukan cara untuk menjembatani jarak yang kini terbentuk di antara dua anak ini.
Malam itu, setelah semuanya tenang, Farah mengetuk pelan pintu kamar Zilfi. Tak ada jawaban. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan mendapati Zilfi terbaring di tempat tidur, wajahnya menghadap dinding.
“Nak, ibu tahu ini berat untukmu,” kata Farah pelan, duduk di tepi tempat tidur. “Ibu tahu kamu merasa tidak nyaman, tapi tolong coba pahami. Sani tidak punya siapa-siapa lagi sekarang,ibu nya menikah lagi dengah ayah mu,,lalu ayah nya meninggalkan nya sendiri... Siapa lagi kalau bukan kita yang membantunya?.”
Zilfi tidak berbalik, namun Farah bisa melihat bahunya bergerak, tanda bahwa anak itu mendengarnya.
“Kamu tidak harus menyukai ini, Zilfi. Tapi Sani kehilangan orang tuanya . Dia butuh kita… dan kamu. Kamu adalah saudaranya sekarang, meski bukan kandung... Ibu butuh bantuanmu untuk menjaganya, Nak.”
Ada jeda panjang sebelum akhirnya Zilfi berbicara, suaranya pelan namun penuh kemarahan yang tertahan. “Kenapa aku, Bu? Kenapa aku yang harus berkorban?”
Farah menunduk, memikirkan jawaban yang tepat. “Karena kita adalah keluarga, Zilfi. Kadang, dalam keluarga, kita harus menanggung beban yang tak kita minta. Tapi dari situlah kita belajar untuk menjadi kuat, dan untuk saling menyayangi.”
Zilfi tidak menjawab lagi, tapi Farah tahu bahwa butuh lebih dari sekadar kata-kata untuk membuat putrinya menerima keadaan ini. Ini adalah awal dari perjalanan panjang untuk hubungan baru mereka...