Berjuang sendirian sejak usia remaja karena memiliki tanggungan, adik perempuan yang ia jaga dan ia rawat sampai dewasa. Ternyata dia bukan merawat seorang adik perempuan seperti apa yang dirinya sangka, ternyata Falerin membesarkan penghianat hidupnya sendiri.
Bahkan suaminya di rebut oleh adik kandungnya sendiri tanpa belas kasihan, berpikir jika Falerin tidak pernah memperdulikan hal itu karena sibuk bekerja. Tapi diam-diam ada orang lain yang membalaskan semua rasa sakit Falerin. Seseorang yang tengah di incar oleh Faldo, paparazi yang bahkan sangat tidak sudi menerima uangnya. Ketika Faldo ingin menemui paparazi itu, seolah dirinya adalah sampah yang tidak pantas di lihat.
Walaupun Falerin terkesan selalu sendiri, tapi dia tidak sadar jika ada seseorang yang diam-diam melindunginya. Berada di saat ia membutuhkan pundak untuk bersandar, tempat untuk menangis, dan rumah yang sesungguhnya. Sampai hidupnya benar-benar usai.
"Biarin gw gantiin posisi suami lo."
Dukungannya ya guys
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Angel_Enhy17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⋇⋆CHAPTER 27 : LOVE IS BILND ⋆⋇
Di tengah hujan perempuan itu hanya terus berdiri di halte, tidak memperdulikan hujan terus menerjang nya. Seolah hatinya sudah terlalu sakit untuk sekedar berdiri kembali, tatapannya nampak kosong tidak bisa di baca lagi. Rambut panjangnya terlihat sangat kusut di tengah hujan itu, wajahnya pucat dengan mata merah, ia menangis sepanjang perjalanannya itu. Hanya saja, sepertinya hujan mengetahui jika dia tidak bisa menangis di depan banyak orang. Maka dari itu hujan menutupi semua air matanya yang terus saja turun tanpa henti.
Dadanya terasa sesak, ucapan seseorang membuatnya seketika sadar. Semakin sadar lagi jika apa yang ia lakukan adalah kesalahan besar, tapi perasaannya apakah juga salah? Perasaan itu datang tanpa ia mau, atau bahkan tanpa ia ketahui sama sekali.
Jatuh cinta itu seketika ada, itu memang kesalahannya. Kenapa harus jatuh hati dengan seseorang yang jelas-jelas sudah terikat, apa lagi ikatan itu dengan perempuan yang satu darah dengannya. Seolah-olah dunia memaksanya untuk pergi sejauh mungkin. Bahkan di tengah ia berdiri tanpa arah, orang-orang berjalan menghindarinya. Seperti virus menular yang harus di hindari. Tapi tidak memperdulikan semua itu, Rumi hanya perduli dengan sakit hatinya.
Sampai di mana sebuah mobil berhenti di sana, dan tepat di saat itu seseorang turun dari kendaraan itu. Dia berjalan cepat ke arah Rumi, segera dia menarik Rumi. Hanya saja perempuan itu menepis tangan pria itu dan menatapnya dengan tatapan kesal akan kedatangan pria itu. Masalahnya orang-orang seketika menatap ke arah keduanya berada, Rumi saja sadar akan dirinya yang terlalu bermasalah itu.
"Pergi!" Suara Rumi memang keras, tapi karena hujan sekaligus angin mengurangi volume suaranya. Tetapi, pria itu tetap mendengar perkataan Rumi.
Namun, nampaknya dia tidak perduli dengan tanggapan orang lain. Tidak perduli dengan orang lain akan berkata apa tentang dirinya, ia akan tetap memaksa perempuan itu untuk masuk ke dalam mobilnya. Rumi memberontak setiap dia berusaha membujuk, demi kesehatan perempuan itu.
"Gw gak mau! Lo denger apa gak sih?!"
"Gak." Jawabnya singkat dan tanpa aba-aba pria itu langsung menggendong badan yang jauh lebih mungil darinya itu dengan mudah, seperti karung beras.
"Heh! Turunin gw!!! Tolong!! Lepasin gw!!!" Tidak memperdulikan pemberontakan perempuan itu, dia memaksanya masuk ke dalam mobil dan langsung mengunci dari luar agar tidak kabur keluar.
Setelah itu dia masuk ke dalam mobil, di sana Rumi sudah terlalu kesal. Dia berteriak, seperti di culik oleh penculik kejam. Rumi terus menggertak, berteriak, memukul kaca seperti di culik sungguhan. Pria itu tetap sabar, dia melajukan kendaraannya menjauh dari keramaian yang sepertinya memusatkan mereka berdua.
"Pakai selimut itu untuk menghangatkan badan mu-"
"Enggak! Turunin gw sekarang!" Karena terlalu kesal Rumi tidak menuruti satupun perkataan pria di sebelahnya itu.
Sampai di mana tiba-tiba saja mobil mulai meminggir ke sisi jalan, seperti akan menurunkan Rumi di tengah jalan. Tapi kenyataannya tidak, pria itu mengambil selimut dari kursi belakang sana dan mengeringkan rambut panjang Rumi itu. Tapi perempuan itu memukuli tangannya yang membuatnya menyingkir dari sana, dan menatap Rumi dari samping dengan tatapan yang sama. Tatapannya seperti mengkhawatirkan keadaan Rumi, padahal dia tahu apa yang tengah terjadi, tapi dia tidak mau membuka matanya.
"Nurut sekali aja, bisa?" Ucapnya dengan pelan, di tengah suara hening di dalam mobil. Rumi hanya diam di sana, memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Rumi, gw khawatir sama lo-"
"Tapi gw gak butuh lo khawatirin. Lo kenapa sih?! Kenapa lo terus aja kayak gini-" Ocehnya dengan amarah dan kekesalannya yang ia rasakan. Tetapi, tanggapan pria itu justru tidak seperti ia harapkan. Ia pikir dia akan marah, tapi ternyata tidak sama sekali.
"Karena gw suka sama lo, apa itu masih gak lo sadari?"
"Don't lie-"
"No, selama hampir 2 tahun gw mendam ini dan gw berusaha ada buat lo. Apakah itu masih kurang? Gw lihat lo sama orang lain, gw gak ganggu kebahagiaan lo. Gw berusaha buat lo merasa nyaman, tapi kenapa yang lo lirik justru orang lain? Apakah semuanya yang gw kasih ke lo itu kurang, Rum? Gw berusaha Rum, gw berusaha... Apa lo masih gak bisa lihat ke arah gw?"
Jelasnya dengan segala keluh kesahnya. Ia tahu semuanya, bahkan ia pernah memergoki Faldo dan Rumi berada di dalam hotel, dan Hotel itu adalah milik orang tuanya yang akan menjadi miliknya. Itu kebetulan, bukan karena dia membuntuti atau semacamnya. Berniat akan memeriksa perkembangan di sana ia justru bertemu dengan perempuan yang ia suka bersama pria lain.
Ia tahu jika pria yang tengah bersama Rumi itu sudah beristri, dan ia juga tahu siapa istri pria itu juga. Ia berusaha diam di sana, walaupun sebenarnya diamnya itu juga salah. Tetapi, ia tidak mau jika perempuannya merasa sakit hanya karena ucapannya. Di tengah perasaan itu terus menyerang, diamnya tetap diam.
"Gw lihat semuanya... Gw lihat, tapi gw berusaha buat lupain itu... "
"Kenapa lo suka sama gw? Padahal lo pasti tau apa yang alami sekarang, gw selingkuhan orang! Denger itu! Gw murahan seperti apa yang orang-orang bilang ke gw!! Apa lo masih gak mau benci gw hah?!"
"Sorry, tapi gw gak bisa benci sama lo... " Ucapnya dengan nada yang begitu pelan. Anggap saja dia terlalu bodoh untuk sekedar menyukai seseorang. Ia sudah menyukai Rumi cukup lama, ia hanya bisa memandang tanpa harus mendekati secara langsung. Ada kesempatannya, tapi dia juga ragu.
"Calvin, lo goblok-"
"Iya, gw tau itu... Gw gak mau nyalahin lo atas kegoblokan ini, gw kayak gini karena kemauan gw sendiri, so sorry."
Rumi tidak bisa berkata apa pun, di satu sisi ia merasa bersalah dengan semua ini. Kenapa di saat ia sibuk mengejar yang salah, ia justru menolak orang yang jelas-jelas tulus dengannya. Kenapa dunia ini membingungkan?
Perempuan itu hanya diam di sana seraya mengeringkan rambutnya dengan selimut yang Calvin berikan. Tapi masih saja ia enggan menatap ke arah pria itu. Sedangkan Calvin merasa malu karena secara tiba-tiba saja menyatakan perasaannya secara spontan di situasi yang tidak tepat, berakhir ia harus menahan malunya sendiri.
Dia kembali menghadap ke depan dengan kedua telinganya yang merah, kembali melanjutkan berkendara nya ke rumah tempat di mana Rumi tinggal. Jangan tanya bagaimana bisa Calvin tahu, dia meminta temannya untuk mencari tahu. Di sana Rumi masih tetap diam saja, sampai di mana mereka berdua sampai di kediaman Rumi bersama ibunya. Hujan tidak terlalu deras seperti tadi hanya sekedar gerimis yang turun.
"Gw pulang, makasih... " Rumi turun dari mobil itu tapi masih tidak ada reaksi dari Calvin. Pria itu tetap diam dengan tatapannya yang lurus ke depan.
Pintu mobil tertutup, Rumi masih berdiri di sana dan merasa jika mobil itu sudah menjauh dengan perlahan berakhir ia hanya bisa melihat bagian belakang mobil itu dari belakang dengan tatapan sendu. Apakah ia menyakiti Calvin secara tidak langsung selama ini? Sedangkan pria itu berkendara terus, walaupun dia tidak menatap ke arah Rumi. Dia tetap mengawasi, ketika ia pergi tanpa mengatakan apa pun. Ia bisa melihat Rumi masih berdiri di sana menatap kepergiannya. Kemudian dia tersenyum miris dengan dirinya sendiri.
"Kenapa gw masih gak sadar setelah penolakan gak langsung tadi? Goblok banget gw... "