Ethan, cowok pendiam yang lebih suka ngabisin waktu sendirian dan menikmati ketenangan, gak pernah nyangka hidupnya bakal berubah total saat dia ketemu sama Zoe, cewek super extrovert yang ceria dan gemar banget nongkrong. Perbedaan mereka jelas banget Ethan lebih suka baca buku sambil ngopi di kafe, sementara Zoe selalu jadi pusat perhatian di tiap pesta dan acara sosial.
Awalnya, Ethan merasa risih sama Zoe yang selalu rame dan gak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, lama-lama dia mulai ngeh kalau di balik keceriaan Zoe, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Begitu juga Zoe, yang makin penasaran sama sifat tertutup Ethan, ngerasa ada sesuatu yang bikin dia ingin deketin Ethan lebih lagi dan ngenal siapa dia sebenarnya.
Mereka akhirnya sadar kalau, meskipun beda banget, mereka bisa saling ngelengkapin. Pertanyaannya, bisa gak Ethan keluar dari "tempurung"-nya buat Zoe? Dan, siap gak Zoe untuk ngelambat dikit dan ngertiin Ethan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Papa Koala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia di Balik Sosok Cuek Ethan
Setelah insiden churros dan pizza malam itu, hubungan Zoe dan Ethan makin akrab. Mereka nggak lagi cuma nongkrong di kafe biasa, Zoe punya ide baru: jalan-jalan ke tempat-tempat unik di sekitar kota. Hari itu, mereka memutuskan buat nongkrong di salah satu rooftop bar paling hits, yang terletak di puncak gedung pencakar langit, dengan pemandangan kota yang bikin takjub. Di satu sisi, lampu-lampu gedung bersinar terang seperti galaxy, sementara di sisi lain, matahari pelan-pelan tenggelam di balik cakrawala.
Zoe duduk di pinggir sofa dengan wajah bersemangat, sedangkan Ethan, dengan sikap tenangnya, duduk menyandar sambil memandangi gelas mocktail di tangannya. Di sebelah mereka, ada kolam renang infinity yang seakan menyatu dengan langit malam, memberikan ilusi seolah-olah mereka sedang berada di atas dunia.
"Ini baru namanya tempat yang keren!" Zoe berseru, matanya berbinar-binar melihat suasana sekitar. "Kenapa kita nggak nongkrong di tempat-tempat kayak gini dari dulu?"
Ethan tersenyum tipis. "Karena kamu biasanya nyeret aku ke tempat yang lebih... ramai."
Zoe tertawa kecil. "Iya juga sih. Tapi rooftop ini kan tenang, meski tetap keren. Kamu suka, kan?"
Ethan hanya mengangguk, menikmati pemandangan. Tempat ini sebenarnya cocok untuk orang kayak dia tenang tapi tetap punya vibe yang berbeda. Mungkin, Zoe akhirnya menemukan tempat kompromi yang bisa membuat mereka berdua nyaman.
Setelah memesan makanan dan minuman, Zoe memulai percakapan yang, tentu saja, penuh rasa ingin tahu.
"Ethan, kamu beneran nggak punya medsos apa?" tanya Zoe tiba-tiba, memecah keheningan. "Gila, kamu kayak hidup di zaman batu, lho. Semua orang punya medsos."
Ethan mengangkat bahu tanpa melepaskan pandangannya dari gelas. "Nggak terlalu suka medsos. Terlalu banyak drama."
Zoe melipat tangan di depan dada, menatap Ethan dengan tatapan yang penuh selidik. "Ayo dong, sekali-kali buka Instagram atau TikTok. Siapa tahu kita bisa viral bareng, kan?"
Ethan menghela napas panjang. "Aku nggak butuh viral, Zoe. Aku lebih suka hidup tenang."
"Tenang itu nggak asyik," balas Zoe dengan cepat. "Kamu tahu, kadang aku ngerasa kayak kamu itu manusia paling misterius di dunia ini. Hidup kamu tuh kayak buku yang halaman-halamannya disegel."
Ethan tertawa kecil, tapi nggak mengangkat kepalanya dari gelas. "Nggak perlu buka segel, Zoe. Nggak ada yang menarik buat dilihat."
Zoe mendengus, nggak percaya dengan jawaban Ethan. "Oh, ayolah. Semua orang punya cerita menarik. Kamu pasti punya sesuatu yang kamu sembunyiin dari aku."
Ethan menutup gelasnya perlahan dan menatap Zoe. "Aku cuma orang biasa, Zoe. Nggak ada yang menarik dari hidupku."
Zoe menyipitkan matanya, curiga. "Tapi, nggak mungkin. Kamu tuh terlalu tenang, terlalu cool. Itu artinya kamu menyembunyikan sesuatu yang lebih besar."
Ethan hanya tersenyum kecil, tapi nggak menjawab.
Zoe nggak menyerah. "Oke, kita main permainan. Kalau aku berhasil nebak sesuatu yang kamu sembunyiin, kamu harus jujur, setuju?"
Ethan menghela napas lagi, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi jangan kecewa kalau kamu nggak nemu apa-apa."
Zoe mengangkat satu alis, tersenyum penuh percaya diri. "Challenge accepted!"
---
Beberapa hari setelah itu, Zoe nggak berhenti mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Ethan. Setiap ada kesempatan, dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan kecil dengan harapan bisa membuka sedikit rahasia cowok yang selama ini terlihat begitu misterius baginya.
Suatu malam, mereka memutuskan untuk nongkrong di rooftop yang sama lagi. Kali ini suasananya lebih romantis langit gelap berhiaskan bintang-bintang, dengan angin sepoi-sepoi yang bikin suasana makin nyaman. Bar itu nggak terlalu ramai, suasana tenang dan musik jazz lembut mengalun di latar belakang.
Zoe, yang duduk di kursi berayun, menatap Ethan dengan rasa ingin tahu yang menggebu. Setelah beberapa saat berdiam diri, dia akhirnya memutuskan untuk langsung mengutarakan apa yang ada di pikirannya.
“Ethan, kamu pernah pacaran nggak sih?” tanya Zoe tiba-tiba, membuat Ethan sedikit tersentak.
Ethan, yang sedang minum kopi. Ya, di rooftop bar keren ini pun dia tetap pesan kopi, terbatuk sedikit mendengar pertanyaan itu. “Uh, pernah,” jawabnya, sedikit gugup.
Zoe langsung melompat di tempat duduknya, merasa seperti detektif yang berhasil mengendus petunjuk besar. “HA! Aku tahu ada yang kamu sembunyiin! Jadi, siapa dia? Ceritain dong! Kenapa kalian putus?”
Ethan menghela napas panjang, jelas terlihat nggak nyaman. Tapi, karena dia sudah janji sama Zoe untuk jujur, dia akhirnya menjawab. “Namanya Claire. Kami pacaran selama dua tahun, tapi akhirnya putus.”
Zoe menatap Ethan dengan penuh rasa ingin tahu. “Terus, kenapa putus? Kamu atau dia yang mutusin?”
Ethan terdiam sejenak, seolah sedang memikirkan jawabannya. “Dia yang mutusin. Katanya, aku terlalu... cuek.”
Zoe mengerutkan dahi. “Cuek? Maksudnya?”
Ethan tersenyum pahit. “Ya, mungkin mirip kayak apa yang kamu sering bilang. Aku ini terlalu tenang, nggak ekspresif, nggak suka ngedrama. Claire pengen cowok yang lebih seru, yang bisa kasih perhatian lebih banyak.”
Zoe terdiam, mencoba mencerna informasi itu. “Tapi kan, kamu perhatian kok, dalam cara kamu sendiri. Kayaknya si Claire aja yang nggak ngerti kamu, deh.”
Ethan tersenyum kecil. “Mungkin. Tapi ya, udah lewat juga.”
Mereka terdiam sejenak, menikmati pemandangan kota dari atas. Zoe merasa seperti menemukan potongan puzzle yang selama ini hilang tentang Ethan. Dia paham sekarang kenapa Ethan lebih suka sendiri dan kelihatan menutup diri. Mungkin, itu bukan karena dia nggak peduli, tapi karena pengalaman masa lalunya bikin dia jadi lebih hati-hati.
"Aku rasa kamu nggak se-cuek itu, sih," Zoe bicara pelan. "Kamu tuh... perhatian, tapi dengan caramu sendiri. Aku ngeliatnya setiap hari."
Ethan menoleh ke arahnya, sedikit terkejut mendengar kata-kata Zoe. "Masa?"
Zoe mengangguk, matanya berbinar dengan senyum lembut di bibirnya. "Iya, Ethan. Kamu selalu dengerin aku, meskipun aku sering ngoceh nggak jelas. Kamu inget hal-hal kecil yang aku suka. Kayak waktu kamu bawain aku brownies kemarin? Itu kan manis banget."
Ethan merasa pipinya sedikit memanas, meski dia mencoba tetap cool. "Ya, itu... cuma hal kecil."
"Hal kecil yang berarti," Zoe memperbaiki. "Jadi, menurutku, kamu tuh bukannya cuek. Kamu cuma butuh waktu buat buka diri."
Ethan terdiam, merasa tersentuh oleh kata-kata Zoe. Dia nggak pernah mengira Zoe, yang biasanya selalu ceria dan terkesan nggak pedulian, ternyata bisa begitu mengerti dirinya. Malam itu, dengan suasana rooftop bar yang penuh kedamaian, Ethan merasa seperti menemukan seseorang yang benar-benar memahami siapa dia, seseorang yang bisa menerima dirinya apa adanya.
Zoe tersenyum kecil, merasa percakapan mereka mulai jadi lebih dalam dari yang dia kira. Untuk mencairkan suasana, dia tiba-tiba berkata, “Eh, tapi serius deh. Kalau kamu punya medsos, pasti kamu bisa jadi influencer dengan aura misterius kayak gini. Banyak lho cewek yang suka sama cowok cool dan nggak banyak ngomong.”
Ethan tertawa kecil, merasa lega karena Zoe berhasil mengembalikan suasana jadi lebih ringan. “Influencer, ya? Kayaknya bukan jalanku.”
“Yakin? Aku udah bisa bayangin kamu jadi icon fashion streetwear atau sesuatu yang cool gitu.”
“Dan kamu bakal jadi managerku?” Ethan bertanya sambil tersenyum.
Zoe tertawa. “Jelas! Aku bakal pastiin kamu sukses, Ethan. Percaya deh, aku punya bakat bikin orang viral.”
Malam itu berakhir dengan obrolan ringan yang penuh tawa, tapi ada sesuatu yang berbeda. Zoe mulai melihat Ethan dari sudut pandang yang lebih dalam, sementara Ethan mulai membuka diri sedikit lebih lebar. Rooftop bar itu jadi saksi bisu percakapan yang membawa mereka semakin dekat bukan hanya sebagai teman, tapi mungkin sebagai sesuatu yang lebih dari itu.