Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CUMA TEMAN?
Kevien berhenti menggosok piring, lalu menoleh ke arah ibunya. "Mama kebanyakan nonton drama, deh," balasnya, mencoba terdengar santai meskipun rona merah sudah menjalar di pipinya.
Nadia mendekat, menepuk bahu putranya dengan lembut. "Kamu nggak usah malu, Kevien. Kalau memang suka sama dia, ya nggak apa-apa, bilang aja. Mama yakin Regita anak baik," katanya, matanya penuh arti.
Kevien menatap ibunya dengan alis terangkat. "Mama serius? Ini kan cuma ketemu di arisan. Lagi pula, Regita... ya cuma teman. Kenapa Mama sampai mikir begitu jauh?" tanyanya, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa canggungnya.
Nadia hanya tersenyum penuh arti. "Mama ini ibu kamu, Kev. Mama tahu kalau kamu lagi tertarik sama seseorang. Cara kamu lihat dia tadi, cara kamu bantu dia bawa barang, bahkan cara kamu senyum... semua itu beda. Kamu biasanya nggak seperhatian itu sama orang lain," ujar Nadia, nadanya lembut namun tegas.
Kevien menghela napas berat lagi, melanjutkan mencuci piring sambil bergumam, "Mama bisa baca pikiran atau gimana sih?"
Nadia tertawa kecil mendengar respons anaknya. "Nggak perlu baca pikiran, Kev. Mata kamu udah cukup bicara. Lagipula, kalau Mama boleh jujur, Regita memang gadis yang manis. Kalau kamu serius, mungkin Mama bisa bantu."
Kevien berhenti lagi, kali ini benar-benar menatap ibunya dengan ekspresi tak percaya. "Bunda Regita itu temannya Mama. Kalau Mama mulai ikut campur, aku bakal kelihatan kayak anak kecil yang nggak bisa apa-apa," protesnya.
Nadia hanya terkikik, menutup mulutnya dengan tangan. "Ya sudah, Mama nggak akan ikut campur. Tapi ingat, kesempatan itu nggak datang dua kali, Kev. Kalau kamu suka dia, jangan terlalu lama mikir," katanya dengan nada nasihat.
Kevien mendengus pelan sambil mengeringkan tangannya. "Mama ini kenapa sih? Baru ketemu sekali aja udah begini."
Nadia tersenyum penuh arti. "Karena Mama tahu, kadang perasaan itu datang tanpa rencana. Dan dari cara kamu sekarang, Mama yakin kamu nggak akan bisa berhenti mikirin Regita."
Kevien memilih untuk tidak menjawab, meskipun hatinya mengiyakan setiap kata ibunya. Dalam diam, pikirannya kembali pada sosok Regita yang sedang makan brownies tadi, dengan senyum kecil di bibirnya. Mungkin Mama benar...
Tapi gimana caranya aku bilang ke dia?
•••
Regita sampai di rumah saat adzan magrib berkumandang.
“Bun, Gita, naik duluan, ya?” katanya pada Ratih yang baru selesai memarkirkan mobil.
Ratih mengangguk, “Iya, sekalian panggil Kakak kamu Aksa ya, biar bantu Bunda bawain barang ke dalam.”
Otot Regita mendadak kaku mendengar nama Aksa disebut. “A-ah, iya... nanti aku panggilkan,” kata Regita gugup.
Regita melangkah menuju rumah dengan hati yang tak karuan. Nama Aksa yang disebut Bunda barusan seperti sebuah alarm yang membuat tubuhnya mendadak tegang. Memori kejadian di dapur tadi siang langsung memenuhi pikirannya. Wajahnya terasa panas, meskipun udara sore mulai sejuk setelah adzan maghrib berkumandang.
Sambil membuka pintu depan, Regita mencoba mengatur napas. Dia meletakkan tasnya di meja dekat pintu dan berdiri sejenak, memikirkan bagaimana caranya memanggil Aksa tanpa membuat dirinya terlihat aneh. "Tenang, Git. Cuma panggil doang," gumamnya pada diri sendiri.
Namun, ketika langkahnya menuju tangga, suara pintu kamar Aksa yang terbuka membuatnya spontan berhenti. Aksa muncul dari kamar dengan kaus hitam longgar dan celana pendek. Rambutnya masih sedikit basah, tampaknya dia baru saja selesai mandi.
“Oh, udah pulang?” tanyanya santai, menyandarkan tubuhnya di kusen pintu sambil mengusap rambut dengan handuk kecil.
Regita menelan ludah. Kenapa sih, harus keluar pas aku mau naik ke atas? pikirnya, lalu mengalihkan pandangan ke dinding. “I-iya. Tadi Bunda nyuruh panggil kamu buat bantu bawain barang ke mobil,” katanya cepat, mencoba menghindari kontak mata.
Aksa menyeringai tipis, melihat adik tirinya itu terlihat begitu gugup. "Oh, jadi cuma disuruh panggil doang? Nggak kangen sama gue, gitu?" godanya.
Regita langsung mendelik ke arahnya, wajahnya memerah. "Aduh, apaan sih, Kak? Udah sana turun! Jangan banyak ngomong," balasnya dengan nada kesal, namun jelas ada nada gugup di sana.
Aksa tertawa kecil, menuruni tangga dengan santai. "Bilang aja kalau kangen, nggak usah gengsi gitu. Nanti gue bawain semua barang Bunda, deh," katanya sambil berjalan melewati Regita, sesekali menoleh dengan senyum jahil.
Regita mendengus, tapi tak bisa menyangkal bahwa ada detak di dadanya yang lebih cepat dari biasanya. Dia buru-buru naik ke kamarnya, menutup pintu, dan menyandarkan diri di belakangnya. "Kenapa aku harus punya kakak tiri kayak dia sih..." gumamnya, memegangi wajah yang masih terasa panas.
Di bawah, Aksa menghampiri Ratih yang sedang mengeluarkan barang belanjaan dari bagasi. "Bunda, barang-barangnya mana aja? Katanya tadi mau dibantu," tanyanya dengan nada santai.
Ratih melirik ke arah putranya dan tersenyum. "Itu kardus sama beberapa kantong plastik belanjaan, tolong dibawa ke dapur ya. Tadi Regita yang panggil kamu, kan?"
Aksa mengangkat alis. "Iya, dia bilang sambil marah-marah kecil. Nggak tahu kenapa," jawabnya sambil mulai mengangkat koper besar.
Ratih hanya tertawa kecil. "Kalian ini, kayak kucing sama anjing aja, padahal udah besar."
Aksa tersenyum tipis, tapi dalam hati dia justru merasa puas setiap kali berhasil mengganggu Regita. Gadis itu terlalu manis saat sedang kesal, dan entah kenapa dia tak bisa menahan diri untuk terus menggodanya.
Setelah selesai membawa semua barang ke dapur, Aksa duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Pikiran tentang Regita terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu yang membuatnya selalu ingin lebih dekat dengan gadis itu, meski dia tahu batas yang seharusnya tidak dilewati.
“Aksa, kamu udah makan?” suara Ratih membuyarkan lamunannya.
Aksa menggeleng, menaruh ponselnya di meja. “Belum, Bun. Tapi nanti aja, nunggu Gita turun,” jawabnya santai.
Ratih mengerutkan dahi sambil menatap Aksa. “Kalian itu aneh, ya. Biasanya kakak sama adik malah rebutan makanan. Ini malah nunggu-nungguan.”
Aksa hanya terkekeh pelan, tidak memberikan jawaban.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Regita muncul dengan pakaian rumah yang sederhana—kaos putih longgar dan celana pendek selutut. Meski begitu, Aksa tetap saja memperhatikannya seperti ada yang menarik dari setiap gerakannya.
“Ayo makan, Git,” panggil Ratih sambil menuju dapur.
Regita yang baru turun merasa gugup melihat Aksa di ruang tamu. Namun, dia berusaha terlihat biasa saja. “Iya, Bunda. Aku lapar banget nih,” katanya sambil melangkah cepat melewati Aksa, berharap tidak ada interaksi.
Namun, begitu dia melewati Aksa, tangannya tiba-tiba ditarik. “Eh, tunggu,” suara Aksa terdengar pelan tapi tegas.
Regita menoleh kaget. “Kenapa lagi, sih?” tanyanya sambil mencoba melepaskan tangannya.
Aksa berdiri, mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Regita hingga membuat gadis itu mundur selangkah. “Kamu lupa sesuatu.”
“Lupa apa?” tanya Regita dengan bingung, meski wajahnya mulai memerah.
Aksa mendekat lagi, membuat Regita tersandar ke dinding dekat ruang tamu. Dia menunduk sedikit, matanya menatap langsung ke mata Regita yang tampak panik. “Bayaran untuk kejadian di dapur tadi siang,” bisiknya dengan nada menggoda.
Regita membelalakkan matanya, lalu mendorong dada Aksa dengan pelan. “Apa sih, Kak! Bayaran apalagi? Aku nggak ngerti omongan kamu.”
“Oh, nggak ngerti?” Aksa menyeringai. “Aku bantu kamu mengingat, ya?”
“Aksa! Regita! Cepat ke meja makan, makannya sudah siap,” teriak Ratih dari dapur, membuat momen mereka buyar seketika.
Regita langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri ke dapur. “I-iya, Bun! Aku datang!” katanya tergesa, meninggalkan Aksa yang masih berdiri di tempatnya sambil tertawa kecil.
“Beruntung kamu selamat kali ini, Git,” gumam Aksa, sebelum akhirnya menyusul ke dapur dengan senyum jahil yang tak hilang dari wajahnya.