Amanda Zara Kirana tidak pernah menyangka bahtera pernikahan yang baru setahun berlayar diterjang badai. Nakhoda kapalnya menghilang setelah meminta izin bermain bilyard bersama temannya.
Amanda terombang-ambing. Segala usaha telah dia lakukan untuk mencari Aditya. Namun, jejak sang suami bagai ditelan bumi.
Tiga tahun setelah sang suami menghilang, Amanda tanpa sengaja melihat seorang pria yang mirip dengan Aditya. Mereka bagaikan pinang dibelah dua. siapakah pria itu? Di manakah Aditya sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Tiga
Dian pura-pura masih belum sadar. Dadanya terasa sangat sesak. Dia lalu teringat dengan Amanda. Bagaimana adik iparnya itu sanggup menjalani semua tanpa sedikitpun protes atau menuntut. Tiga tahun Aditya pergi tanpa kabar, sekali bertemu sudah memiliki istri. Tapi dia bisa menghadapi semua dengan tenang.
Dian menarik napas dalam. Teringat semua ucapannya pada Amanda. Dalam hatinya berkata, apakah ini karma baginya yang sering menzalimi adik iparnya itu.
Rasanya saat ini dia ingin bertemu Amanda dan meminta maaf. Dia ingin tahu bagaimana caranya bisa menerima semua ini dengan lapang dada.
Dian mendengar langkah kaki mendekati tempat tidurnya. Dia yakin itu suaminya, Adam. Jika menurut kata hati, ingin rasanya dia kembali menampar dan menghajar lelaki itu. Jika hanya dia yang disakiti, mungkin lukanya tak seberapa dibandingkan saat dia mengatakan jika anak mereka tak penting, bisa menerima perpisahan ini karena jarang bertemu dirinya. Sakit rasanya mendengar ucapan suaminya itu.
"Dian, maafkan aku," ucap Adam. Mendengar ucapan suaminya itu ingin rasanya Dian membuka mata dan menampar pipi Adam. Dengan mudahnya mengatakan maaf setelah membodohi dan membohongi dirinya selama tiga tahun.
Hingga pagi, Dian tak juga mau membuka matanya. Dia akhirnya memang tertidur, mungkin efek dari obat yang diberikan dokter.
Pagi hari saat dia membuka mata, tampak mama dan suaminya sedang berdebat. Dian tak mau mendengarnya. Melihat pergerakan badan Dian, suaminya lalu meninggalkan mertuanya dan mendekati Dian.
"Dian, kamu sudah sadar?" tanya Adam. Wajahnya tampak lega melihat sang istrinya akhirnya membuka mata.
Mama ingin mendekati Dian juga, tapi ponselnya berdering. Dia lalu keluar dari ruang inap putrinya itu.
"Apa kamu berharap aku mati, Mas?" Dian bukannya menjawab pertanyaan Adam, justru balik bertanya.
"Kenapa kamu berkata begitu, Dian? Tentu saja aku berharap kamu sadar. Kamu jangan melakukan itu lagi. Aku akan makin merasa bersalah. Maafkan aku," balas Adam.
Dian tertawa sinis mendengar ucapan suaminya. Baru dia sadari jika Adam hampir sama dengan adiknya Aditya. Bicara lembut, tapi di belakang menusuk hati. Namun, dia masih beruntung karena tiga tahun berumah tangga lagi, pria itu tetap menafkahi dirinya. Dian lalu menarik napas, teringat semua ucapan pedasnya pada sang adik ipar.
"Merasa bersalah atau takut disalahkan? Takut masuk penjara dan tak bisa bertemu gundikmu lagi?" tanya Dian.
"Dian, Dea itu istriku juga. Sudah aku katakan jika kalian berdua memiliki tempat yang berbeda di hati ini. Maafkan jika kemarin aku mengatakan lebih memilih Dea. Bukan maksud aku tak menghargai kamu atau buah hati kita. Tapi aku merasa dia lebih membutuhkan aku. Ayahnya baru meninggal," ucap Adam dengan tenang tanpa rasa bersalah.
"Jadi kamu pikir aku memiliki ayah? Apa kamu pikir hanya wanita itu yang butuh kamu? Apa kamu pikir anak kita Airin tak butuh kasih sayang darimu?" tanya Dian dengan penuh penekanan.
Adam terdiam. Dia memang merasa kurang memberikan kasih sayang pada putrinya itu, karena sejak usia dua tahun dia dan sang putri terpisah. Saat dia pulang seperti sekarang, juga jarang bertemu karena Airin berada di pondok.
"Aku baru sadar sekarang, tak ada laki-laki yang benar-benar tulus dan menerima kamu apa adanya. Pasti di saat mereka melakukan kesalahan, istrilah yang menjadi kambing hitam penyebab kekhilafan itu. Seperti dirimu, Mas. Kau merasa perbuatanmu tak salah, karena semua salahku yang tak mau ikut denganmu. Jika memang kau tak bisa menahan napsu mu, kau bisa paksa aku dengan pilihan ikut atau berpisah," ucap Dian.
Dia menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak. Mengingat semua perbuatan suaminya. Di tambah lagi dia merasa bersalah karena selama ini selalu memojokan Amanda. Pastilah lebih sakit jadi dirinya. Sudah jadi korban masih saja disalahkan keluarga suami.
"Apa kau pernah mengajukan pilihan padaku? Tidak bukan? Aku pikir selama ini kau mencintai aku tulus. Apa kau pernah melihatku mendua? Walau itu bisa kulakukan saat kau bukan siapa-siapa. Banyak pria menggodaku, tapi aku masih menghormati pernikahan kita. Mungkin mulutku pedas, tapi untuk mendua tak ada sedikitpun niat dihati ini!" seru Dian dengan penuh penekanan.
Adam hanya bisa tertunduk. Menyadari jika semua yang dia lakukan adalah kesalahan darinya. Tapi untuk mundur dia tak mau. Dia mencintai Dea. Kehadiran wanita itu memberi warna dalam hidupnya. Dia merasa dihargai sebagai suami.
"Aku kemarin khilaf sehingga melakukan percobaan bunuh diri. Padahal itu perbuatan bodoh. Kenapa aku harus sakit hati dan bunuh diri hanya karena laki-laki pecundang sepertimu? Aku seharusnya berterima kasih karena ditunjukkan siapa kamu sebenarnya. Aku ingin kita berpisah. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu, Mas. Namun, perlu kau ingat, Mas. Sekali kau melangkah pergi, jangan pernah kembali lagi. Anggap saja kau tak pernah memiliki anak yang bernama Airin. Anggap aku dan Airin tak pernah ada di hidupmu," ucap Dian.
Adam merasa kata-kata Dian sangat menusuk hatinya. Sesakit itukah hati istrinya sehingga memintanya tak pernah hadir lagi di hidup mereka. Padahal dia sudah menabung uang buat beli rumah untuk Dian dan Airin. Dia memang merasa kurang adil dengan istrinya itu karena Dea telah dibelikan rumah, sedangkan Dian masih menumpang di rumah mamanya.
"Dian, bagaimana pun Airin itu darah dagingku. Kamu tak bisa pisahkan aku dan anakku. Aku tetap akan bertanggung jawab padanya hingga dia menikah," jawab Adam.
"Tak perlu kau nafkahi, Mas. Aku yakin Kak Dian bisa mencari uang untuk kebutuhan anaknya. Apa yang Kak Dian katakan itu benar. Kau tak layak di sebut ayah, jadi lupakan Airin, dia telah terbiasa tanpamu," ucap Aditya.
Entah sejak kapan pria itu datang. Pasti Aditya mendengar pertengkaran mereka. Dibelakang pria itu berdiri mama dan Salsa.
Adam tampak tersenyum menanggapi ucapan Aditya. Bukannya takut atau merasa terancam.
"Jangan hanya pandai menghakimi diriku, Adit. Apa kau lupa dengan apa yang kau lakukan dengan istrimu? Mana yang lebih kejam dan jahat, aku atau kau? Setelah mengambil dan merampok uang Amanda kau pergi tanpa jejak, dan menikah lagi. Kau tak pernah menafkahi istri dan anakmu. Apa kau juga pantas di sebut ayah bagi putrimu?" tanya Adam dengan suara seperti mengejek.
Aditya tampak terdiam. Dia tak menyangka jika ucapannya berbalik pada dirinya. Baru saja akan menjawab, terdengar ketukan di pintu. Mereka semua serempak memandang ke arah asal suara. Melihat siapa yang datang.
**
Selamat Siang semuanya. Jangan lupa terus baca tiap update novel mama ini ya.
Baca juga terus novel mama yang on going lainnya. GADIS PERAWAN MILIK DADDY. Retensinya sangat rendah, makanya mama update satu bab aja. Banyak yang tak baca tiap updatenya. Mama lihat hingga bab sepuluh kalau memang kurang peminat dan retensi rendah, mungkin mama pindahkan. 🙏🙏
Terima kasih. Lope-lope sekebon jeruk 😍😍😍