Ayu Lestari, seorang wanita yang harus rela pergi dari rumahnya saat warga mengetahui kehamilannya. Menghabiskan satu Malam dengan pria yang tidak di kenalnya, membawa petaka dan kemalangan pada Ayu, seorang wanita yang harus rela masa depannya terenggut.
Akankah Ayu menemukan siapa ayah bayi yang di kandungnya? bagaimana reaksinya saat mengetahui bahwa pria yang menghamilinya adalah seorang pria yang di kenal culun?
Penasaran kan? yuk ikuti terus kisahnya sampai akhir ya, jangan lupa tambahkan subscribe, like, coment dan vote nya. 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berteman
Satu Minggu kemudian, hubungan Ayu dan Gibran terlihat jauh lebih dekat dari sebelumnya. Tidak ada lagi rasa cuek yang membuat jarak di antara mereka berdua dan tidak ada lagi pembatas yang akan membuatnya terlihat seperti orang asing.
Malam ini Gibran rasanya senang sekali karena Ayu perlahan telah menunjukkan sisi lainnya dengan melayani dia dengan sangat baik.
Perhatian kecil mulai terlihat dari Ayu yang selama ini cuek terhadapnya dan hanya bersikap baik di depan orang, tetapi di belakang mereka seperti orang asing.
Cuma kali ini berbeda. Semenjak Gibran membela Ayu di depan semua orang, perubahan itu sedikit demi sedikit mulai terasa menghangatkan tubuhnya.
Di mana Ayu yang tidak biasa mengambilkan makanan, sekarang mulai melayani suaminya bagaikan seorang istri yang sangat menghormati. Tak lupa beberapa kali dia juga membuatkan kopi dan membawakan cemilan ketika Gibran lembur di ruang kerjanya.
Ya, walaupun Ayu tidak pernah menyatakan perasaannya seperti apa. Namun Gibran sudah pandai membaca gerak-gerik sang istri yang mulai membuka peluang untuk hubungan mereka yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Malam ini Ayu dan Gibran duduk di taman rumah sambil menatap langit yang sangat terang dihiasi oleh bintang-bintang juga bulan kecil.
Gibran mengajak Ayu ke taman malam-malam bukan untuk berduaan, melainkan ada sesuatu yang harus disampaikan. Berhubungan orang rumah sudah pada terlelap, momen ini dimanfaatkan supaya bisa menciptakan hubungan yang baru dengan baik.
“Ada apa kamu ngajak aku ke sini?” tanya Ayu bingung menatap suaminya. Dia memeluk tubuhnya sendiri sambil mengusap-usap karena udara malam hari terkesan dingin.
“Ada sesuatu yang harus aku katakan sebelum terlambat,” jawab Gibran menatap lekat Ayu.
“Terlambat? Apa maksudmu terlambat?” Ayu semakin dibuat bingung oleh suaminya yang tidak langsung to the point.
Gibran yang awalnya menatap Ayu, seketika berubah menatap langit dengan harapan malam ini bisa menjadi malam baik untuk kelanjutan hubungan mereka.
“Aku ngerasa hubungan kita ini terjalin karena terpaksa. Satu sisi kita ingin membuat Raja bahagia dan senang. Satu sisi lain kita seperti menyiksa diri untuk berpura-pura terlihat seperti pasangan romantis di depan semua orang. Kamu capek, nggak? Padahal besok adalah acara resepsi pernikahan kita yang pasti dihadiri ribuan orang dari mana pun. Apa kita harus menambah kebohongan demi menutupi kebohongan?”
Lirikan mata Gibran kepada Ayu telah membuatnya mengerti ke mana arah tujuannya. Apa yang dikatakan memang tidak salah, hanya saja keegoisan merekalah yang salah.
“Jika boleh jujur, sebenarnya aku juga lelah berpura-pura seperti ini. Cuma tidak ada cara lain lagi. Aku tidak bisa memaksakan perasaanku untuk bisa mencintaimu, begitu juga dirimu. Anggaplah kita bersama hanya untuk kebahagiaan Raja, sudah itu saja. Selebihnya ya, kita masing-masing aja. Seandainya cinta hadir itu tandanya bonus, jika tidak ya, itu takdir kita. Memiliki ikatan, tetapi tidak bisa bersatu.”
Mendengar jawaban Ayu yang sangat pasrah pada takdir, membuat Gibran merubah posisi santainya menjadi serius. Tubuhnya sedikit menyerong menatap Ayu dalam-dalam, sehingga wajah sang istri terlihat gugup ditatap sedekat itu oleh sang suami.
“Ja-jangan macam-macam, ya! Atau aku—”
“Aku tidak akan pernah menyentuhmu jika kamu sendiri tidak mengizinkanku. Itu janjiku!” tegas Gibran. Ya, Gibran kini sudah berubah sepenuhnya, dan semua itu tak lepas dari kedua kakaknya dan juga sang Ayah yang terus memberikan nasehat karena sekarang ada alasan yang mengharuskan Gibran menjadi pria yang lebih dewasa lagi.
“Ka-kalau kamu tidak begitu, lantas kenapa menatapku se-seperti itu?” tanya Ayu mulai salah tingkah ketika wajahnya memerah.
“Gimana kalau kita berteman saja, hem? Bukankah segala sesuatu yang dimulai dengan pertemanan akan baik hasilnya? Sama seperti suami-istri pada umumnya, mereka juga berawal dari pertemanan bukan? Terus kenapa kita harus berpura-pura bahagia, sedangkan kita bisa menjadi teman yang bisa melakukan apapun tanpa harus menyiksa diri?”
Ayu langsung terdiam. Dia tidak kepikiran sampai ke situ, padahal banyak peluang yang bisa mereka manfaatkan demi kebahagiaan bersama tanpa menyakiti.
Apalagi Ayu tahu kejadian di masa lalu itu bukan karena kesengajaan, melainkan penjebakan seseorang yang ingin menghancurkan mereka berdua.
Jadi untuk apa mereka saling bermusuhan tanpa sebab? Bukankah dengan pertemanan langkah mereka bisa menjadi lebih ringan tanpa harus berpura-pura membohongi semua orang, termasuk orang tuanya sendiri.
“Tenang saja, aku tidak akan pernah memaksamu untuk mencintaiku, kok. Pertemanan ini bisa kita bangun jika keduanya sama-sama mengizinkan. Ya, jika tidak juga gapapa, sih. Aku cuma kepikiran aja, ibaratkan pernikahan kita ini hanya didasari oleh pertanggungjawaban terhadap Raja. Masa iya, selamanya kita harus seperti ini? Apa kamu tidak mau mencobanya?”
“Kamu sendiri saja sudah lelah bukan, membohongi semua orang. Terus kenapa harus diteruskan? Bukankah kamu sendiri yang bilang barusan kalau memang suatu saat nanti cinta hadir di antara kita itu tandanya bonus dari hubungan ini. Artinya kamu memang berharap cinta itu hadir, ‘kan? Hanya saja kamu pasrah sama apa yang Tuhan berikan. Jadi buat apa lagi kita membohongi perasaan satu sama lain, jika kita sama-sama memiliki harapan besar untuk saling membuka diri, hem?”
Gibran terus berusaha untuk menarik perhatian Ayu supaya tidak lagi menghindar darinya. Dia tidak ingin mereka terlihat seperti orang asing yang saling membenci, padahal tidak ada sebab yang kuat untuk keduanya memiliki dendam.
“Besok adalah momen yang tepat untuk memulai sesuatu yang baik. Jika kamu mau, genggamlah tanganku dengan sangat erat dan kita bisa menjalani semuanya dari awal. Ingat, Yu! Cinta hadir bukan soal waktu, kesempatan, ataupun keromantisan. Tapi cinta hadir karena keduanya saling ikhlas menjalani hubungan tanpa adanya paksaan. Apa pun yang terjadi nantinya aku siap menerimanya, baik kita bersama sebagai teman meski dalam ikatan yang sah atau menjadi suami-istri yang saling mencintai.”
Tatapan mata yang tulus dari Gibran entah mengapa membuat hati Ayu berdebar kencang. Dia bisa merasakan betapa sabarnya sang suami untuk menerima kehadiran dirinya dengan segala kekurangan.
Tidak sedikit pun Gibran mengeluh, tetapi dia malah menunjukkan keseriusannya untuk menghadirkan cinta di antara mereka.
Ayu yang tidak bisa berkata apa-apa langsung menggenggam tangan Gibran dengan erat. Itu berarti dia telah memberikan kesempatan untuk sama-sama berjuang memperbaiki hubungan pernikahan mereka.
“Ka-kamu se-serius mau—”
“Ya, aku ingin mencoba memperbaiki hubungan kita dengan pertemanan. Namun aku tidak bisa berjanji untuk mencintai kamu dengan baik.”
“Tidak apa-apa, itu sudah lebih dari cukup. Setidaknya kita bisa memulai semuanya dengan hal yang kecil dulu. Terima kasih karena kamu sudah mengizinkan aku untuk menjadi temanmu. Aku senang sekali, sungguh! Sekali lagi terima kasih, terima kasih!”
Jantung Ayu berdetak kencang ketika Gibran refleks memeluknya saking bahagianya. Tak lupa sang suami mencium pipi istrinya sampai wajahnya terlihat seperti tomat kematangan.
Anehnya Ayu tidak menolak. Dia malah tersenyum kec seperti ada sesuatu di dalam hatinya. Namun semua itu tidak berlangsung lama ketika Gibran menyadari perbuatannya sudah kelewat batas.
Pria itu meminta maaf menjewer telinganya hingga Ayu tertawa melihat reaksi lucu wajahnya. Siapa sangka pertemanan yang baru mereka ciptakan langsung membawa canda dan tawa bagi keduanya.
Tawa mereka terdengar lepas saat keduanya saling bercanda. Ayu mengejar Gibran demi membalas kejahilannya yang telah menggelitik tubuhnya.
Sampai mereka tidak sadar waktu telah berjalan cepat. Akibat rasa lelah mereka tidur tepat jam 3 pagi. Ayu tertidur di ranjang, sedangkan Gibran di sofa. Keduanya saling berhadapan sambil tersenyum.
Bersambung.
/Slight//Slight/