Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 14 ~ Rahasia
Suasana di meja makan cukup hangat, Jaya terlihat ingin mengenal Kemala juga kedua putrinya. Tentu saja ketika bicara dengan Dara, pria itu selalu terkekeh karena jawaban seadanya yang dianggap menghibur. Sedangkan Citra bersikap dan bicara terlalu berlebihan seakan ingin menarik simpati.
Jaya duduk di ujung meja, Surya dan Pandu berhadapan di sisi kanan dan kiri Papi mereka. Kemala tentu saja di samping Surya, diikuti dengan Citra. Sedangkan Dara duduk diantara Pandu dan Harsa, posisi yang tidak menguntungkan bagi gadis itu.
Ketika membicarakan masalah perusahaan, suasananya agak berbeda. Apalagi saat Pandu menyatakan kesiapannya untuk mulai bergabung di Mahendra Group dan akan menempati jabatan cukup strategis, membuat Harsa mengeluarkan pendapatnya.
“Opa yakin Pandu bisa menempati posisi itu?” tanya Harsa karena ia sendiri baru ditempatkan di kantor pusat dengan jabatan tidak sama dengan Pandu.
“Harsa,” tegur Surya.
“Maksud saya, Paman Pandu.”
Dara mengulum senyum mendengar Harsa menyebut Pandu dengan sebutan Paman, meskipun usianya jauh lebih muda. Dara bahkan berdeham agar tidak terbahak dan disadari oleh Pandu yang langsung menyenggol kaki Dara. Tidak terima, Dara membalas dengan menginjak kaki Pandu.
“Opa paham dengan kekhawatiran kamu Harsa, tapi Pandu harus Opa didik dan persiapkan untuk meneruskan Mahendra Grup. Bagaimanapun dia dan Papa kamu yang berhak. Jangan khawatir, Opa yakin selama ini dia belajar hanya saja terlalu banyak main-main.” Penuturan Jaya tetap tidak membuat Harsa puas, dia merasa lebih layak mendapatkan posisi yang menguntungkan karena sudah bergabung di perusahaan sejak lama.
“Justru kamu harus bisa membantu Pandu,” ujar Surya tidak ingin putranya dianggap membangkang.
“Ah betul itu, Papa benar. Seharusnya kamu bisa mengarahkan Pandu jika dia memang belum kompeten, tapi Opa yakin Pandu selama ini belajar manajemen bisnis di hotel milik Ibunya. Meskipun terlihat seperti main-main.”
“Hotel?” Citra bertanya yang entah ditujukan pada siapa. Jika benar Pandu mewarisi hotel, pria itu benar-benar sultan. Sepertinya ia memang salah pilih target dan ada rasa penyesalan karena terburu-buru mengejar Harsa.
“Hm. Keluarga besar ibunya Pandu memiliki hotel, tempat Dara bekerja. Bukan begitu , sayang?” tanya Jaya pada Dara. “Kamu bekerja di Grand Season ‘kan?”
“Iya, Opa.”
“Sudah pernah bertemu Pandu di sana?” tanya Jaya lagi.
Dara dan Pandu sempat saling tatap. Mengingat sanksi yang didapatkan, Dara pun ingin mengerjai pria itu dengan mengatakan belum pernah melihat Pandu di hotel.
“Kalian harus sering ngobrol, siapa tahu bisa jadi masukan untuk Pandu dan kamu bisa cepat naik jabatan,” ucap Jaya.
“Kalau tidak kompeten, mana mungkin aku rekomendasikan naik jabatan,” sahut Pandu dan Dara tidak merespon hanya bisa mengumpat dalam hati.
Ketika makanan penutup di hidangkan, Jaya masih tertarik berbincang dengan Pandu dan Dara.
“Kenalkan Dara sebagai keluarga kita, paling tidak tawarkan posisi yang lebih baik,” titah Jaya pada Pandu.
“Maaf opa, jabatanku saat ini tidak masalah. Kalau tiba-tiba naik jabatan tanpa prestasi, sepertinya tidak nyaman. Tapi ada satu masalah,” ujar Dara bicara dengan raut wajah serius.
“Masalah?”
“Iya Opa, ada satu orang pejabat hotel yang semena-mena. Dia memberikan sanksi pada karyawan dengan asal, padahal kesalahan yang terjadi bukan murni kesalahan pegawai itu,” tutur Dara.
“Benarkah?”
Dara mengangguk dengan yakin, Pandu berdecak melirik malas pada Dara yang duduk di sampingnya.
“Pandu, atasi masalah itu. Kamu tidak mau hotel milik ibumu ada masalah internal bukan?”
“BEtul Om Pandu, tolong dibantu ya. Kalau perlu tegur orang itu atau pecat saja, jangan-jangan dia tidak kompeten. Masa aku harus turun jabatan sebagai petugas housekeeping,” rengek Dara sambil mencengkram lengan Pandu sesekali menggoyang pelan.
Pandu tidak menjawab hanya menatap tajam gadis yang disampingnya, apalagi saat Dara mengerlingkan mata seakan mengejek. Sungguh akting yang sempurna.
"Dara," tegur Kemala, dia khawatir putrinya membuat Pandu tidak nyaman. Tidak biasanya gadis itu bersikap manja, padahal biasa berani dan cuek.
Benar-benar cari masalah, batin Pandu.
***
Dara tergelak ketika sudah memasuki kamar yang disiapkan untuknya, mengingat wajah Pandu saat ia mengadukan masalahnya pada Jaya.
“Ha-ha-ha, rasakan itu. Jangan main-main dengan Dara Larasati.”
Dara memandang sekeliling kamarnya dan menganggukan kepala, lumayan luas dan nyaman. Bahkan koper yang dibawa sudah berada di kamar itu.
“Hah.” Hela nafas Dara ketika merebahkan diri di atas ranjang. ponselnya bergetar, masih dalam posisi berbaring ia membuka layar dan melihat ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
[Tunggu pembalasanku]
“Pembalasan apa? Siapa pula ini,” gumam Dara lalu melihat nama kontak dan foto profil.
Terkejut manakala foto itu ia kenal. Meskipun hanya foto dari samping, tapi jelas kalau pria itu adalah Pandu. Ia pun segera mengetik balasan.
[Siapa takut]
“Hm, haus,” ujar Dara lalu beranjak dari ranjang dan menyadari tidak ada air di kamarnya. Keluar dari kamar sempat celingak celinguk karena belum mengenal semua area di rumah itu. Kamar di sebelahnya milik CItra, berharap kamar Harsa jauh dari jangkauannya.
Melihat asisten rumah tangga, Dara pun menghampiri dan menanyakan arah menuju dapur.
“Nona silahkan kembali ke kamar, nanti kami bawakan air minum.”
“Tidak perlu, aku ingin tahu arah menuju dapur dan tempat lain,” sahut Dara yang mendengarkan penjelasan lalu mengangguk paham.
Tidak perlu ke dapur, tidak jauh dari sana ada ruang fitness dan terdapat lemari es juga dispenser air. Dara menuju ke ruangan tersebut, tapi pandangannya malah terpusat pada taman. Meski hanya ada penerangan lampu, tapi gadis itu yakin kalau siang suasana disana sangat bagus. Tangannya sudah terulur membuka pintu dan berdecak kagum berada di tengah taman.
“Eh.” Dara memekik manakala seseorang menarik tangannya. “Lepas!” ucap Dara.
“Kita harus bicara,” ujar Harsa.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan.”
“Bagaimana kalau Papa dan Opa tahu kita pernah pacaran,” cetus Harsa seakan mengancam Dara.
“Di mana masalahnya, semua orang punya masa lalu meskipun pahit. Aku yakin tidak akan berpengaruh pada hubungan Bunda dan Papamu. Justru aku balik tanya, bagaimana kalau mereka tahu bagaimana kamu dan Citra mengkhianati aku. Apalagi aku dengar Citra sedang … hamil."
Harsa mengeram pelan mendengar ucapan Dara. Ternyata dia berurusan dengan orang yang salah, Dara bukan perempuan lemah. Bukan hanya ada Dara dan Harsa di sana, di balik pintu ada seseorang yang mendengarkan percakapan tersebut sambil tersenyum sinis.
\=\=\=
Pandu : awas lo!
Dara : Gak takut gak takut 🙉