Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 34
"Maafin Shanum, Kak." Lirih suaranya terdengar sungguh menyayat hati.
Kulirik wajahnya yang tertunduk, sesekali tangan lentik itu menyusut sudut mata. Dia masih saja menangis, entah apa yang sedang ditangisi?
"Maafin buat apa? Kamu nggak ngelakuin kesalahan sama Kakak. Buat apa minta apa?" Kubalas dengan nada suara yang ditahan agar tidak bergetar.
Shanum menggelengkan kepala, menutup wajah beberapa saat. Lalu, mengusapnya dan menengadah menatap hamparan hijau air danau.
"Seharusnya Shanum bisa lebih sabar nunggu Kakak pulang. Seharusnya Shanum bisa menolak dengan tegas pernikahan itu, tapi Shanum justru kalah dan pasrah. Kakak pasti kecewa sama Shanum," tuturnya semakin bergetar, ia menoleh menatapku dengan matanya yang merah.
Tercenung diri ini, menyaksikan kepedihan di sorot mata yang dahulu tak pernah berkabut itu. Aku rindu pancaran menenangkan darinya, telaga jernih yang menenggelamkan bersama rasa yang kumiliki. Ke mana perginya? Akankah kembali lagi?
Kuukir senyum untuk menenangkan hatinya yang tengah bergejolak. Gatal tangan ini ingin menyusut air di kedua pipi itu. Namun, kutahan dengan mengepalnya erat-erat, menjauhkan bisikan-bisikan setan yang bisa saja menghancurkan martabat kami sebagai manusia terhormat.
"Nggak usah disesali, Sha. Ini semua takdir, bukan salah kamu atau mamah papah kamu. Ini adalah jalan yang harus kita terima dan kita tempuh. Ujian supaya kita bisa naik kelas ke tahap selanjutnya. Jangan nyalahin diri sendiri," ucapku.
Shanum kembali menunduk, mengusap pipi yang dibasahi oleh air mata. Tak kusangka hidupnya akan seperti ini. Kukira laki-laki itu akan membahagiakan Shanum karena mereka merupakan sahabat. Nyatanya, itu semua tidak bisa menjadi jaminan.
"Kakak memang kecewa pada awalnya, tapi kemudian Kakak sadar semua berjalan atas kuasa Allah. Kita sebagai manusia harus rela dan ridho menerima takdir kita. Jalani dengan benar, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sholat dan sabar. Ingat, Sha, Allah bersama orang-orang yang sabar."
Entahlah, nasihatku meluncur begitu saja. Kutatap wajah tertunduk di samping, perlahan isak tangisnya mulai mereda. Helaan napas panjang pun terhembus pelan darinya. Ia mengangkat wajah, menoleh sambil tersenyum meski sembab jelas nampak di kedua matanya. Sebegitu lamakah engkau menangis?
"Makasih, Kak. Kakak masih peduli sama Shanum, padahal Shanum tahu Kakak pasti kecewa," tuturnya dengan begitu lembut dan suara yang parau.
Aku tersenyum, begitu getir kurasa hati ini. Pada siapa aku akan mengadu? Ke mana kutuangkan seluruh isi kalbu? Biarlah kupendam seorang diri dan hanya DIA yang mengetahui.
"Sebagai Kakak sudah seharusnya menasihati adiknya, 'kan?" Kutelisik wajahnya, sekilas berubah sendu. Aku mengernyit, apa yang salah? Lalu, ia kembali tersenyum setelah sempat membuang wajah dariku.
"Gimana masalah rumah tangga kamu? Jangan dibiarin berlarut, nanti malah tambah parah," tanyaku meski perih seperti meremas seluruh rasa.
Shanum tetap tersenyum, tapi dapat kulihat segala derita di kedua netranya yang bening. Sungguh, dia perempuan yang kuat dapat menahan segala luka sendirian. Tanpa mengeluh, menangis seorang diri bersembunyi dari dunia.
"Udah beres, Kak. Semuanya udah selesai, doakan saja semoga kehidupan Shanum bisa lebih baik ke depannya," ujarnya ambigu.
Kurasa lipatan di dahi semakin banyak mendengar ucapannya yang membingungkan.
"Maksud kamu? Hubungan kalian udah baikan?" Entah mengapa ada getir di hati meski setengahnya merasakan bahagia.
Sempat kuberharap benang merah di antara kami akan kembali terjalin, tapi jika takdir tetap tidak memihak ... aku bisa apa? Aku manusia biasa yang hanya bisa berencana, di saat itu juga Allah memiliki rencana, dan rencana Allah sebaik-baiknya rencana.
Ia tidak menyahut membuatku semakin bingung, hanya mengulas senyum yang menyembunyikan segala rahasia. Kuhela napas panjang, mengurai rasa sesak yang merebak. Bersamaan dengan itu, harap pun ikut menguap.
"Syukurlah kalo kalian udah baik-baik aja. Semoga rumah tangga kalian ke depannya pun jauh lebih baik," ucapku penuh harap.
Shanum hanya diam, menjawab dengan senyuman. Entah apa yang terdetik di hatinya, tapi apapun itu kuharap semuanya adalah hal baik.
"Kakak sendiri gimana? Kapan Shanum dapat undangan?" tanyanya mengundang gelak kecil dari bibirku.
Pertanyaan yang lucu, jangankan undangan aku saja masih memastikan status dari perempuan yang akan aku pinang.
"Ya, belum jelas perempuannya, Sha. Nantilah kalo udah jelas, doakan aja mudah-mudahan Kakak bisa move on," sahutku asal. Kulirik ia yang merunduk, sekilas dapat terlihat raut sedih di wajahnya.
Perempuan itu kamu, Sha. Aku masih berharap kamu jadi istri aku, nggak peduli apapun status kamu. Gadis atau bukan, rasa sayangku masih sama. Ya Allah, bolehkah aku berharap? Aku ingin menjadikannya ratu di hati juga istanaku. Hanya dia!
Shanum mengangkat wajah, kuulas senyum ketika pandang kami bertemu. Sungguh, ingin kuutarakan saja apa yang terdetik di hati. Atau langsung datang ke hadapan orang tuanya, meminta anak perempuan mereka untuk menjadi istriku. Ah, konyol!
"Iya, mudah-mudahan Kakak dapat perempuan yang lebih baik dan sepadan dengan Kakak."
Perempuan itu cuma kamu, Sha. Cuma kamu yang aku mau, bukan yang lain.
Seandainya ... tapi aku tak bisa mengungkapkannya lewat lisan. Aku harus tahu diri, dan sadar siapa diriku juga dirinya?
"Shanum! Nak, kamu nggak apa-apa?"
Suara panik Umi dan langkahnya yang tergesa memutuskan pandangan kami dan segera menoleh padanya. Raut cemas serta sedih jelas terlihat di mata tua itu. Ia langsung berhambur memeluk Shanum, mengusap-usap punggung wanita hamil itu sambil tak berhenti meracau.
"Kamu yang sabar, ya, Nak. Harus kuat, Umi yakin kamu perempuan yang hebat," ucap Umi seraya melepas pelukan, mengusap wajah gadis yang menjadi dambaannya itu.
"Umi tahu dari mana?" Shanum melirikku, tapi hanya sekilas. Sungguh, bukan aku. Bukan aku yang memberitahu Umi.
"Umi ketemu sama mamah kamu, terus dia cerita semuanya. Umi jadi sedih dengernya, anak gadis Umi dibikin kayak gini." Umi mengusap kepala Shanum yang kini tertutup hijab.
Mata bening itu berkaca-kaca, tanpa kata memeluk tubuh Umi, tersedu lirih. Kusapu sudut mata sambil berpaling, tak tega rasanya melihat mereka saling berbagi derita. Ya Allah, izinkan aku ... ah, tidak! Aku bahkan tidak layak berdoa demikian. Egois namanya.
"Makasih, Umi." Suara Shanum terdengar lirih dan bergetar. Dulu, hanya ada tawa dan senyum kebahagiaan di antara mereka. Bukan tangis kesedihan seperti sekarang yang aku saksikan. Dua orang perempuan yang ingin kujaga senyum dan kebahagiaannya.
"Kenapa nggak pernah datang lagi ke rumah? Umi kesepian nggak ada yang nemenin," ucap Umi penuh harap.
"Shanum malu, Mi."
Ya Allah, malu? Mungkin karena statusnya yang telah berganti menjadi seorang istri.
"Umi ngerti, tapi anggap aja Dzaki nggak ada di rumah. 'Kan, mau ketemu sama Umi bukan Dzaki."
Benar, tapi tetap saja nantinya akan menjadi fitnah.
"Insya Allah, kalo semuanya udah selesai nanti Shanum main ke rumah umi."
Apa itu? Semuanya sudah selesai? Apa yang selesai?