Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Aline berharap Dr. Gita akan menyambut kepulangannya di depan gerbang asrama. Tetapi harapan itu kandas di saat salah seorang suster yang tinggal di asrama itu memberikan pesan penting kepada Aline.
Beberapa jam lalu, Dr. Gita terburu-buru pergi ke rumah sakit. Suster yang baru pulang dari klinik bersalin itu lantas memberikan surat dari Dr. Gita. Isi suratnya begitu singkat; hanya sebuah kalimat permintaan maaf.
Dokter janji akan menggantinya di hari lain.
Aline begitu kecewa. Padahal hari ini, ia ingin sekali berkonsultasi dengan Dr. Gita. Ia ingin menanyakan tentang delusinya yang mulai kembali seperti dulu. Namun di saat-saat terpenting ini, Dr. Gita malah tidak ada.
Apa ini karma? Aline mengembuskan napas beratnya. Dulu ia begitu membenci program konsultasi ini. Namun sekarang, Aline begitu membutuhkannya.
"Jika tidak ada Dr. Gita, aku harus bagaimana?"
Aline meraih ponselnya di nakas. Benda itu masih berada di tempat dan posisi yang sama sebelum Aline meninggalkannya.
Aline menekan tombol di pinggir handphone itu dengan ibu jarinya. Layar menunjukkan waktu saat ini; pukul empat belas lewat dua puluh dua menit. Aline menguap lebar. Ada perasaan yang bercampur aduk di hatinya; antara kecewa, kesal, marah, cemas, lapar—juga kantuk yang begitu hebat.
Aline beranjak ke balkon. Siang-siang seperti ini biasanya anak-anak sekolah sedang bermain bola di lapangan. Tapi hari ini, karena tadi pagi sempat hujan deras jadi lapangan itu pun hanya dipenuhi oleh genangan air yang berlumpur. Tidak ada siapa pun kecuali sekumpulan bebek dan seorang petani yang sedang memandikan kerbaunya di sana.
Kompleks itu sepi.
Aline mendesah. Ia bosan berada di kamarnya. Tidak ada orang seumuran Aline di asrama ini. Ah, kalau saja tadi Aline tidak kumat, ia lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan kampus dibandingkan kamarnya yang sunyi ini.
...•••...
Hari sudah hampir malam tapi sosok wanita yang Aline tunggu belum kelihatan batang hidungnya. Aline menatap makanan di meja tanpa berselera.
"Apa Dr. Gita tidak akan pulang?" Berkali-kali Aline menengok ke luar jendela.
Lampu-lampu yang berasal dari rumah-rumah warga tampak berwarna-warni. Suara anak-anak kecil yang bernyanyi sepulang mengaji pun terdengar hingga ke kantin asrama. Namun suasana seperti itu sama sekali tidak membuat Aline terhibur.
Setitik perasaan waswas muncul dalam hati Aline. Ia berlari ke kamar, mengambil ponsel dan kardigan tebalnya. Aline diam-diam pergi keluar kamar, mondar-mandir di depan gerbang asrama.
Langit malam begitu cerah tetapi hati Aline masih dipenuhi oleh perasaan gelisah. Di pikiran Aline muncul berbagai kecemasan yang akan dihadapinya esok hari.
Seandainya Dr. Gita tidak pulang malam ini, maka Aline pun tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Aline tidak bisa membiarkan dirinya hanyut dalam kegelisahan. Bagaimanapun caranya Aline harus bertemu Dr. Gita sekarang juga.
"Pak, ke Rumah Sakit Hikmah, ya."
Aline menghentikan ojek yang baru saja lewat di depan asrama. Ia memberikan selembar uang seratus ribuan dan tak lama motor legenda tua itu bergerak menembus malam pekat yang mulai menebarkan udara dingin di sekitar ruas jalan.
Di lobi rumah sakit, Aline berpapasan dengan salah satu suster yang tinggal di asramanya.
"Kalau Dr. Gita tidak ada di sini, Lin. Beliau sudah pulang dari dua jam yang lalu."
Aline lemas. Padahal ia sudah menunggu Dr. Gita selama lebih dari tiga jam di gerbang asrama, bagaimana mungkin ia bisa melewatkan keberadaan Dr. Gita.
"Rasanya tidak mungkin jika Dr. Gita pulang tanpa menemuiku."
Aline melangkah lunglai, keluar dari bangunan rumah sakit. Sudah jauh-jauh pergi tetapi yang dituju tidak ada di sini. Tak terbayang betapa kesalnya Aline malam itu.
Pip!
Layar ponsel Aline menampilkan sebuah email masuk. Itu email dari kampus. Aline membuka pesan tersebut. Pesan itu berisi pemberitahuan jadwal orientasi dan pembagian regu kelompok. Aline masuk ke regu empat di bawah asuhan Kak Ode, anggotanya hanya tiga orang. Dan yang pasti Aline sudah mengenal mereka semua.
Aline menghela napas sesaat. Ia duduk di bangku kayu dekat parkiran rumah sakit, matanya menerawang ke langit.
Andaikan besok aku tidak dapat menguasai kecemasan dan delusi ini, maka aku akan bunuh diri. Demikianlah tekad Aline. Namun ketika Aline sampai di kamar asramanya, ia kembali memikirkan ucapan itu.
"Apa yang aku katakan tadi itu sungguhan?"
Aline merenung. Seandainya ia melakukan bunuh diri, ia pasti akan melukai hati dan perasaan Margin yang telah merawatnya selama ini. Dan lagi, Dr. Gita juga akan berpikir, bahwa apa yang selama ini telah dilakukan olehnya hanya sia-sia saja. Jika itu terjadi, mungkin saja Dr. Gita akan berhenti menjadi dokter karena ia merasa tidak kompeten.
Kalau seperti itu, Aline bukan hanya membunuh dirinya, tetapi ia juga akan membunuh perasaan orang-orang yang begitu peduli kepadanya. Dan itu tidak boleh terjadi. Jika Aline tetap bersikeras melakukannya, ia sama jahatnya dengan orang-orang yang telah membuat Aline menjadi seperti itu.
Aline menyesali perkataannya. Ia segera menyingkirkan pikiran-pikiran buruknya.
"Ah, aku tidak boleh putus asa dan menjadi orang yang pengecut. Sebisa mungkin aku harus berani mengambil risiko. Kehidupanku bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri. Aku harus bisa mengalahkan segala delusiku. Aku harus berusaha keras menghadapi kenyataan. Dan kalaupun besok rahasia aku itu terbongkar, aku harus bisa menghadapinya dengan senyuman."
Aline memperhatikan refleksi dirinya di cermin. Tubuh kecil itu terlihat menyedihkan dengan wajah yang suram.
"Ingat Aline, jangan sia-siakan masa kini. Kau harus bangun dari mimpi buruk itu. Kau harus bisa menghadapi hari esok!" ujar Aline pada bayangannya sendiri.
Aline menelan ludah. Menyemangati diri di depan cermin memang ampuh untuk mengusir kegelisahan. Setidaknya untuk malam ini.
Aline membereskan semua barang bawaan untuk besok pagi ke dalam tas gendongnya. Ia sudah menyiapkan daftar centang dan mengecek ulang barang-barang itu hingga tidak ada yang tertinggal; Kertas koran, penggaris, selotip dan stapler sudah ia lipat dan masukkan ke dalam kantong kertas berukuran besar. Besok pagi ia akan membawa semua bahan-bahan itu ke kampus.
Aline mematikan lampu. Ia pergi ke tempat tidur, meringkuk di bawah selimut, dan sebisa mungkin mencoba memejamkan kedua matanya.
Keesokan hari, sebelum subuh Aline sudah selesai bersiap-siap. Ia keluar dari kamar, mengecek ke tempat Dr. Gita, tetapi wanita itu masih belum pulang. Entah ke mana Dr. Gita pergi.
Aline mengeluh sepanjang jalan. Pagi ini Aline sedikit kurang bersemangat. Ia tidak jadi menunggu bus, dan memilih untuk menggunakan taksi Online. Tidak apa-apa mahal sedikit asalkan ia bisa sampai tepat waktu.
Satu jam sebelum orientasi itu dibuka, Aline pergi ke auditorium.
Aline mendapati sosok Raga yang sedang berbaring di sofa. Saat Aline masuk, pria itu segera beranjak, duduk dan merapikan rambutnya yang kusut.
Sekilas, Aline melihat wajah Raga kelihatan lelah sekali. Kantung matanya menghitam seperti orang yang belum tidur semalaman.
"Kak Raga sakit?" tanya Aline sambil mendekat ke arahnya.
"Nggak. Saya baik-baik saja. Kamu ada keperluan apa datang ke sini?" jawab Raga dengan suara yang terdengar sengau.
"Oh, ini, Kak." Aline mengeluarkan bungkusan kertas lalu menaruhnya di meja dekat komputer Raga.
"Apa itu?"
"Ini baju yang kemarin dipinjamkan Kak Ode. Aku sudah mencucinya, kok."
Raga menggeser tas karton itu dari mejanya. "Ambil saja. Kamu nggak perlu mengembalikannya."
"Loh, tapi ini kan punya—"
"Ambil. Kalau saya bilang ambil, ambil saja. Lagipula saya nggak mungkin, kan, memberikan sesuatu sama orang kemudian saya ambil lagi."
Aline terdiam. Ia mencuri pandang pria yang sedang duduk di sofa itu. Ada yang berbeda dengan Raga hari ini, ia tampak stres. Mungkin ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.
"Baiklah, aku akan mengambilnya. Terima kasih"
Raga tidak menanggapi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Embusan napasnya terdengar begitu berat.
Aline memperhatikan Raga, ia merogoh saku bajunya.
"Ini, sebagai pengganti baju kakak." Aline menyodorkan sebungkus permen.
Raga mendongak. Matanya memicing sedikit lalu turun menatap bungkus permen berwarna hijau itu.
Ia berdecak. "Kamu mau saya menerima permen ini?"
Aline gugup. "Oh, itu ... aku tahu kalau permen ini harganya tidak sebanding dengan baju yang kakak berikan. Maaf kalau aku lancang, hanya saja ... aku lihat suasana hati kakak sedang tidak baik-baik saja. Jadi, kalau Kakak mau, aku akan meninggalkan permen ini di sini."
"Memangnya kenapa?"
"Ya?"
"Maksud saya, kenapa saya harus memakan permen mint itu?"
"Ah, itu ... anu, Kak. Kakak tidak perlu memakannya atau mengambilnya jika kakak tidak mau." Aline mengusap pinggir telinganya.
"Apa alasannya kamu memberikan permen itu pada saya?"
"Aku ... Aku hanya ingin berterima kasih atas kebaikan kakak kemarin. Dan, kebetulan, sedari kecil aku suka membawa-bawa permen seperti ini. Aku tidak memiliki apa pun selain permen ini. Mungkin kakak akan menertawakan aku, tapi sejak dulu, aku percaya jika memakan permen ini, suasana hati kita akan berubah menjadi lebih baik. Dulu, ada seseorang yang memberikan permen ini kepada aku di saat aku sedang gelisah. Dia bilang, kandungan mint dalam permen ini sangat kuat sehingga mampu mengusir kegelisahan hati dan mengubah suasana buruk menjadi ceria lagi. Jadi, aku pikir permen ini juga dapat membantu melegakan suasana hati kakak yang sedang kusut."
Raga sama sekali tidak marah. Ia malah tersenyum. Senyuman yang begitu menawan hati Aline.
"Alasan kamu unik sekali, ya. Pasti teman kamu itu sangat menyayangimu."
Aline hanya tersenyum kecil menanggapinya.
Raga menatap bungkus permen itu, membuka dan memakannya sekaligus.
Bola mata Raga terlihat berkaca-kaca. "Kamu benar, permen ini rasanya masih sama. Hati saya sedikit lega karena ini. Terima kasih, Aline."
Aline tersenyum senang. Ia menganggukkan kepalanya satu kali.
Apa yang terjadi pada Raga? Kenapa tiba-tiba ia seperti memikirkan sesuatu dan mengeluarkan air mata seperti itu?
"Kak Raga baik-baik saja?"
Raga menggeleng. "Ada banyak hal yang membuat saya merasa sedih. Saya hampir putus asa menghadapi berbagai masalah yang menimpa keluarga saya."
Aline kaget mendengar itu. Ia tidak percaya Raga akan menceritakan masalahnya pada Aline. Gadis itu pun lantas memberanikan diri untuk menghibur pria itu. Mereka terlibat pembicaraan serius.
Sewaktu Aline berbincang dengan Raga, terdengar suara orang bersenandung memasuki ruangan itu. Tak lama langkah kaki mereka semakin mendekat, dan orang-orang itu pun muncul di hadapan Aline dan Raga.
"Ups, maaf, maaf. Aku tidak tahu kalau kalian sedang berduaan." Stev menutup mulutnya.
Aline tergagap. Bisa berabe kalau mereka sampai salah paham.
"Aku pamit dulu, Kak." Aline berdiri dari tempat duduknya.
Stev menahan Aline dan menghalangi jalannya. "Kamu di sini saja. Lihat tuh, sepertinya Raga juga masih ingin berduaan sama kamu. Jarang-jarang loh dia mau mengobrol sama cewek. Lagian kami cuma sebentar, kok."
Raga mendelik. "Kalian mau apa lagi datang ke sini?"
"Sorry banget, loh, Ra. Kita nggak ada maksud buat ganggu kalian. Kita berdua ke sini karena punya misi penting yang harus disampaikan."
"Misi apa lagi?"
Stev mengisyaratkan pada temannya yang bernama Vany untuk menjelaskan maksud kedatangan mereka.
"Jadi begini, Ra. Mrs. Laura menyuruh kita buat kasih tahu kamu terkait seminar yang akan diadakan nanti sore. Tapi sebelum itu, kamu harus menjemput beliau dulu di Bogor. Setelah itu jemput narasumber kita di Hotel S.”
"Terus orientasinya bagaimana?"
"Itu bisa ditangani sama kita. Kamu kan Presiden kampus, nih, keberadaan kamu jauh lebih dibutuhkan dibandingkan kita."
"Memangnya siapa yang akan menjadi Dosen tamu di seminar kali ini?"
Stev dan Vany saling melempar pandangan. Mereka seperti ragu menyebutkan nama speaker mereka kali ini.
"Tamu kita kali ini terlalu istimewa, Ra. Desainer kondang dari Jepang." Akhirnya Stev berucap seraya tersenyum menunjukkan deretan giginya.
Alis Raga terangkat. Ia mengeluh kecil. "Jadi Mrs. Laura mengundang pembicara dari luar negeri?"
"Enggak. Bukan Mrs. Laura. Kali ini narasumbernya sendiri yang mau. Beliau sengaja datang ke Indonesia. Katanya mau mencari talent baru di kampus kita, sekalian buat program student exchange. Keren, kan?"
"Memang ada narasumber yang mengajukan diri seperti itu? Kalian tidak mencoba membohongi saya, kan?”
"Lah, masa Ode nggak kasih tahu kamu soal ini, sih. Sebelumnya kan Mrs. Laura sudah membicarakan ini di rapat kemarin sore. Kamu serius nggak tahu narasumbernya?"
"Nggak, tuh. Memang siapa?"
"Itu, loh, Luna Takahashi, desainer yang baru saja merilis koleksi terbarunya di acara Paris Fashion Week bulan lalu. Dia yang akan jadi pembicara di kampus kita.”
"Ha? Dia?"
Stev dan Vany nyengir. Mereka sudah tahu reaksi Raga akan berlebihan seperti ini.
Raga menghela napas pendek.
"Kenapa harus dia, sih?" keluh Raga.
"Kami kurang tahu. Luna sendiri yang mau. Tapi untunglah, kali ini kami tidak terlibat dalam acara seminarnya."
"Terus Ode di mana sekarang?" tanya Raga bernada kesal.
"Dia masih sibuk di aula. Sepertinya dia juga tidak akan terlibat kali ini." sahut Vany.
"Apa, sih? Kenapa kalian tidak dan cuma saya yang harus sibuk menjemput orang itu?"
Stev menepuk pundak Raga. "Kami tidak ingin ikut-ikutan, Ra. Pokoknya, selamat menikmati bianglala, ya. Kalau kami yang di posisi kamu sih, mungkin kami sudah kabur."
Raga mendesis. Stev dan Vany tertawa lebar. Entah kenapa kelihatannya mereka kurang suka dengan kehadiran Luna.
Sebaliknya, ketika Aline mendengar nama Luna Takahashi disebut-sebut, matanya langsung berpendar. Hati Aline berjingkrak senang.
Luna Takahashi adalah desainer yang baru memulai kariernya di usia empat puluh lima tahun. Ia terkenal dengan karyanya yang memadukan seni klasik Jepang dengan fashion modern. Selain terkenal dengan merek fashion “Revolution”, Luna juga sering menjadi pembicara di berbagai Event bergengsi. Luna adalah sumber inspirasi bagi orang-orang seperti Aline. Karena itulah, Aline begitu mengidolakannya.
Dan, tadi saat Aline mendengar bahwa Luna akan hadir di seminar sore nanti, seluruh kecemasan dalam hati Aline langsung gugur begitu saja.
Aline teramat gembira. Ia jadi tidak sabar untuk melihat Luna dari jarak dekat. Kalau hari ini Luna datang tanpa undangan, itu tandanya akan ada Event besar yang akan diadakan Luna di kampus ini.