~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apakah Dia?
Kediaman Dirgantara.
Rumah sudah terlihat sepi, selepas makan siang Oma meninggalkan keluarga sejenak untuk masuk ke dalam kamar. Entah itu ia tidur atau hanya sekedar istirahat saja di dalam kamarnya.
Jingga duduk di salah satu kursi yang ada di sisi meja rias Fajar. Ia menatap cermin dengan bertopang dagu. Sesekali matanya menatap layar ponselnya.
“Aduh gimana bilangnya ya?”. Ia berbicara dengan dirinya sendiri, sudah hampir dua bulan menikah dengan Fajar, namun berbicara dan berinteraksi dengannya dapat di hitung jari.
Jingga membenamkan wajahnya di lengannya. Memikirkan bagaimana caranya berbicara dengan Oma, jika sebentar lagi ia akan berangkat bekerja.
“Huf”. Jingga berdiri dari tempat duduknya lalu menghembuskan nafas panjang, matanya kembali menatap layar ponselnya.
Sudah hampir jam tiga.
“Aku harus tetap berangkat bekerja, bukankah dalam perjanjian sudah tertulis jika aku berhak untuk bekerja, lagi pula aku harus menafkahi diriku sendiri, jika tak bekerja bagaimana bisa aku membeli kebutuhan pribadiku”. Desisnya dengan meremas tangannya, ia berdiri dengan posisi wajah yang menunduk.
Bug.
Jingga menabrak tubuh kekar Fajar, yang baru saja memasuki kamar mereka. Ia melotot dengan wajah seperti biasah dingin.
“Tuan saya harus berangkat bekerja”. cicitnya lirih memohon ijin.
“Ya sudah tinggal berangkat saja hus”. Satu tangannya terangkat ke atas, mengibas-ibaskan seakan sedang mengusir sebuah hewan yang hinggap di kamarnya.
Jingga tak peduli dengan itu, ia mulai terbiasa dengan sifat dingin dan seenaknya Fajar. Ia lebih memilih tersenyum, karena suaminya telah memberikan izin untuk keluar dari rumah.
.
.
.
Resto Tempat Jingga bekerja.
Buliran keringat jatuh membasahi dahinya, hijabnya basah setelah setengah berlari mengejar keterlambatan. Ia mengusap layar ponselnya waktu menunjukan pukul 14.57, tiga menit lagi jam pergantian shift akan di mulai. Langkah kakinya semakin di percepat, sepatunya saling beradu menuju halaman Resto.
Huh...huh...huh....
Ia berlari.
14.59
Jingga menundukkan badannya, tangannya memegang lutut, sejenak ia terdiam. Sejurus kemudian salah satu tangannya terulur memegang fingerprint.
15.00 waktu yang tertera di sana.
“Alhamdulilah”. ucapnya dengan berdiri, memegang dadanya yang berdetak tak beraturan setelah berlari. Mengambil nafas dalam-dalam.
“Hay apa kamu baik-baik saja?”. sapa Krisna anak dari pemilik resto.
“Saya baik-baik saja Pak”, jawabnya dengan sopan.
“Tunggu, sudah ku katakan bukan, jangan memanggilku Pak. Kamu bisa memanggilku mas Krisna seperti teman-teman yang lainnya”. Titahnya dengan wajah yang memandang lekat Jingga.
Sementara Jingga, memilih untuk menunduk, ia merasa tak enak dengan tatapan mata atasannya.
“Saya permisi dulu Mas Krisna”. pamitnya dengan mengambil nampan yang ada di sebelahnya tepat berdiri.
“Silahkan”. jawab Krisna dengan tersenyum.
Kini Jingga mulai menjalankan tugas, ia mengganti bajunya dengan seragam kerja yang tersimpan di dalam tas. Memakai celemek di dadanya dan menyematkan selendang kecil di atas kepalanya.
Ia mulai berjalan mondar-mandir dengan membawa baki yang berisi makanan, beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa piring-piring kosong. Begitulah yang di lakukan Jingga, secara terus menerus selama bekerja. Tak banyak interaksi yang ia lakukan dengan teman-temannya. Hanya sekedar saling sapa dan saling membagi tugas saja.
“Jingga, antarkan makanan ini ke meja 212”. Salah satu teman menyuruhnya mengantarkan makanan ke sana.
Tangan kecilnya dengan sigap, meraih nampan yang berisi aneka makanan dan minuman tersebut ke meja 212.
“Permisi Nona, silahkan pesanannya”. Ia menunduk mulai meletakkan beberapa piring yang berisi makanan tersebut di atas meja.
Sepasang laki-laki dan perempuan lekas menoleh secara bersamaan. Ada tatapan berbeda yang di berikan oleh pengunjung perempuan itu. Ia mengamati Jingga, dari atas hingga ke bawah.
“Siapa namamu?”, tanyanya dengan mata yang masih memindai dari atas hingga ke bawah.
“Saya Jingga Nona”. jawabnya dengan lirih, sebenarnya ia merasa canggung tak enak kala mendapati tatapan yang seperti itu dari sesama wanita.
Maura mengambil ponselnya dalam tas, ia membuka galeri foto. Melihat foto wanita yang bersanding dengan Fajar saat itu. Matanya kembali mengamati dengan seksama.
“Wajahnya sama persis, dari postur tubuhnya juga sama. Apa wanita ini istrinya Fajar? Tapi apa iya wanita macam pelayan begini yang menjadi menantu pilihan keluarga Dirgantara?”. Rentetan pertanyaan dalam hatinya saling bertautan membutuhkan sebuah jawaban.
“Dimana tempat tinggal mu?”.
“Saya....”.
“Jingga, cepat antar ini”. Suara panggilan dari salah satu rekan kerjanya, menyadarkan Jingga untuk lekas pergi dari tempat Maura.
“Maaf Nona, saya permisi dulu”. Pamitnya dengan berlari kecil menuju sumber suara yang memanggilnya.
Aku harus mencari tahu, siapa wanita itu. Aku harus memastikan jika ia adalah istri Fajar maka dia harus habis di tanganku.
“Hay, kenap melamun saja? Ayo cepat makan nanti kalau dingin tidak enak”. Seru laki-laki yang ada di sebelah Maura.
Semenjak Fajar menikah, ia jarang sekali membersamai Maura, hingga Maura, sering kali merasa kesepian dan memilih untuk mencari pelampiasan. Beberapa saat kemudian Maura, meninggalkan Resto dengan sejuta pertanyaan, ia bertekad akan mencari tahu tentang salah satu pelayan di Resto tersebut.
.
.
.
Waktu menunjukan hampir pukul dua belas malam. Jingga baru saja sampai di rumah suaminya. Jika biasanya Cinderella akan berubah menjadi upik abu ketika tengah malam, maka hal ini tidak berlaku bagi Jingga. Justru sebaliknya ketika memasuki rumah itu maka ia akan menjadi Cinderella.
“Akulah Cinderella yang tertukar oleh waktu”. Ia tersenyum menertawakan dirinya sendiri. Langkah kakinya mulai mengendap-endap kala memasuki pintu rumah Fajar. Ia takut jika Oma melihatnya pulang ke rumah tengah malam.
Karena merasa aman, tak ada penghuni yang bangun, Jingga lekas melesat secepat mungkin menuju kamarnya.
Cukup pelan sekali, ia membuka handle pintu tersebut, berharap sang penghuni kamar sudah terlelap dalam tidurnya.
.
.
.
Jingga menghela nafas panjang, hatinya merasa lega kala melihat Fajar sudah menutup mata di balik selimut tebalnya. Ia lekas melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
****
“Apa kamu ingin merombak keseluruhan desain taman yang ada di sebelah rumah ini?”. Tanya Fajar ketika melihat Jingga, sedang berdiri di tengah-tengah taman rumahnya.
Jingga diam sebentar. Ia menatap sekeliling taman dengan lekat.
“Saya rasa tidak perlu Tuan, posisi vas-vas bunga sudah tepat, hanya saja perpaduan warnanya tidak sesuai dengan yang nyonya Oma minta, kalau bisa saya ingin menambakan air mancur di bagian sisi sini agar suasana taman terlihat semakin damai”.
“Saya ingin membuat suasana taman ini menjadi miniatur hutan kecil”.
Fajar tertawa kecil mendengar penuturan Jingga, bagaimana bisa ia ingin membuat hutan di dalam rumahnya.
“Sebentar lagi beberapa arsitek akan datang ke mari!”. Seru Fajar dengan meninggalkan istrinya.
Beberapa saat kemudian Jingga menghela nafas panjang, ia merasa sedang menjalankan ujian praktik menuju kelulusan .