"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMBALI TERJATUH KE LUBANG LUKA
Malam itu begitu sunyi. Angin berhembus pelan, namun rasanya seperti menusuk setiap inci kulitnya. Di dalam kamar asramanya Yang Besar, lampu remang-remang hanya menampilkan bayang-bayang tubuh yang lunglai. Setiap napas terasa berat, seperti ada beban tak kasat mata yang mengunci
Zilfi duduk di sudut ruangan,sambil menatap kosong. Sudah beberapa hari ia merasakan kehampaan yang semakin menghimpit. Ia mencoba berdzikir, membaca Al-Qur'an, namun semua itu terasa hampa. Suara jantung menggema tanpa henti, berbisik pelan tapi menyakitkan: "Kau lemah. Tak ada yang peduli. Tak ada jalan keluar."
Pikirannya kembali melayang ke masa lalu, saat ia pertama kali merasakan kegelapan ini. Ia sudah berjuang membantu, memohon kepada Allah, bahkan meminta kepada gurunya untuk di-ruqyah. Saat itu, ia merasa ada secercah harapan. Tapi entah kenapa, gelombang depresi itu kembali datang, kali ini lebih kuat, lebih mengerikan. Seperti ombak besar yang memberi waktu untuk bernapas, terus menariknya ke dasar.
Di atas meja, sebilah pisau kecil berkilau di bawah cahaya lampu. Tangannya gemetar, namun jari-jarinya perlahan mendekati benda tajam itu. Zilfi tahu, ini salah. Ia tahu Allah melarangnya, tapi rasanya tak ada lagi jalan lain. Luka di hatinya begitu dalam, tak bisa dijelaskan, tak bisa disembuhkan
"Kenapa aku begini?" gumamnya lirih, air mata mengalir deras."Aku ingin berhenti ,tapi aku gak bisaa.."
Dengan tangan yang dingin, ia menggenggam pisau itu. Suara jantung semakin keras, mendesak untuk menghentikan rasa sakit dengan cara yang salah. Detik-detik terasa melambat. Dalam kesunyian malam, hanya isakan tertahan dan suara menyalakan pisau dengan kulitnya
Tapi sebelum luka itu terbuka, pintu ruangan tiba-tiba berderit. Suara langkah kaki mendekat. “Zilfiiii…” suara itu terdengar lembut namun tegas. Suara Kak Difa menyaut ..Suara yang dulu pernah membantunya menemui ustad Syafiq.
Zilfi menoleh perlahan. tatapan seniornya penuh kekhawatiran, namun tanpa rasa menghakimi. “Jangan lakukan ini, Zilfii. Kamu tidak sendirian.”
Tapi dalam keadaan itu,Zilfi tidak mendengarkan ,,Rena datang Sambil menarik tangan kak Difa,,,"Biarkan saja kak,,aku sudah lelah dengan kelakuan nya,,,dia itu sedang mencari perhatian ,dia akan berhenti kalau orang yang dia inginkan perhatian nya yang menenangkan nya,,,nanti juga berhenti sendiri,,,"..
Mereka berdua pun meninggalkan Zilfi seorang diri ...
Setelah beberapa hari berlalu ,,,
Tepat pukul 02.00 dini hari,,,Seorang santri Bernama Sofia melihat darah berceceran di toilet,,dia terkejut melihat tetesan darah yang begitu banyak...Sofia pun langsung lari karena merasa takut dan melanjutkan tidur nya kembali dengan rasa khawatir dan takut...
Keesokan harinya,Sofia pun menceritakan kejadian semalam kepada kak Difa,,Sofia berkata bahwa tidak hanya sekali ia menemukan hal seperti itu,Sudah beberapa hari terakhir Sofia selalu menemukan darah berceceran di toilet.. dia beranggapan bahwa darah Zilfi lah yang selalu ada di toilet.
Lalu Kak Difa langsung membicarakan nya kepada Rena ...Rena mengakui bahwa memang itu darah Zilfi,,,bahkan Zilfi menyimpan darah nya itu khusus di sebuah kotak kecil...Rena pun bingung entah apa maksud Zilfi dengan melakukan itu...
Tak lama kemudian,"Kenapa aku?” teriaknya, suaranya menggema di kamar kecil yang gelap. Ia berdiri di depan cermin, memperlihatkan bayangan wajahnya yang penuh kebencian. “Kenapa aku harus terus hidup seperti ini?”
Tiba-tiba, zilfi mulai memukul-mukul kepalanya dengan kedua tangannya. Tangannya keras menghantam pelipisnya, Ia menarik rambutnya sampai rontok...setiap pukulan seperti ingin mengusir rasa sakit yang tak kunjung pergi. “Pergiiiii! Pergiiii!” teriakannya berulang kali, seolah rasa sakit mentalnya bisa dipukul keluar dari tubuhnya. Suaranya serak, histeris, sementara air mata mengalir tanpa henti.