Aura, gadis berusia 26 tahun yang selama hidupnya tidak pernah memahami arti cinta.
Karena permintaan keluarga, Aura menyetujui perjodohan dengan Jeno.
Akan tetapi, malam itu akad tak berlanjut, karena Aura yang tiba-tiba menghilang di malam pengantinnya.
Entah apa yang terjadi, hingga keesokan harinya Aura justru terbangun di sebuah kamar bersama Rayyan yang adalah anak dari ART di kediamannya.
"Aku akan bertanggung jawab," kata Rayyan lugas.
Aura berdecih. "Aku tidak butuh pertanggungjawaban darimu, anggap ini tidak pernah terjadi," pungkasnya.
"Lalu, bagaimana jika kamu hamil?"
Aura membeku, pemikirannya belum sampai kesana.
"Tidak akan hamil jika hanya melakukannya satu kali." Aura membuang muka, tak berani menatap netra Rayyan.
"Aku rasa nilai pelajaran biologimu pasti buruk," cibir Rayyan dengan senyum yang tertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Masih bebas
Rayyan tidak pernah mengira jika pagi ini kegiatan mereka terulang kembali. Jika semalam Aura tak sadar dan hanya Rayyan yang menyadari situasi, beda halnya dengan sekarang dimana Aura dengan sukarela menyerahkan diri padanya.
Sepertinya, Aura sudah ketagihan dengan permainan Rayyan yang sungguh-sungguh memuja dirinya saat hal itu berlangsung.
Keduanya selesai mandi dengan Aura yang terkulai semakin lemas.
Rayyan bahkan memakaikan pakaian untuk istrinya sebab Aura tampak benar-benar kelelahan.
"Aku laper."
Rayyan senang Aura mulai melunak padanya, bahkan bisa berucap manja seperti itu.
"Aku buatin kamu makanan. Bentar ya.".
Aura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meski sudah menikahi Aura hampir dua bulan lamanya, baru kali ini Rayyan merasakan bias-bias rasa sebagai pengantin baru. Ia akan memanjakan istrinya agar Aura bisa membuka hati untuknya. Rayyan pernah mendengar jika Aura akan menghargai seseorang jika dia sudah menganggap orang itu adalah bagian dari dirinya. Misal, keluarga, teman dan mungkin saja sekarang Aura sudah menganggap Rayyan benar-benar sebagai suami setelah apa yang terjadi diantara mereka berdua.
"Makanannya udah siap, sekarang kamu makan, ya." Rayyan mengusak rambut Aura dengan lembut, ia mulai menyuapi wanitanya makan.
Aura tampak anteng disuapi oleh Rayyan dan Rayyan senang Aura tidak menolak hal itu.
"Abis ini kamu mau kemana? Ini hari Minggu, kita jalan-jalan mau?"
"Aku capek banget, aku mau tidur aja."
"Ya udah, kamu istirahat. Maaf ya, udah buat kamu lelah."
"Hmm ... itu yang kamu mau, kan?" ujar Aura dengan senyuman sinis.
Rayyan tau ia yang terlalu banyak berharap pada wanita ini kendati hubungan mereka sudah melampaui tahap yang lebih jauh.
"Aku bukan cuma mau itu, Ra," tutur Rayyan dengan lembut.
"Terus, mau apa lagi? S-e-k-s pasti juga kebutuhan buat kamu apalagi udah pernah ngelakuinnya. Dan hal itu juga berlaku buat aku yang udah terlanjur merasakannya," akui Aura terus terang.
Rayyan tidak menyahut, ia seolah menunggu ucapan apa lagi yang akan Aura katakan selanjutnya.
"... jadi, mulai sekarang kita bisa ngelakuinnya kapan aja. Just have fun! Sebatas melepas kebutuhan masing-masing tapi lebih dari itu ..." Aura menggeleng tegas. "Jangan berharap lebih apalagi soal perasaan," tukasnya.
"Kalau kita bisa melakukannya dengan perasaan, itu jauh lebih baik," kata Rayyan menekankan kalimatnya.
"Ya, tapi apa kamu punya perasaan itu? Bukannya kamu ngelakuinnya atas dasar n-afs-u doang?"
"Apa begitu kamu menilai aku, Ra?"
Aura mengendikkan bahu, ia tidak mau berharap lebih pada Rayyan. Apalagi sampai mengharapkan jika pria itu memiliki rasa padanya.
"Aku sayang sama kamu, Aurora."
Aura terpana, ia membuang pandangan dari sorot mata Rayyan yang terasa mengintimidasinya.
"Kamu sayang sama aku? Gak salah? Bukannya aku nyebelin banget? Selalu ketus sama kamu, selalu marah dan gak tau diri. Kayaknya semua sikap yang aku tunjukin ke kamu itu gak ada yang baik. Kenapa kamu harus sayang sama aku? Aku keras kepala dan egois. Harusnya kamu gak perlu memilih wanita seperti aku!"
"Aku sayang sama kamu sebelum dan sesudah kita menikah, Ra."
Aura pasti tidak akan percaya jika Rayyan telah mencintainya begitu lama. Bahkan sebelum wanita itu mengenal Rayyan secara resmi.
"Aku udah makannya. Aku mau tidur sekarang."
Rayyan mengangguki ucapan Aura yang terdengar menghindari percakapan ini. Rayyan tau wanitanya sulit membuka hati, pun sukar untuk mempercayai lelaki, tapi Rayyan akan terus berjuang seperti diawal ia bertekad mempertahankan Aura.
...***...
Di hari Senin, Aura kembali bekerja seperti biasanya. Ia bertemu dengan Wilow dan mengucapkan terima kasih karena Wilow langsung mengantarkannya pulang malam itu.
"Ehm. Kakakmu tidak marah, kan?"
"Kakak? Marah?" Aura bingung dengan pertanyaan Wilow.
"Iya, malam itu kau pulang dalam keadaan mabuk, jadi Darren membantu menggendongmu ke unit apartmen. Aku takut hal itu malah semakin membuat kakakmu marah."
Sebenarnya Aura sempat lupa jika ia mengenalkan Rayyan sebagai seorang kakak pada Wilow. Namun akhirnya Aura memahami perkataan Wilow sekarang.
"Ah, tidak. Kakakku tidak marah."
Aura sendiri tak tau perihal ini, mungkin saja Rayyan benar-benar marah saat itu tapi tak sekalipun Rayyan membahas hal itu, malah malam itu mereka sibuk dengan kegiatan panas yang dilakukan berulang kali.
"Hai ..."
Aura dan Wilow sontak menoleh pada pria yang menghampiri ruangan mereka. Pria itu berdiri di depan kubikel milik Aura dengan senyuman ramah.
"Oh, Darren, ini masih jam kerja!" protes Wilow yang dapat melihat sepupunya itu sebab posisi kubikelnya dengan Aura bersebelahan.
"Oh, hai. Kebetulan kau kesini. Aku mau mengucapkan terimakasih, ku dengar kau membantu Wilow untuk membawaku malam itu? Maaf ya, pasti acara pestanya jadi berantakan karena aku."
"its oke, Aura. Aku tulus membantumu."
"Thank, Darren."
"Woa, kau sudah tau namaku juga ternyata."
Aura mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Darren, kami lagi sibuk bekerja. Tolong kembali ke divisimu," ujar Wilow sembari memutar bola matanya. Wilow tau Darren berniat mendekati Aura sebab pria itu mengatakan tertantang untuk menaklukan sang teman.
Darren terkekeh kecil, lalu dia sedikit mencondongkan tubu untuk berbisik agar hanya Aura yang dapat mendengar ucapannya.
"Bisakah kita makan siang bersama nanti?"
"Aku ada janji dengan Wilow."
"Ah, batalkan saja. Dia tidak akan marah."
"Dan alasanku membatalkannya karena mu?" kekeh Aura.
"Ayolah. Anggap ini salam perkenalan dariku."
"Kalau begitu, ajak Wilow juga, bukankah aku mengenalmu darinya."
Darren kembali menegakkan tubuh kemudian mengangkat kedua tangannya pertanda menyerah.
"Oke baiklah, kalian berdua akan makan siang denganku," katanya pasrah.
Aura dan Wilow terkikik karena respon yang Darren berikan. Pria itu tampak jenaka dan Aura menyukai tingkah Darren yang cukup menghibur dan memecah kecanggungan meski mereka baru mengenal.
Menjelang siang, ketiganya benar-benar makan siang bersama. Dari hal itu, Darren mengetahui sekilas tentang Aura sebab mereka terlibat percakapan mengenai diri masing-masing.
"Jangan tertarik padanya, Ra. Dia ini pemain wanita!" kata Wilow yang tiba-tiba memperingatkan Aura.
"Hei, aku tidak sedang memainkan wanita tapi aku cuma menyeleksi yang terbaik."
Aura merespon ucapan Darren dengan senyum tipis, tiba-tiba dia mengingat saudara kembarnya yang playboy--Cean juga sering mengatakan hal yang sama seperti yang Darren ucapkan.
"Kau tidak akan dewasa jika kau terus mempermainkan wanita, Darren."
Dan ucapan Aura itu membuat Wilow dan Darren menghentikan perdebatan diantara mereka.
"Kau pernah terjebak dengan playboy, ya?" tebak Wilow.
"Bukan, ucapan Darren mengingatkanku pada adikku. Dia suka bermain-main dengan banyak gadis."
"Wah, berarti dia tampan sepertiku," kata Darren percaya diri.
Wilow dan Aura sepakat berdecak lidah akibat ucapan Darren itu.
Sepulang dari jam kerja, Rayyan sudah berdiri didepan mobil dan menunggu Aura di pelataran kantor istrinya.
"Kau dijemput kakakmu?" tanya Wilow. Ia yang lebih dulu menyadari kehadiran Rayyan, sementara Aura masih sibuk mengobrol dengan Darren sepanjang perjalanan menuju area parkir.
"Ah, dia kesini?" Aura menatap Rayyan disana. Tatapan mata mereka bertemu dan Aura segera berpamitan pada kedua rekannya itu. "Aku duluan, ya," ujarnya.
"Tunggu dulu." Wilow menarik lengan Aura, menghentikan pergerakannya yang akan segera berlalu. "Kapan-kapan, bisakah kau atur kencan buta untukku bersama Kakakmu?" tanyanya.
Aura melongo, namun sesaat kemudian dia mampu menguasai keadaan.
"Kita lihat saja nanti, aku akan menanyakannya apa dia tertarik dengan hal itu atau tidak."
"Benarkah?" Wilow tampak berbinar. "Kakakmu masuk dalam list pria incaranku. He's so hot!" pekiknya antusias.
Ah, kau benar Wilow. Dia benar-benar hot! Untuk itu aku tidak mungkin membaginya denganmu.
Begitulah bisik hati Aura, namun ia segera menepis kuat hal itu dan buru-buru menghampiri Rayyan disana.
Aura baru mau menyapa Rayyan ketika ia tiba dihadapan pria itu, tapi ternyata Rayyan sudah memasuki mobil begitu saja dengan wajah datar dan tampak marah. Ada apa?
Aura pun ikut masuk mobil, disana Rayyan tampak sibuk memasang seatbelt.
"Kenapa kamu menjemputku?"
"Kamu gak suka?" Rayyan balik bertanya dengan dingin.
"Bukan, gitu." Aura merasa ada yang aneh pada Rayyan yang biasa bersikap hangat padanya.
"Siapa dia?"
"Dia?"
"Iya, pria yang tadi ngobrol sama kamu? Dia pria yang sama saat menggendong kamu pulang malam itu."
"Oh, Darren."
"Aku gak nanya siapa namanya, Ra."
"Jadi inti pertanyaan kamu tadi apa?" Aura mulai sewot melihat sikap aneh Rayyan, padahal ia sudah mencoba bersikap baik pada pria itu, sebab dia mengingat ucapan Rayyan yang semalam mengatakan menyayanginya.
Secara perlahan, Aura memang mulai menerima ucapan Rayyan itu. Aura mencerna jika Rayyan adalah orang yang akan masuk menjadi salah satu bagian hidupnya, tapi ia tetap belum bisa menerima Rayyan sebagai suami karena ia masih bingung dengan perasaannya sendiri.
"Aku gak suka kamu dekat sama pria lain selain aku, Ra. Aku cemburu," akui Rayyan.
"Dia cuma teman kantorku. Gak ada yang salah. Kamu aja yang berlebihan!"
"Oke, aku yang berlebihan." Rayyan mengalah.
"Dengar, Ray. Jangan mentang-mentang hubungan kita udah sampai tahap tidur bareng kamu jadi posesif sama aku. Aku udah bilang kan, kita gak terikat perasaan. Jadi aku masih bebas berteman sama siapapun selagi dalam tahap wajar."
Rayyan diam dan fokus mengemudi, namun ia mendengar ucapan Aura dengan sangat jelas. Mungkin bagi Aura mereka tidak terikat perasaan, tapi bagi Rayyan tidak seperti itu. Mereka berdua bukan hanya sekedar terikat soal rasa, mereka bahkan terikat hubungan pernikahan. Kenapa Aura malah melarangnya cemburu?
Tak ingin berdebat, akhirnya Rayyan memilih memendam semua itu dalam hati. Ia pun berujar pasrah,
"Oke, kalau kamu memang ngerasa begitu. Aku membebaskan kamu, dan itu artinya kamu juga membebaskan aku," ujarnya dengan senyuman getir.
Aura langsung terdiam. Ia mencerna ucapan Rayyan dan entah kenapa itu justru membuatnya kesal sendiri saat mendengar kalimat terakhir pria itu.
...Bersambung ......