Bagaimana rasanya, jika kalian sebagai seorang anak yang di abaikan oleh orangtuamu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lihat lah, Aku
Setelah menenangkan dan memastikan Adira makan. Bu Mar mengajak Adira tidur. Dan Adira malah mengajak Bu Mar, untuk tidur sekamar. Bahkan Adira menangis kembali di pelukan Bu Mar.
"Bu Mar, kenapa Ayah dan Ibu tidak menyayangi aku." tanya Adira setelah dia agak tenang. Bu, juga merupakan panggilan untuk Bu Mar, karena Ella tidak ingin mengajarkan anak-anaknya memanggil asisten dengan panggilan Mbok, ataupun sejenisnya.
"Siapa yang bilang begitu? Mereka sayang Adira kok. Buktinya mereka khawatir pada Adira. Makanya menyuruh Bu ?ar nginap di sini." bela Bu Mar. Bu Mar bukan tidak tahu. Jika Adira, di bedakan oleh orang tuanya. Namun, dia bukan lah, orang yang suka bergosip jadi bagaimana kehidupan rumah tuannya tidak akan pernah di ceritakan pada siapa pun.
"Tapi, kenapa mereka tidak menelpon ku. Atau membawaku sekalian?" memeluk Bu Mar.
"Itu karena mereka tidak tega mendengar mu menangis. Nanti saat mereka menelepon mu langsung, kamu pasti nangis kan? Lagipula, anak-anak tidak baik tinggal di rumah sakit. Berbeda dengan Kak Vania, dia memang butuh perawatan di rumah sakit." jelas Bu Mar sambil mengusap kepala Adira.
Setelah mengeluarkan seluruh isi hatinya pada Bu Mar. Akhirnya Adira bisa tidur dengan nyenyak. Tentu saja di dekapan Bu Mar.
"Sungguh kasihan nasib mu nak." batin Bu Mar. Air matanya pun ikut menetes melihat Adira yang nyaman dengan pelukannya.
Seminggu telah berlalu. Vania sudah lebih sehat. Sekarang saatnya masuk sekolah. Kebetulan Vania sudah kelas satu SMP sedangkan Adira masih kelas enam SD. Adira turun sambil berlari dari tangga lantai dua. Dia berniat pergi sekolah bersama dengan Ayah dan Kakaknya.
"Ayah, ikut ya."
"Kamu naik ojek di depan saja. Lagian sekolah kamu beda arah sama Kak Vania. Nanti Ayah putarnya kejauhan kalau kerja." tolak Afandi.
"Baiklah." ujar Adira memilih keluar rumah dengan lesu.
"Sarapan dulu." teriak Ella yang baru muncul dari dapur, saat melihat Adira berjalan ke arah keluar.
"Kalau tidak sarapan, maka tidak mendapatkan uang jajan." sambung Ella, Dan Adira langsung menghentikan langkahnya dan itu membuat Ella tersenyum. Karena ancamannya berhasil. Begitu juga dengan Afandi. Dia langsung menuju ke arah Adira.
"Baiklah, aku tidak jajan hari ini." ucap Adira tanpa menoleh dan membuat langkah Afandi terhenti.
"Dira ..." lirih Afandi. Namun Adira tetap berlalu keluar. Dia sengaja memelankan langkahnya di halaman rumah. Karena masih berharap jika orang tuanya mengejarnya untuk memberikan uang jajan. Namun, sampai saat dia sampai di jalanan dekat pangkalan ojek, tidak satu orang pun keluar dari rumahnya.
"Tega ..." ucap Adira tersenyum tipis.
Adira langsung menaiki ojek tersebut. Kebetulan di saku bajunya ada uang simpanannya. Dan itu cukup untuk bayar ojek pulang dan pergi.
🍁🍁🍁🍁🍁
Malam harinya, Ella selalu memastikan Vania tidur dengan nyaman. Apalagi kamar Vania bersebelahan dengan kamarnya. Sedangkan kamar Adira ada di lantai dua. Dia juga pernah ingin melihat dan memastikan keadaan Adira. Namun sayang, Adira selalu saja mengunci pintu kamarnya.
Malam ini, setelah mengambil kunci serep yang dulu sempat hilang. Ella menuju lantai dua. Dia merasa jika sekarang Adira mulai menjauhinya. Lagi pula, Ella juga sadar, semua itu gara-gara dia yang selalu mengabaikan Adira.
Gelap, pandangan pertama yang di lihat Ella. Dia baru tahu kalau anaknya menyukai tidur dalam keadaan gelap. Perasaan dulu dia pernah membeli lampu tidur untuk Vania dan juga Adira.
Ella merogoh saku bajunya, di menyalakan lampu senter yang berada di ponselnya. Karena untuk menghidupkan lampu, dia takut Adira terbangun. "Kenapa berserakan sekali." gumam Ella melihat banyaknya kertas yang berserakan.
Ella mengutip beberapa kertas, yang terlihat penuh coretan. Di kertas tersebut tertulis aku benci kalian. Ella paham betul, jika tulisan tersebut pasti tertuju untuknya.
"Maaf ..." bisik Ella mengelus dan mencium pucuk kepala Adira.
Adira, yang mendapatkan sentuhan dari Ibunya terjaga. Dia menikmati setiap sentuhan Ibunya tanpa bersuara. Setelah Ella keluar, tangis Adira pecah. Dia baru merasakan kembali sentuhan yang telah lama di rindukan.
Di kamar, Ella menceritakan apa yang di temukan dari kamar Adira. Bahkan, untuk lampu tidur yang tidak bisa digunakan lagi, Ella tidak tahu. Padahal, untuk Vania, Ella sudah mengantikan yang lainnya.
"Bagaimana, kalau Adira beneran membenci kita." isak Ella pada suaminya.
"Tidak mungkin Bu. Mungkin saja, kertas-kertas itu di tujukan ada teman-temannya yang lain." ujar Afandi menenangkan istrinya.
Pagi harinya, Ella memanggil Adira untuk sarapan bersama, dan Afandi juga menawarkan diri untuk mengantarkan Adira. Tentu saja, Adira merasakan jika orang tuanya telah menyayanginya lagi.
Hari ini, di lalui Adira dengan perasaan gembira. Apalagi, saat oang sekolah Ibunya juga menyiapkan beberapa makanan kesukaannya tidak lupa juga makanan kesukaan Vania.
"Untuk hadiah ulang tahun mu kemarin, nanti malam Ayah ngajak kita ke mall, dan kamu boleh memilih hadiah apapun kesukaan mu." ucap Ella setelah membereskan dapur.
"Baik lah, terimakasih Ibu." ujar Adira senang.
"Kamu juga siap-siap ya sayang. Dan kamu juga boleh memilih apapun." kata Ella pada Vania.
Mendengar ucapan Ibunya Adira langsung berkata. "Bu, boleh gak, kalau kita perginya bertiga aja. Sama seperti saat Ibu dan Ayah merayakan hari spesial Kak Vania. Aku yang di larang ikut oleh Kak Vania." lirih Adira.
"Ooo .... Jadi kamu mau balas dendam?" cetus Vania.
"Bukan Kak, aku cuma ingin menghabiskan waktu bersama Ibu dan Ayah. Sama halnya dengan Kakak." bela Adira.
"Dan kamu, mau ngerebut Ibu dan Ayah? Aku udah cukup mengalah ya dari pagi. Ibu dan Ayah hanya menatap mu. Ayah juga mengantar mu sekolah, sampai-sampai aku hampir telat. Dan Ibu memasak makanan kesukaan mu, tapi aku gak bisa mencicipinya karena alergi." teriak Vania.
"Tapi Ibu juga memasak makanan kesukaan Kak Vania." bantah Adira.
"Memang iya, tapi karena melihat makanan kesukaanmu, aku jadi eneg, tahu gak?"
"Ta-tapi ..."
"Sudah sudah ,,, Adira kamu makan di kamar aja ya. Jangan bertengkar. Nanti sakit Kakak mu kambuh." bela Ella.
Vania tersenyum sinis melihat kepergian Adira. Dan dia terlintas ide untuk membatalkan kepergian Adira dan orang tuanya nanti malam.
"Padahal, aku juga ingin membeli Adira kado Bu. Aku sengaja menyisihkan sedikit demi sedikit uang jajan ku." isak Vania setelah melihat Adira memasuki kamarnya.
"Sudah-sudah ... Ibu juga gak mungkin meninggalkan mu sendiri. Ibu takut kamu kenapa-napa. Sekarang kamu makan ya." ujar Ella mengelus rambut panjang anaknya.
🍁🍁🍁🍁🍁
Sore harinya Afandi pulang kerja. Dia langsung menyuruh anak dan istrinya siap-siap. Mereka akan berjalan lebih awal untuk menghindari kemacetan, berhubung hari ini akhir pekan.
Adira, langsung bergegas memasuki kamarnya. Dia bersenandung dan berputar-putar di dalam kamarnya. Adira merasa hari ini adalah hari kebahagiannya. Dia langsung memilih baju terbaik yang di milikinya. Sebelumnya, tentu saja Adira sudah mandi terlebih dahulu.
Baru saja, Adira hendak turun tangga, terlihat Ayah dan Ibunya berlari sambil membopong tubuh Vania.
"Ayah, Ibu ..." lirih Adira menjatuhkan bobot badannya sambil terisak. "Sekali saja, lihat lah aku. Anak mu." isak Adira dengan air mata yang mengalir.