Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Suasana makan malam di restoran mewah terasa tegang. Axel dan Emily duduk berhadapan, suasana romantis yang biasanya mewarnai pertemuan mereka kini digantikan oleh ketegangan yang nyata. Axel memulai pembicaraan dengan hati-hati, menceritakan keinginan mommy nya agar mereka segera menikah.
"Emily," Axel memulai, suaranya lembut namun serius.
"mommy menginginkan kita menikah. Dia ingin segera memiliki cucu."
Emily mendengarkan dengan tenang, menggerakkan sesekali sendoknya tanpa minat. Setelah Axel selesai berbicara, Emily meletakkan sendoknya, matanya menatap Axel dengan tatapan yang serius.
"Axel," Emily memulai, suaranya terdengar tenang, namun tegas.
"Aku mengerti keinginan mommy. Tapi aku tidak bisa menikah sekarang."
Axel mengerutkan kening.
"Kenapa? Ada masalah?"
"Bukan masalah, Axel. Ini tentang prioritasku. Aku sedang berada di puncak karirku. Aku memiliki banyak kesempatan dan proyek yang menjanjikan. Menikah sekarang akan menghambat semuanya. Aku tidak ingin mengorbankan karirku untuk pernikahan." Emily menjelaskan dengan lugas, tanpa ragu.
Axel terdiam, mencerna penjelasan Emily. Ia tahu Emily sangat ambisius dan berdedikasi pada karirnya sebagai model internasional. Ia menghargai ambisi Emily, tapi di sisi lain, ia juga merasa tertekan oleh keinginan mommy nya.
"Jadi, maksudmu... kamu menolak?" Axel bertanya, suaranya terdengar sedikit kecewa.
Emily mengangguk,
"Bukan menolakmu, Axel. Tapi menolak pernikahan saat ini. Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintai karirku. Aku butuh waktu untuk mencapai semua ambisiku. Mungkin, nanti, ketika semuanya sudah tepat, kita bisa membicarakan pernikahan lagi."
Hening. Udara di antara mereka terasa berat. Axel menatap Emily, merasakan perpaduan antara kekecewaan dan kekaguman. Ia menghargai kejujuran Emily, keputusan yang tegas dan jelas. Namun, ia juga harus memikirkan bagaimana ia akan menyampaikan penolakan ini pada mommy nya. Ini akan menjadi pertarungan yang lebih sulit daripada yang ia bayangkan.
Rasa kecewa Axel bergelombang, seperti ombak yang menerjang karang. Ia menatap kosong ke arah laut, bayangan senyum Emily masih terpatri di benaknya, namun kini terasa getir. Bukannya bahagia yang ia rasakan, melainkan luka yang menganga. Emily, wanita yang dicintainya, telah menolak lamarannya. Bukan karena ia tak mencintai Axel, tetapi karena ambisi karirnya yang begitu besar.
Ia menghela napas panjang, suara debur ombak seakan menjadi gema kekecewaannya. Axel paham, Emily adalah wanita yang berambisi. Ia selalu bersemangat mengejar mimpinya, mendaki tangga kesuksesan dengan langkah pasti. Namun, Axel berharap, cinta mereka mampu menjadi pondasi yang cukup kuat untuk membangun masa depan bersama, bahkan di tengah kesibukan karir Emily.
Kekecewaan ini bukan hanya soal pernikahan yang gagal terlaksana. Ini tentang mimpi bersama yang sirna, harapan yang pupus, dan masa depan yang kini terasa hampa. Ia merasa dirinya tak lebih dari sebuah batu sandungan dalam perjalanan karir Emily, sebuah halangan yang harus disingkirkan agar Emily mencapai puncak kesuksesannya.
Axel menggenggam erat sebuah foto mereka berdua, senyum Emily yang dulu begitu ceria kini terasa menyayat hatinya. Ia bertanya-tanya, apakah cintanya tak cukup berharga untuk Emily? Apakah karirnya lebih penting daripada kebahagiaan mereka berdua? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, menambah beban kekecewaan yang ia rasakan. Malam ini, Axel hanya bisa meratapi kegagalannya, berharap suatu hari nanti, luka ini akan sembuh.
.
.
.
seminggu telah berlalu.
Mentari sore menyapa wajah Emily yang tampak tegang. Di tangannya, ia menggenggam tiket pesawat menuju London, tiket yang menjadi gerbang menuju mimpi sekaligus perpisahan. Di depannya, Axel duduk dengan senyum tipis, berusaha menyembunyikan kecemasan yang terpatri di matanya. Lima tahun. Waktu yang terasa begitu panjang untuk sebuah penantian.
"Aku sudah memutuskan, Axel," ujar Emily, suaranya sedikit bergetar. Mata birunya menatap dalam ke mata Axel yang cokelat tua.
"Aku akan mengambil kontrak kerja ini. Lima tahun di London."
Hening. Hanya suara dedaunan yang berdesir ditiup angin sore mengisi kesunyian di antara mereka. Axel menghela napas panjang, mencoba untuk tenang. Ia tahu ini adalah kesempatan emas bagi Emily, kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Namun, egoisnya, ia ingin Emily tetap di sisinya.
"Aku tahu ini keputusan yang sulit," kata Axel akhirnya, suaranya lembut.
"Tapi aku mendukungmu, Emily. Kejar mimpimu." Ia meraih tangan Emily, menggenggamnya erat.
"Hanya saja…" Ia ragu sejenak,
"lima tahun itu lama. apa yang harus aku katakan ke mommy?"
Emily tersenyum, berusaha meyakinkan Axel.
"Aku janji, Axel. Begitu aku pulang, aku akan menerima lamaranmu." Ia menatap mata Axel dengan penuh keyakinan.
"Lima tahun ini akan menjadi bukti betapa aku mencintaimu."
Axel mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Banyak hal yang bisa terjadi. Namun, ia percaya pada Emily, pada cinta mereka yang telah terjalin selama bertahun-tahun.
"Aku akan menunggumu," kata Axel, suaranya mantap.
"Lima tahun bukanlah penghalang bagi cinta kita." Ia memeluk Emily erat, merasakan tubuh Emily bergetar di pelukannya. Perpisahan ini berat, tapi janji mereka menjadi sebuah cahaya di tengah kegelapan perpisahan.
Di bandara, Emily menoleh ke belakang, melihat Axel yang melambaikan tangan. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Lima tahun. Lima tahun untuk membuktikan cinta, lima tahun untuk mengejar mimpi, dan lima tahun untuk kembali pada janji yang telah terucap. Ia mengusap air matanya, dan melangkah menuju gerbang keberangkatan, membawa serta mimpi dan janji di hatinya.
.
.
Axel mengaduk-aduk wiski di gelasnya, es batu berdenting pelan, irama yang kontras dengan badai emosi di dalam dirinya. Lima tahun. Lima tahun Emily berada di London, mengejar mimpinya sebagai model. Lima tahun yang terasa seperti setengah abad bagi Axel, dipenuhi kerinduan yang menggerogoti jiwanya. Senja di luar jendela Prestige Bar tampak begitu tenang, begitu kontras dengan kekacauan di hatinya.
Desakan Mommy untuk segera menikah semakin menjadi-jadi. Setiap pertemuan keluarga selalu berakhir dengan pertanyaan yang sama, "Kapan Axel akan memberikan cucu untuk Mommy?". Pertanyaan yang terasa seperti pukulan telak di dadanya, mengingat Emily, kekasihnya, berada di belahan dunia lain, terikat janji yang tak pasti.
Aroma parfum Emily masih terngiang di ingatannya, lembut dan manis seperti kenangan mereka di bawah langit malam. Kenangan yang kini hanya tinggal foto-foto di ponselnya, pengingat akan kasih sayang yang terasa begitu jauh. Ia menyesap wiski nya, rasa pahitnya seakan mencerminkan getirnya kenyataan.
Seorang wanita cantik duduk di bangku bar di sebelahnya. Rambutnya seputih salju, dan matanya yang berwarna biru bagaikan langit malam yang bertaburan bintang. Axel tak berani menatapnya terlalu lama. Ia terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Suara musik jazz mengalun lembut, mencoba meredam gejolak dalam hatinya. Tapi kerinduan itu tetap membayangi, seperti bayangan yang selalu mengikuti langkahnya. Ia teringat pesan terakhir Emily,
"Aku akan pulang, Axel. Tunggu aku." Janji yang terasa begitu samar, seperti fatamorgana di padang pasir.
Axel mengangkat gelasnya, mengucapkan toast untuk dirinya sendiri, untuk kekuatan yang ia harap masih tersisa di dalam dirinya. Untuk menghadapi Mommy, untuk menghadapi kerinduan, dan untuk menunggu Emily pulang. Ia berharap, lima tahun bukanlah waktu yang terlalu lama untuk sebuah janji.
.
.
.
lanjut yah
See you 😍