Di ruang tamu rumah sederhana itu, suasana yang biasanya tenang berubah menjadi tegang.
"Ummi, Abiy, kenapa selalu maksa kehendak Najiha terus? Najiha masih ingin mondok, nggak mau kuliah!" serunya, suara serak oleh emosi yang tak lagi bisa dibendung.
Wajah Abiy Ahmad mengeras, matanya menyala penuh amarah. "Najiha! Berani sekarang melawan Abiy?!" bentaknya keras, membuat udara di ruangan itu seolah membeku.
"Nak... ikuti saja apa yang Abiy katakan. Semua ini demi masa depanmu," suara Ummi Lina terdengar lirih, penuh harap agar suasana mereda.
Namun Najiha hanya menggeleng dengan getir. "Najiha capek, Mi. Selalu harus nurut sama Abiy tanpa boleh bilang apa yang Najiha rasain!"
Amarah Abiy Ahmad makin memuncak. "Udah besar kepala rupanya anak ini! Kalau terus melawan, Abiy akan kawinkan kamu! Biar tahu rasanya hidup tak bisa seenaknya sendiri!" ancamnya dgn nada penuh amarah.
mau lanjut??
yuk baca karya aku ini🥰🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
luka yang masih basah
Haidar menatap alat tinju di depannya dengan rahang mengeras. Tangannya yang penuh urat kembali mengepal sebelum menghantamnya dengan sekuat tenaga.
Bugh!
"Kenapa... dia muncul lagi?!" geramnya di antara napas yang memburu.
Lagi.
Bugh!
Lagi.
Bugh!
Tangan kanannya terasa perih, tetapi itu bukan apa-apa dibandingkan dengan luka yang kembali menganga di hatinya.
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, bercampur dengan amarah dan rasa kecewa yang terus menghantam dirinya dari segala arah.
"Lo pikir gue masih orang yang sama, Fel?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar, sebelum ia kembali menghantam alat tinju itu, seolah ingin menghancurkan semua yang masih tersisa dari masa lalu.
---
Di Apartemen Najiha
Di dalam kamar yang gelap, Najiha menggigit bibirnya, menatap langit-langit dengan gelisah. Sudah jam sebelas malam, tapi Haidar belum pulang juga.
"Kenapa sih gue malah mikirin bocah itu?" gumamnya, berusaha mengabaikan rasa khawatir yang mulai menusuk dadanya.
Ia membalikkan badan, mencoba memejamkan mata.
Satu menit…
Dua menit…
Lima menit…
Tetap tidak bisa tidur.
"Astaghfirullah…" desahnya, lalu duduk di atas kasur, memeluk lutut.
Matanya melirik ponselnya yang tergeletak di atas meja. Haruskah ia menelepon Haidar?
"Tch. Nggak mungkin," gumamnya sambil menggeleng, mencoba mengabaikan kegelisahan yang semakin mencekik.
Tiba-tiba…
Tring! Tring!
Ponselnya bergetar di atas meja.
Najiha buru-buru meraihnya, lalu melihat nama yang tertera di layar.
Dendi.
Ada firasat buruk yang langsung menjalar di benaknya.
Tanpa ragu, ia mengangkatnya.
"Halo, Naj! Gue butuh bantuan lo sekarang!" suara Dendi terdengar panik dari seberang.
Jantung Najiha mencelos.
"Ada apa? Haidar kenapa?!" tanyanya cepat, instingnya langsung menebak sesuatu yang tidak beres.
Dendi terdengar menghela napas berat. "Dia… nggak bisa dikendalikan, Naj. Dia lagi di markas, ngamuk. Gue sama yang lain udah coba nahan, tapi—"
"Kirimin lokasi sekarang!" potong Najiha tanpa pikir panjang.
"Naj, ini udah larut malem. Bahaya kalau lo ke sini sendirian. Gue aja yang jemput—"
"Gue bisa jaga diri, Den. Jangan buang waktu. Kirimin lokasi sekarang juga!"
Dendi terdiam sejenak sebelum akhirnya menyerah. "O-oke, gue kirim."
Begitu notifikasi lokasi masuk, Najiha langsung bangkit. Ia meraih jaketnya, memakai kerudung nya dgn cepat, lalu mengambil kunci motornya.
Tangannya gemetar halus saat mengunci pintu apartemen.
Ya Allah… lindungi Haidar malam ini.
Tanpa berpikir panjang, ia bergegas ke parkiran, lalu melajukan motornya menembus malam yang semakin larut.
---
Markas Reylios
Begitu tiba, Najiha langsung turun dari motornya, menatap bangunan yang menjulang di hadapannya dengan ekspresi dingin.
Beberapa anak geng motor menoleh ke arahnya, memasang wajah bingung dan penasaran.
"Lo… Najiha?"
Suara itu datang dari seorang pria berambut cepak dengan jaket hitam. Orion.
"Iya. Mana Haidar?" tanya Najiha tanpa basa-basi.
Orion menghela napas, lalu memberi isyarat dengan dagunya. "Ikut gue. Ke lantai atas. Kondisinya makin parah sekarang."
Najiha tak membuang waktu. Dengan langkah cepat, ia mengikuti Orion menuju lantai atas.
Semakin dekat, semakin terdengar suara benturan keras.
Bugh!
Bugh!
Diikuti suara napas berat.
Saat Najiha masuk ke dalam ruangan, matanya langsung menangkap sosok Haidar di sudut ruangan.
Tangan kanannya berlumuran darah. Buku-buku jarinya merah lebam. Alat tinju di depannya penuh bekas hantaman, seolah hampir jebol.
Suara hantaman terus terdengar di ruangan itu.
Haidar menghantam alat tinju dengan brutal, tanpa peduli tangan yang mulai berlumuran darah. Napasnya berat, emosinya meluap tanpa kendali.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar, lalu…
"Astagfirullah… Haidar!"
Sebuah suara yang dikenalnya dengan baik.
Haidar tak berhenti. Ia hanya melirik sekilas ke arah sumber suara—Najiha—sebelum kembali menghantam alat tinju.
Dendi dan Orion berdiri di dekat pintu, ragu.
"Biar gue yang urus," ujar Najiha, suaranya tenang tapi penuh ketegasan.
Dendi menatapnya khawatir. "Naj, lo harus hati-hati."
Najiha menghela napas, lalu menatap mereka dengan yakin. "Lo tenang aja. Walaupun gue nggak tau masalahnya, insyaAllah gue bisa."
Keduanya saling pandang, lalu mengangguk dengan berat hati.
"Gue tinggal lo ya?" kata Dendi sebelum menutup pintu, meninggalkan mereka berdua.
Ruangan itu kembali sunyi, hanya ada suara napas berat Haidar dan bunyi hantaman yang semakin lemah.
Najiha menarik napas dalam, lalu melangkah mendekati Haidar.
Tapi sebelum ia bisa lebih dekat…
"Jangan deketin gue!!! Gue mau sendiri!!" bentak Haidar, suaranya menggema di ruangan.
Najiha tak mundur. Ia justru semakin mendekat.
"Ngapain lo nyakitin diri sendiri, Haidar?! Lo pikir ini bakal nyelesain masalah lo?!" serunya, mencoba menarik Haidar dari alat tinju.
Haidar menatapnya sekilas dengan mata merah dan gelap, tapi tidak menyingkirkan tangannya.
"Minggir, Naj. Ntar kena." suaranya dingin, penuh peringatan.
Tapi Najiha tak menggubris. Ia melihat tangan Haidar yang semakin berdarah, dan itu cukup untuk membuatnya kehilangan kesabaran.
Tanpa pikir panjang…
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Haidar.
Haidar membeku.
Ruangan terasa hening seketika.
Ia perlahan menoleh, menatap Najiha dengan ekspresi terkejut.
Sementara itu, Najiha menatapnya tajam, napasnya naik turun karena emosi.
"Lo pikir nyakitin diri sendiri bisa nyelesain masalah lo?!" suaranya penuh kemarahan, tapi juga kekhawatiran.
"Lo ini kenapa, sih?! Kenapa lo nyiksa diri lo sendiri kayak gini?!"
Haidar tak menjawab. Ia menatap Najiha dalam diam, seperti mencari sesuatu di dalam sorot matanya.
Tapi yang ada hanya ketegasan dan kepedulian.
Setelah beberapa detik, Haidar akhirnya mengalihkan pandangannya. Ia menarik napas dalam, lalu berkata lirih, "Mending lo pulang, Naj. Udah malem."
Tapi jawaban Najiha lebih cepat.
"Gue nggak akan pulang kalo lo nggak pulang."
Tanpa menunggu jawaban, Najiha meraih tangan Haidar yang penuh darah dengan hati-hati, lalu menariknya ke kursi.
Haidar tidak melawan.
Ia hanya duduk, membiarkan Najiha mengurus lukanya.
Sementara Najiha sibuk mengambil kotak P3K dan membersihkan luka-lukanya, Haidar memperhatikan setiap gerakannya dengan ekspresi aneh.
Lalu, tanpa sadar, ia bergumam pelan, "Kok gue nurut aja, ya?"
Najiha berhenti sebentar, meliriknya dengan tatapan tajam.
"Astaghfirullah, tangan lo bengkak, berdarah gini, Haidar! Kenapa lo nggak mikir sebelum mukul alat tinju itu?!"
Haidar hanya menghela napas dan menutup matanya sejenak.
Saat itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli… dan tidak pergi.
......................
Hening.
Setelah semua kekacauan yang terjadi, hanya ada dua orang yang tersisa di dalam ruangan itu.
Najiha masih sibuk membalut tangan Haidar yang penuh luka dengan perban, wajahnya serius, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam—kepedulian.
Haidar menatapnya tajam dari kursinya, lalu tiba-tiba membuka suara.
"Lo ngapain khawatirin gue, Naj?"
Nada suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tapi sarat dengan pertanyaan yang lebih besar di baliknya.
Najiha tidak langsung menjawab. Jemarinya masih cekatan membalut perban, lalu akhirnya ia mendesah pelan sebelum menjawab ketus, "Ya gue khawatir lah. Lo itu tanggung jawab gue. Ntar gue yang kena marah Abiy kalo nggak bisa ngerubah lo."
Haidar terkekeh pelan. Senyum miring tersungging di wajahnya.
"Gue nggak pantes dipeduliin, Naj. Akhlak gue jelek. Gue gelap, Naj. Lo tau semua keburukan gue, tapi kenapa lo tetap di sini?" suaranya mengandung kepahitan yang sulit disembunyikan.
Ia menatapnya dengan mata yang gelap, penuh luka.
"Lo bisa aja lari dari rumah. Lo nggak harus nurut pas tau gue suami lo. Kenapa lo masih di sini?"
Najiha menghentikan gerakannya sejenak, lalu mengangkat wajahnya.
Tatapannya tenang, namun dalam.
"Lo pantes, Haidar. Lo pantes dipeduliin. Siapa pun pantes dipeduliin." suaranya terdengar mantap.
Haidar terdiam. Matanya menatap Najiha, seolah mencoba mencari kebohongan di sana—tapi yang ia temukan hanyalah kejujuran.
Lalu, sesuatu dalam dirinya bergetar saat Najiha melanjutkan.
"Gue nggak suka sama lo."
Haidar membeku.
"Apalagi pas nama lo disebut pas ijab kabul, ada rasa dendam di hati gue. Gue mau lari dari kenyataan di hari itu."
Haidar terdiam. Ada sesuatu di hatinya yang mencelos mendengar kata-kata itu.
Tapi kemudian, Najiha menatapnya lagi—kali ini dengan sorot yang berbeda.
"Tapi…" suaranya melemah, "Gue takut."
Haidar mengerutkan kening. "Takut apa? Bukannya lo nggak takut sama apa pun, termasuk ke gue?"
Najiha tersenyum tipis. Tapi bukan senyum bahagia—lebih seperti senyum getir yang penuh dengan sesuatu yang ia simpan sendirian.
"Gue takut… bukan karena bokap gue, atau siapa pun."
Haidar masih diam, mendengarkan.
"Gue takut gue termasuk dari golongan orang yang nggak menerima takdir Allah."
Ruangan itu terasa semakin sunyi.
"Karena Allah berfirman… ‘Bisa saja sesuatu yang kamu benci itu adalah yang terbaik buat kamu, dan bisa saja sesuatu yang kamu cintai itu justru buruk buat kamu.’"
Haidar menatapnya lama.
Lalu, tanpa sadar, ia terkekeh pelan.
"Lo keren, Naj."
Najiha menatapnya sekilas, lalu menarik napas panjang.
"Ayo kita pulang sekarang."
Haidar tidak langsung menjawab. Ia hanya memandangi Najiha, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Tapi Najiha tidak menunggu.
"Ayo!" suaranya lebih tegas.
Haidar mengangkat satu alis. "Lo mau gue pulang?" tanyanya, masih tidak percaya.
Najiha mendengus. "Haduh… cepetan deh, Haidar. Gue kasih kesempatan sekali ini aja. Kalo lo nggak mau pulang sekarang, yaudah. Lo nggak boleh balik lagi ke apartemen gue selama-lamanya."
Setelah berkata begitu, ia berbalik, berjalan ke arah pintu.
Haidar menatap punggungnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya bangkit berdiri dan menyusulnya.
"Eh, eh, Naj… ini gue pulang!" katanya sambil terkekeh pelan.
Untuk pertama kalinya sejak malam itu dimulai, beban di dadanya terasa sedikit lebih ringan.