Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berhenti Mencari Tahu
Di daerah konflik.
Perbatasan Kerajaan bayangan memang selalu menjadi daerah rawan. Kawanan bandit sering menyerang para petani dan pedagang, membuat raja Veghour harus turun tangan untuk menegakan keadilan. Malam itu, benteng pertahanan utama dikepung. Raza Veghour dengan baju Zirahnya yang berkilau oleh nyala obor, memimpin langsung pasukannya.
"Apa laporan terakhir?" tanya Raja Veghour dengan nada tegas kepada jenderal perang.
"Penyerang berasal dari hutan, Yang Mulia. Gerakannya rapi, tidak seperti bandit biasa." Jawab Jendral sambil menunjuk peta di meja taktis. Raja Veghour mengerutkan kening.
Sebelum Raja menimpali laporan Jendral, suara dentuman keras terdengar dari gerbang utama. Raja langsung keluar, melihat hujan panah menyala mengarah ke benteng. Pasukannya bergegas menangkis serangan.
"Siapkan pasukan cadangan, jangan sampai mereka menembus tembok!" Perintah Raja Veghour.
Udara dingin di perbatasan berubah panas oleh jeritan dan denting senjata. Raja Veghour duduk di atas kudanya, berada di tengah hiruk pikuk medan perang, mendengar jelas suara logam yang beradu seperti simfoni maut.
"Pertahankan posisi! jangan mundur!" Teriak Raja Veghour, suaranya nyaris tenggelam oleh pekikan anak panah yang meluncur dan menghantam perisai.
Prajurit di sekitarnya melangkah maju, menahan gempuran musuh yang datang dari hutan lebat. Dari arah belakang, pasukan cadangan bergerak, membawa tombak panjang yang menghantam barisan musuh dengan btutal.
Trang.. trang..
Sriing..
Pegang-pegang beradu ditengah kerumunan. Suara teriakan prajurit bercampur dengan dentuman senjata, juga jatuhnya korban bergelimpangan.
Buk!
Raja Veghour memutar tubuh, menangkis serangan seorang pria bertopeng yang mengayunkan pedangnya dengan kekuatan luar biasa. Saat pedang mereka bertemu, percikan api terbang. "Traaaang!" Getarannya terasa hingga ke pergelangan tangan Raja Veghour.
"Siapa kau?!" Bentak Raja Veghour, matanya menyipit menatap pria itu. Namun, musuh tidak menjawab. Hanya ada geraman samar sebelum pria bertopeng itu melompat mundur, menghilang ke dalam barisan pasukan.
Bau darah menguar, bercampur aroma tanah basah yang diinjak-injak kaki prajurit. Raja Veghour bergerak maju, pedangnya berayun menebas musuh berikutnya, "syuut!" Daraah menyembur dari sayatan yang menganga. Diiringi suara pelan tubuh yang jatuh ke tanah.
"Gedebuuum!"
Sebuah ledakan tiba-tiba menggema di sisi kanan medan perang. Raja menoleh, melihat api besar melahap menara pengawas. "Sial! Amankan sisi kanan!" Perintah Raja Veghour kepada Jendral perang.
"Baik Yang Mulia." Sang Jenderal perang melesat, memimpin sekelompok prajurit menuju titik kritis.
Saat Raja Veghour kembali fokus ke depan, seorang musuh muncul dari bayangan, menyurukkan gada besar ke hadapannya. Raja menunduk, merasakan angin dingin yang menyertai pukulan itu menyisir rambutnya. "Whossh!"
Dengan gesit, Raja Veghour menghunuskan pedangnya ke tubuh musuh. "Jleb!" Jeritan pendek mengakhiri hidup pria itu.
Di kejauhan, suara genderang terdengar, memberi sinyal bahwa bala bantuan musuh terus berdatangan. Raja Veghour mengatupkan rahangnya. "Mereka tidak berniat mundur. Ini bukan perang melawan bandit."
Malam itu berubah menjadi medan perang berdaraah. Raja Veghour yang terbiasa menghadapi kekacauan, merasakan sesuatu yang ganjil. Gerakan musuh terlalu terorganisir. Bahkan, ada tanda-tanda mereka membawa senjata khas kerajaan, namun simbolnya sudah dihapus.
Jenderal muncul lagi dengan wajah berdebu dan luka kecil di pipinya, "Yang Mulia, mereka membawa pasukan tambahan. Sepertinya mereka berniat menyerang sampai benteng kita jatuh. Hamba ingin mengirim pesan ke Istana, agar segera kembali mengirim mala bantuan. Apakah Yang Mulia berkenan?" Jenderal meminta ijin.
"Tidak perlu. Ini bukan perang biasa melawan bandit. Ini sangat aneh, aku seperti berperang antar kerajaan. Dengan mengirim pasukan kembali, itu akan membuang nyawa sia-sia. Aku yang akan menghentikan ini dengan kekuatan tenaga dalam ku. Kau hanya perlu mengurus sisanya. Kemungkinan setelah perang ini mereda, kondisiku tak lagi prima. Saat itu kau harus beri pesan pada Kasim Istana untuk menjemput ku disini."
"Baik Yang Mulia."
Raja Veghour menyapu pasukan musuh yang berbondong-bondong menyerang pasukannya. Beliau memejamkan mata, berdiam diri sebentar lalu mengibaskan tiga kali tangan penuh kekuatan yang dimilikinya. Serempak, pasukan musuh berjatuhan tanpa sisa.
"Yang Mulia, hamba menemukan seseorang yang masih bernafas diantara mayat musuh."
Veghour berjalan cepat menuju area pertempuran yang sudah reda. Di sana, seorang lelaki berpakaian gelap duduk sambil memegangi perutnya yang sakit.
"Siapa kau? Darimana kalian berasal?!"
Pria itu hanya tersenyum samar. "Hanya seseorang yang ingin memastikan rahasia lama tetap terkubur."
"Apa maksud mu?!" Raja Veghour menempelkan ujung pedangnya ke leher laki-laki itu.
"Ratu Athera, dia seharusnya tidak dibicarakan lagi."
"Apa hubungannya Ratu Athera dengan penyerangan ini?"
Pria itu tertawa kecil, meskipun daraah mengalir dari sudut bibirnya. "Wanita mana yang akan tahan melihat laki-laki yang dicintai bersanding dengan wanita lain? Kau sudah membuka sesuatu yang seharusnya tidak kau sentuh. Ada banyak orang yang menghentikan mu, Raja. Ini baru permulaan."
Veghour menatap tajam pria itu sebelum memberi perintah. " Bawa dia ke dalam tahanan, aku ingin--" Belum selesai kalimat Raja selesai, pria tersebut sudah menghembuskan nafas terakhir. Bersamaan dengan itu, Raja Veghour pun terbatuk-batuk mengeluarkan cairan merah. Tenaga dalam yang ia keluarkan membuat tubuhnya lemah.
Veghour merasakan bahwa perang ini bukan lagi menjaga perbatasan. Ada konspirasi besar tentang Ratu Athera, dimana bukti kecurigaan mengarah pada Ratu Baily. Dan kini, ia sadar bahwa musuhnya bukan hanya para bandit, melainkan bayang-bayang dari kerajaannya sendiri.
...****...
Di tempat berbeda dengan waktu yang sama.
"Rasanya ada yang tidak beres," gumam Nara sambil memperhatikan sekitar, namun sebelum ia sempat menganalisa lebih jauh, beberapa bayangan muncul dari sudut-sudut gelap. Mereka bergerak cepa tanpa peringatan, langsung menyerang Nara dan Raze. Raze sigap maju, tubuhnya menjadi perisai antara Nara dan serangan pertama. "Pegang dirimu, Nara!" katanya sambil menangkis pedang yang hampir mengenai mereka berdua.
Nara mundur beberapa langkah, mencoba melindungi dirinya dengan tongkat kayu yang ia temukan di dekat sana. Raze, meski tangguh, terlihat kewalahan menghadapi jumlah penyerang yang tidak seimbang. Gerakan bela dirinya yang luwes hanya cukup untuk menahan serangan beberapa orang, sementara yang lain mulai mengincar Nara.
Salah satu dari mereka nyaris menangkap Nara, tapi dia berhasil memukul tangan lawannya dengan tongkat. "Aku tidak akan diam aja!" seru Nara, meski jelas terlihat bahwa ia kehabisan tenaga.
Situasi menjadi genting saat sebuah tendangan dari salah satu penyerang membuat Raze terjatuh, dan pedang lain mengarah tepat ke Nara yang tak siap. Napas mereka tercekat, seperti waktu berhenti sesaat. Namun, tiba-tiba penyerang itu terhenti. Bukan hanya satu, tapi semuanya ikutan berhenti. Mereka berdiri mematung, lalu tanpa kata atau isyarat, mereka mundur satu per satu ke dalam bayang-bayang malam, seolah-olah sesuatu yang tak terlihat memerintahkan mereka untuk pergi.
Nara dan Raze hanya bisa saling berpandangan, terengah-engah sekaligus bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
"Kok mereka tiba-tiba kabur?" tanya Nara, suaranya serak. Ia masih memegang tongkat erat-erat, seakan takut musuh akan kembali menyerang. Raze menggeleng, "Aku tidak tahu... tapi ini tidak wajar. Ini pasti ulah Dewa Iblis penunggu hutan larangan."
"Jangan asal menuduh tanpa bukti, Pangeran. Dewa Iblis itu, tidak sejahat yang kau kira."
"Kau tahu darimana?"
,
.
Bersambung.