"Hiks ... El pengen mommy, hiks ... tapi El nda mau dipukul lagi mommy." ~Elbert Leon Wesley.
"Apakah aku bermimpi? Bagaimana bisa wanita itu dekat dengan Elbert? Apakah dia hanya ingin menarik perhatianku?" ~Alden Leon Wesley.
"Alden, aku tidak lagi mengharapkan cintamu. Tetapi, bisakah kau memberi Elbert figur seorang ayah? aku tidak akan mengganggumu dengan istri tercintamu itu. Namun, satu hal yang aku minta dari mu, tolong luangkan waktu untuk anakku. Anggaplah Ini permintaan ku sebagai seorang ibu," ~Arianha Amora Miller.
***
Menceritakan tentang Keisya Amora yang bertransmigrasi kedalam cerita novel yang semalam dia baca. Jiwanya memasuki tubuh
Arianha Amora, seorang Antagonis novel yang berperan sebagai ibu dari Elbert dan istri kedua dari Alden Leon Wesley.
Apakah Keisya mampu untuk menjadi figur seorang ibu yang baik untuk Elbert? dan mampukah Keisya membuat Alden mencintainya?
PERINGATAN !
BIJAKLAH DALAM MEMBACA CERITA! INI HANYA CERITA FIKSI BUKAN KENYATAAN, HANYA KHAYALAN DARI AUTHOR BUKAN BENERAN OK!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan kakak adik
Sesampainya mereka di restoran, Alden langsung membawa Amora masuk. Dia membawa keluarga kecilnya menemui adik Amora.
Netranya menatap pria yang tengah menjadi waiters di restoran tersebut. Dengan tangan kanan yang menggandeng Amora dan tangan kiri menggendong Elbert yang sudah terbangun, Alden membawa mereka menemui pria itu.
"Arsel," panggil Alden.
pria yang bernama Arsel menoleh, netranya membulat sempurna ketika melihat Amora. Bahkan catatan yang ia pegang jatuh dari tangannya.
"Kakak," lirih Arsel.
Amora tersenyum, dia melepaskan tangannya dari genggaman Alden. Kakinya melangkah mendekati sang adik.
"Apa kau tak merindukanku?" tanya Amora, bahkan saat ini Amora tak sanggup menahan air matanya.
Tanpa lama Arsel langsung memeluk tubuh kakaknya itu, bahkan Amora hampir ke dorong ke belakang jika saja Alden tak menahannya.
"Hiks ... Ar rindu kakak hiks ...," tangis Arsel pun pecah.
Amora mengelus punggung tegap sang adik, sesekali dirinya mengusap air matanya yang mengalir.
"Sudahlah, aku sudah ada disini. Sebaiknya kita duduk dulu." ajak Amora sambil melepas pelukan mereka, tangannya terulur untuk menghapus air mata yang berada di wajah tampan sang adik.
Mereka yang saat ini sudah menjadi pusat perhatian memutuskan untuk duduk di salah satu meja yang berada di dekat mereka.
Arsel menggenggam tangan kakaknya dan menyuruhnya untuk duduk di sampingnya, dia kembali memeluk Amora dengan manja.
"Kau kemana saja kak, apa kau tahu keluarga kita mencarimu," ucap Arsel.
Amora mengelus rambut pirang sang adik, rambut yang berbeda dengan dirinya yang berwarna coklat kemerahan.
"Ekhm, apa kalian tidak melihat kami?" ketus Alden.
Arsel melepaskan pelukannya, dia menatap tajam Alden. Arsel bangkit dan menarik kerah kemeja Alden tak peduli dengan adanya Elbert di pangkuan pria itu.
"Kau yang membawa kabur kakakku hah! apa kau tahu kami mencarinya!" sentak Arsel.
Alden hanya tersenyum, dia tak menaggapi ucapan Arsel. Sedangkan Amora sudah panik karena Elbert tepat berada di bawah tangan Arsel yang menarik Kerah Alden.
"Hiks ... huaaaaa,"
"Sudah kuduga," gumam Alden.
Arsel yang mendengar tangisan Elbert sontak melepaskan tangannya, pandangannya jatuh pada sosok anak kecil yang menangis. Bahkan muka bocah itu sudah sangat memerah.
"Hiks ... jangan hiks ... kacian daddy," ucap Elbert yang di selingi dengan tangisannya.
Arsel sontak membulatkan matanya, dia tak percaya bahwa anak itu menyebut Alden dengan daddy.
"Kak ... aku tak bermimpi kan? ka-kalian?" kaget Arsel. Netranya beralih menatap Amora dan Alden secra bergantian, dia menduduki dirinya dengan pandangan yang tak terbaca.
"Bagaimana bisa?" gumam Arsel.
Alden memutar bola matanya malas, dia heran mengapa Arsel menanyakan hal yang tak seharusnya di jawab.
"Bisalah! ada aku dan jadilah Elbert, gitu aja pake nanya," ketus Alden.
Arsel menatap tajam Alden, tangannya ingin sekali menonjok wajah sahabatnya yang kini sudah menjadi kakak iparnya.
"Kau! jadi selama ini kau yang menculik kakakku hah! apa jangan-jangan selama ini bang Deon juga tahu kalau selama ini kakakku bersamamu?" tanya Arsel.
Alden mengangguk dengan santai, dia masih serius menenangkan putranya. Sementara Amora tak mengerti arah pembicaraan mereka.
"Nanti dulu sesi jawabnya, kasian istri dan anak abang kelaparan." ucap Alden sambil mengode seorang waiters untuk menghampirinya.
Mereka akhirnya memesan makanan, Arsel hanya menanggapi pertanyaan Amora dengan deheman. Sedangkan Alden membujuk ELbert untuk berhenti nangis dengan membelikannya es krim.
Setelah mereka memesan makanan, waiters itupun pergi untuk menyiapkan pesanan mereka.
"Besok kita harus kembali ke Mansion Miller!" pinta Arsel.
Amora menatap Alden yang juga tengah menatapnya, Alden hanya diam menunggu jawaban dari sang istri.
Amora kembali menatap Arsel, dia mendapati raut kesedihan yang begitu mendalam ketika melihat mata sang adik.
"Aku tidak bisa," lirih Amora.
Arsel mencengkram lengan Amora dengan kasar, bahkan Alden langsung bangkit untuk mendekati istrinya yang disakiti oleh adik iparnya itu.
"Lepaskan bodoh! kau menyakiti istriku!" sentak Alden.
Amora meringis sakit, lengannya bahkan sampai memerah akibat cengkraman sang adik.
"Ma-maaf a-aku tak bermaksud menyakiti kakak," lirih Arsel. Tangannya terulur mengusap kemerahan bekas cengkeramannya.
Amora mengangguk, dia memaklumi kekesalan sang adik. Netranya menatap Alden untuk memberi tahukan bahwa dirinya tak apa.
"Jangan sakiti istriku, dia sedang hamil," ucap Alden. Dia kembali ke tempat duduknya semua yang berada di depan mereka.
Arsel menatap ke arah perut Amora yang memang terlihat sedikit membuncit, dia mengangkat lagi wajahnya untuk menatap Amora.
"Maaf, kakak tidak bisa ikut kembali denganmu. Saat ini kakak sudah memiliki keluarga, putra kakak butuh kedua orang tuanya." bujuk Amora sambil mengelus punggung tegap sang adik.
Arsel menatap Elbert yang juga tengah menatapnya dengan mata yang sembab akibat menangis tadi.
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Bang, aku mau gendong ponakan apa boleh?" tanya Arsel dengan penuh harap.
Alden mengangguk, dia bangkit dan menaruh Elbert di pangkuan Arsel. Bocah itu duduk bak patung yang tak bergerak, dia hanya diam tanpa pergerakan karena takut.
"Hei, mengapa kau diam?" panggil Arsel saat menyadari keponakannya yang diam tak bergerak.
Arsel membalikkan tubuh Elbert sehingga bocah itu kini berhadapan dengannya. Netranya menatap bocah itu dengan intens, sedangkan Elbert yang di tatap seperti itu melengkungkan bibirnya ke bawah.
"Jangan di ledek begitu Ar, nanti dia akan menangis," canda Amora.
Elbert menatap sang mommy untuk meminta pertolongan, sedangkan Amora hanya menatapnya dengan tersenyum.
"Kenapa wajahmu mirip sama Keluarga Wesley, kenapa kemiripan Keluarga Miller tak berada di wajahmu?" tanya Arsel dengan mengangkat satu alisnya.
Elbert tak mengerti, dia berusaha untuk mengeluarkan air matanya agar orang tuanya segera mengambilnya dari pria yang mengaku sebagai pamannya.
"Sudahlah, sini berikan Elbert padaku! makanannya sudah datang," pinta Alden.
Dengan terpaksa Arsel memberikan Elbert, dia menatap Waiters yang membawa makanan mereka.
"Risa, nanti kau bilangkan pada Morgan untuk menghandle resto sebentar," perintah Arsel pada perempuan bernama Risa.
"Baik pak," ucapnya. Setelah menaruh semua pesanan, Risa langsung pergi dari sana untuk menemui morgan sang manager Resto.
Amora mengerutkan keningnya, bukankah sang adik hanya seorang waiters? mengapa dia memerintahkan waiters lain?
"Kau bekerja sebagai waiters?" tanya Amora.
Arsel mengangguk, dia memberikan makanan yang dia pesankan untuk Amora. Kesukaan sang kakak yaitu Carbonara.
"Ya dan tidak," jawab Arsel dengan singkat.
Amora mengerutkan keningnya, dia tak mengerti dengan jawaban sang adik.
"Dia pemilik resto ini sayang, dan dia juga menyamar menjadi waiters agar keluargamu tidak mengetahuinya. Apa kau tahu? dia kabur dari kediaman Miller untuk mencarimu," jelas Alden.
Arsel menatap tajam Alden, kakak iparnya itu selalu membocorkan hal yang ia simpan.
"Apa?" kaget Amora.
"Maaf, mami dan papi akan menjodohkanku dengan wanita yang tak aku sukai. Mereka tak membiarkanku untuk mencarimu, aku sudah lelah hidup dengan aturan mereka. Lagi pun umurku masih 22 tahun kak." jawab Arsel seraya menatap sang kakak.
Amora terkejut mendengar penjelasan dari sang adik, dia menatap Alden yang tengah fokus menyuapi Elbert bubur.
"Mereka egois kak, apakah mereka masih mementingkan pernikahan? sementara kakak masih belum di temukan," ucap Arsel.
Amora kembali menatap sang adik, dia mengelus kepala sang adik untuk menenangkannya.
"Yasudah, kita makan dulu yah," ajak Amora.
Arsel mengangguk, dia memakan sarapannya dengan menu yang sama seperti sang kakak.
Amora menikmati makanannya dengan santai, di kehidupan aslinya pun dia sangat menyukai carbonara.
Sesudah mereka makan, Alden mengajak Amora untuk pulang. Namun, Arsel menghentikan mereka.
"Kalau aku tidak salah ingat, kau sudah menikah dengan Luna kan? lalu ... mengapa kau bisa menikahi kakakku? apa tujuanmu untuk menikahinya serta membawanya kabur dari keluarga kandungnya," tanya Arsel dengan menatap tajam Alden.
Alden menyerahkan Elbert yang sedang memakan es krimnya kepada Amora, dia mendekati Arsel yang berada di depannya.
"Jawabannya cukup simple, Amora tengah mengandung keturunan Wesley. Untuk itu aku berhak atas anakku dan menikahi kakakmu," jawab Alden.
Arsel mengerutkan keningnya, dia bangkit dari duduknya untuk menyesuaikan tinggi mereka.
"Kenapa kau tak melepaskan Luna? mengapa kau jadikan kakakku yang kedua? jika aku tahu dari awal bahwa kau adalah pria yang selama ini keluargaku cari, maka aku akan memisahkan kakakku darimu!" sentak Arsel.
Alden terkekeh, dia menepuk bahu Arsel dengan pelan.
"Tunggulah, suatu saat kau akan tahu kebenarannya. Baiklah, sayang ayo kita pulang," ajak Alden.
Amora beranjak dari duduknya, dia menyerahkan Elbert agar di gendong oleh Alden.
"Dek, kakak pamit pulang yah ... kapan-kapan kita bertemu lagi," ucap Amora sambil memeluk sang adik.
Arsel membalas pelukan kakaknya tak kalah erat, dia sangat menyayangi kakak perempuan satu-satunya ini.
"Kakak hati-hati yah, jika bang Al nyakitin kakak bilang pada Arsel. Arsel akan bawa kakak jauh dari orang macam dia," ujar Arsel.
Amora terkekeh, dia melepaskan pelukan mereka dan beralih menatap Alden yang sedang menahan kesal.
"Jaga dirimu baik-baik, jika masalah kakak iparmu sudah selesai ... kami akan menemui keluarga besar Miller," ujar Amora. Dia menyadari bahwa nama keluarganya adalah Miller saat Arsel bicara tadi, sehingga dia rak membuat Arsel mencurigai dirinya yang tak tahu apapun tentang keluarganya.
Arsel mengangguk, dia mengantarkan mereka sampai ke mobil. Dengan tak rela, Arsel harus melihat sang kakak yang pergi dari hadapannya.
Mobil mereka pun berjalan meninggalkan Arsel yang sibuk dengan pemikirannya.
"Hah, mengapa Alden bodoh itu menikahi Luna yang jelas-jelas adalah dalang dari kasus adiknya? apakah dia mencintai kakakku? dari yang kulihat dari tatapannya saat menatap kak Amora, aku melihat ada cinta ... Namun, juga keraguan," gumam Arsel.