Dijebak Di Malam Pengantin
Bab 1
Grep !!!
Aura terbangun, kelopak matanya terasa sulit dibuka, seakan ada beban yang menimpa, namun sekuat tenaga dia berusaha melebarkan pandangan saat itu juga.
Merasa ada yang janggal pada dirinya, spontan Aura pun menyibak selimutnya.
Sret !!!
Seketika itu juga, mata Aura terbelalak dengan tubuh yang tiba-tiba menegak.
Lalu, di detik yang sama kucuran airmatanya tidak dapat terbendung bagai air bah yang meluap.
Tidak, ini semua tidak mungkin. Apa yang terjadi? Selama hidupnya, Aura tidak pernah terbangun dalam keadaan seperti ini.
Dan lagi, Aura tidak tahu dimana dia sekarang. Kamar ini terasa asing baginya?!
Sontak gadis itu menoleh kesamping, dimana dia mendengar suara dengkuran halus seseorang yang tengah terlelap disebelahnya.
Bola mata Aura nyaris melompat keluar dari rongganya, tatkala dia sudah menyadari siapa sosok itu. Rayyan. Dia adalah anak dari Asisten Rumah Tangga yang beberapa hari lalu datang untuk membantu Bi Dima di kediamannya.
Astaga ... Aura mengusap air matanya dengan kasar. Dia lantas menyorot dan memindai sekeliling dengan lebih teliti. Sepertinya kini dia memang sedang berada di kamar Rayyan–yang letaknya di Paviliun belakang.
Kini, kepala Aura rasanya sangat nyeri. Dia mencoba mengingat kejadian semalam, namun sulit. Yang dia pikirkan sekarang adalah dirinya sendiri. Dirinya yang sudah dalam keadaan tak berbusana saat terbangun dan dalam kondisi tidak tau apapun mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi.
Disaat yang sama, pemuda yang sejak tadi lelap di samping Aura, perlahan mengerjapkan mata berkat cahaya yang masuk lewat kisi-kisi jendela. Indera pendengarannya juga menangkap pergerakan lain dan sayup-sayup isak lirih disana.
"Aura ..."
Suara lelaki itu terdengar berat saat menyadari ada Aura di dalam kamarnya.
Tatapan terkejut terpancar dari bola mata Rayyan, sebab Aura bukan hanya berada di dalam kamarnya, tetapi juga di atas ranjang yang sama dengannya. Belum lagi karena gadis itu tampak terus menangis dengan wajah sembab dan menyelubungi seluruh tubuh dengan selimut.
Rayyan menegak. Namun, sepersekian detik berikutnya dia justru memegang pelipis sebab merasakan pening yang luar biasa menghantam kepalanya.
Aura tidak menggubris panggilan Rayyan. Dia ingin bergerak keluar dari ruangan tanpa kata-kata.
Aura bangkit, memunguti baju-bajunya yang terserak sembarangan di lantai kamar, mengenakannya dengan isak tangis yang berderai.
Aura membelakangi Rayyan dan mencoba berpakaian secara sembunyi-sembunyi dengan menggunakan selimut. Meski kini dia tau jika tubuhnya ini pasti sudah terekspos jelas oleh mata Rayyan–semalam. Entahlah, Aura tak mau membayangkan hal itu, sebab itu hanya akan membuatnya semakin merutuk diri dan akan membenci Rayyan?
Setelah berpakaian lengkap, Aura berderap dan melesat menuju pintu untuk segera berlalu. Hanya saja, suara Rayyan kembali menahan kepergiannya.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Ra?"
Aura yang masih menangis dengan bahu berguncang, tidak kunjung berbalik untuk menyahut pertanyaan lelaki itu. Badan Aura mematung, kakinya seperti dipaku disana.
Sampai akhirnya, pemuda itu kembali bersuara untuk menanyakan Aura.
"Ra, apa aku udah berbuat sesuatu hal yang kurang ajar sama kamu?" Rayyan sedang menerka keadaan yang terjadi saat ini.
"...."
"Jawab, Ra! Aku gak tau–"
"Bukankah seharusnya kamu yang paling tau mengenai apa yang udah kamu perbuat?" sela Aura tiba-tiba, jawabannya sontak mengejutkan Rayyan dalam posisinya.
"Aku–"
"Kamu tau seharusnya aku gak pernah berada di kamar kamu, kan? Kenapa, Ray? Harusnya aku yang nanya sama kamu, apa yang udah terjadi, bukan sebaliknya!" tukas Aura menohok, tangisnya pecah berhamburan. Perasaannya terasa remuk. Hatinya pun seakan berderak patah. Nyeri dan sakit disaat yang bersamaan.
Haruskah kini Aura menyalahkan Rayyan? Ya, siapa lagi yang paling bersalah disini jika bukan pemuda itu? Sebab Aura sendiri tidak mengerti kenapa keadaannya bisa begini.
"Ra, maafin aku. Aku gak tau apapun. Aku gak mengingat apapun soal semalam, jadi---"
"Aku udah nebak kamu bakal jawab begini." Lagi-lagi Aura memotong ucapan Rayyan. "Jadi ... apapun yang kamu ingat soal semalam, lupakan! Jangan pernah mengungkitnya lagi. Anggap ini semua gak pernah terjadi," katanya menekankan.
Dengan tangan gemetar, Aura menekan knop pintu dan keluar dari kamar berukuran 3x3 meter itu. Aura tau, masalah besar sudah menantinya di luar sana.
Kini, Aura harus menghadapinya. Terutama soal banyaknya pertanyaan yang akan diberikan kepadanya–tanpa mau tau–betapa sakit dan terpukulnya dia saat ini.
Aura ingin meninggalkan kawasan paviliun itu dengan kepala yang tegak dan langkah jenjang seperti biasanya. Tapi, sekali lagi dia harus menahan sesak tatkala merasakan nyeri di pangkal pahanya.
Ini bukan mimpi. Aura sudah ternodai bahkan tidak tau bagaimana kilas balik kejadian yang menyebabkan semua ini terjadi. Bagaimana bisa, dia tidak sadar jika kehormatannya sudah diambil dan terenggut?
Rasanya, Aura ingin bersembunyi di tempat yang tidak dapat ditemukan oleh orang lain. Dia tidak punya muka lagi untuk ditunjukkan pada khalayak. Dia merasa kotor dan tidak berarti lagi.
Aura berjalan dengan pelan, meringis, dia tidak tau seperti apa Rayyan memperlakukannya semalam. Ini benar-benar terasa perih dan membuatnya harus menahan sakit.
Alih-alih memikirkan Jeno–sang calon suami–Aura lebih memikirkan perasaan orang tuanya sekarang.
Bicara soal Jeno, dia adalah anak dari Om Beno dan Tante Jenifer yang dijodohkan kepadanya.
Aura dan Jeno saling mengenal sejak kecil, perilaku Jeno juga baik, itulah yang membuat kedua orangtua mereka sepakat untuk menjodohkan mereka.
Dan hari ini, seharusnya mereka sudah bersama sebagai suami istri, tapi kenapa? Kenapa Aura malah terbangun di kamar Rayyan? Apa yang terjadi?
"Non Aura?"
Itu adalah suara Bi Dima yang menyapa kehadirannya–sebab wanita paruh baya itu memang sedang membersihkan beranda belakang rumah.
Aura memaksakan untuk tersenyum, dia ingin semuanya terlihat baik-baik saja meski sebenarnya dia sadar jika keadaan telah kacau karena dia yang entah kemana semalaman dan justru berakhir bersama Rayyan.
"Bu! Pak! ini Non Aura udah pulang!"
Mendengar seruan Bi Dima, salah seorang dari dalam tampak keluar rumah dengan tergopoh-gopoh. Papa Sky–Ayah Aura–langsung menghampiri putrinya dengan tatapan khawatir.
"Aura?"
"Papa ..."
Tiba-tiba saja Aura memeluk sang Papa dan menangis dalam dekapan cinta pertamanya itu. Aura tau, Papanya tidak akan pernah bertanya kemana dia semalam dan kenapa dia meninggalkan acara pernikahan? Tapi, Papanya selalu menanyakan ...
"Kamu baik-baik aja kan, Sayang?"
Sebenarnya Aura ingin mengatakan yang sejujurnya pada sang Ayah jika dunianya telah runtuh. Hancur lebur. Kesucian yang telah dia jaga selama hidupnya sudah hilang terenggut dan itu karena ulah Rayyan.
Akan tetapi, Aura tidak kuasa mengungkapkannya karena dia sendiri bingung harus memulainya dari mana. Belum lagi karena dia tidak mengingat satu apapun yang terjadi.
Akhirnya, Aura memilih bungkam dan hanya menangis tersengguk-sengguk di pelukan sang Ayah.
"Oke, kita masuk dulu. Papa gak akan maksa kamu cerita kalau kamu gak mau. Yang terpenting sekarang, kamu udah kembali ke rumah. Semuanya akan baik-baik aja. All is well, right?"
Aura mengangguk, saat dia melerai pelukan, dia baru sadar bahwa ada beberapa pasang mata yang juga memandangnya dengan lekat, seolah memang sedang menunggu kepulangannya pagi ini.
"Kak?"
Aura menggeleng pada Rion--adik bungsunya--yang mencoba menanyakan ada apa? Tapi, isyarat yang diberikan Aura itu cukup dimengerti oleh Rion, sehingga dia tidak melanjutkan pertanyaannya.
Disana juga ada Cean–saudara kembarnya–yang menatapnya dengan sorot ingin tahu. Biasanya, Cean selalu bisa memahaminya dan mengerti jika sesuatu telah terjadi padanya.
Dengan perlahan, Aura mengikuti langkah sang Papa yang mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah.
Disaat yang bersamaan, Aura kembali menahan nyeri yang dirasakan, tapi dia tetap berusaha bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
Akan tetapi, tidak ada yang mengenal Aura lebih dekat ketimbang sang Mama–Yara–wanita paruh baya itu memperhatikan pergerakan dan gelagat putrinya yang baru saja pulang setelah menghilang di malam pernikahannya kemarin.
Firasat Mama Yara yang sudah tak enak sejak Aura menghilang, kini semakin yakin jika sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Apalagi, sang putri pulang dalam keadaan wajah yang sembab kemudian lanjut menangis di dada bidang Ayahnya.
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah, Papa Sky meminta Aura untuk membersihkan diri dan setelahnya mereka akan berbicara di ruang kerjanya.
Tapi, Mama Yara menggeleng tak setuju dengan usul suaminya. Wanita itu mempunyai pemikiran sendiri. Mama Yara mau bicara dengan Aura secara empat mata di kamar gadis itu, tidak ada Sky dan tidak ada kedua saudara Aura–Cean dan Rion–tidak, kecuali mereka berdua.
Papa Sky memahami maksud sang istri dan akhirnya sepakat untuk mengikuti cara Mama Yara saja. Mungkin Aura memang akan lebih terbuka pada wanita yang melahirkannya itu.
Selesai Aura mandi, Mama Yara sudah duduk di kamar gadis itu. Menunggunya.
"Aura, sini, Sayang ..." Mama Yara menepuk-nepuk sisi tempat tidur yang tengah dia duduki.
Tanpa menanyakan lebih lanjut, gadis itu sendiri yang langsung memulai untuk membuka mulutnya dan menceritakan segalanya, padahal tadinya Aura mau menyimpan aib ini rapat-rapat, dia juga sudah meminta Rayyan melupakan segalanya, kan?
Akan tetapi, sepertinya Aura tak bisa membohongi sang Mama. Mamanya paling tau mengenainya, apalagi sudah jelas-jelas melihatnya menangis saat memasuki rumah tadi.
Pada akhirnya, Aura menyerah sebab cepat atau lambat, serta bagaimana pun dia menyembunyikan kenyataan, fakta ini akan segera diungkap oleh keluarganya.
"Aura enggak ingat apa yang terjadi, Ma. Tapi, Aura merasakan dan yakin kalau sesuatu udah terjadi antara Aura sama Rayyan."
...Bersambung ......
...Visual Aura...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Rawin Usman
semangat kak...
2023-10-04
1
Miskini Wihartati
mulai baca asiiik
2023-09-24
1
Dwi apri
absen
2023-06-20
1