Kusuma Pawening, gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA itu tiba-tiba harus menjadi seorang istri pria dewasa yang dingin dan arogan. Seno Ardiguna.
Semua itu terjadi lantaran harus menggantikan kakanya yang gagal menikah akibat sudah berbadan dua.
"Om, yakin tidak tertarik padaku?"
"Jangan coba-coba menggodaku, dasar bocah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Sebelumnya Seno menyambar handuk kering untuk mengganti handuk istrinya yang basah. Wening nampak pasrah ketika suaminya menggendongnya ke ranjang. Gadis itu mendesis kesakitan bahkan sampai tak begitu peduli sedari tadi Seno memperhatikan tubuhnya yang setengah polos.
Pria itu membaringkan perlahan, lalu menutupi tubuh istrinya agar tidak memanjakan matanya. Pria itu beranjak tanpa kata. Menuju kamarnya untuk memakai baju yang sebelumnya sama-sama setengah polos dengan bawahan basah.
Usai membalut tubuhnya dengan pakaian lengkap nan santai, pria itu kembali ke kamar Wening menjenguk istrinya yang jelas masih belum beranjak. Pria itu lebih dulu mendekati lemari, mengambil pakaian istrinya.
"Pakai baju dulu, nanti masuk angin," ujar pria itu cukup perhatian.
Wening mengambil pakaian yang baru saja ditaruh suaminya beberapa detik lalu di samping dirinya. Tepatnya di atas kasur sebelah kakinya.
"Om keluar dulu, aku nggak bisa jalan buat ganti di tempat lain," usir gadis itu bingung. Tidak mungkin juga harus memakai pakaian di depan Seno.
Pria itu nampak beranjak dari sana, ke luar kamar memberi ruang. Karena malam ini sudah pasti bisa dinyatakan gagal makan malam di luar, Seno memilih memesan makanan saja.
Sedikit inisiatif membuat susu hangat untuk Wening yang saat ini masih terlihat shock. Mungkin dirinya tadi keterlaluan, dan benar-benar membuatnya takut. Pria itu juga meminta pendapat pada Wahyu dan asistennya itu menyarankan memanggil tukang urut profesional.
Kaki yang terkilir akan mudah sembuh bila ditangani ahlinya. Tentunya saran itu diterima Seno dengan baik. Takut juga istrinya kenapa-napa, mengingat tadi sempat nangis juga sepertinya sakit luar biasa kala tak sengaja pria itu menyentuh ankel kakinya.
Seno kembali ke kamar dengan membawa segelas susu hangat. Wening sendiri sudah rapih dengan pakaian tidur pilihan suaminya yang nampak sedikit terbuka. Selera orang dewasa memang berbeda. Sayangnya perempuan itu tak bisa protes, untung saja tidak dicuekin mengingat tadi pria itu terlihat begitu marah.
"Susunya Ning, minum dulu selagi hangat," ujar pria itu tersenyum.
"Makasih Om, maaf yang tadi, Wening nggak ada maksud," kata gadis itu soal tamparan tadi.
Sungguh Wening hanya takut saja dan refleks itu pertahanan diri. Walaupun ia sadar, seharusnya tidak bersikap demikian mengingat dirinya adalah seorang istri dan seharusnya Seno halal menyentuhnya. Gadis itu belum siap, dan benar-benar merasa takut.
Seno terdiam mengamati gadis itu dengan begitu lekat. Membuat Wening mendadak grogi dan cukup waspada.
"Ini akibatnya kalau nggak nurut, coba tadi diem, nurut, mungkin nggak berakhir gini," ucap Seno sedikit kesal. Namun, ia juga menyadari mungkin terlalu berlebihan.
"Maaf," sesal Wening menunduk. Nampaknya ia tidak berani menyela ataupun protes. Dirinya bahkan untuk berjalan saja dipertanyakan.
"Aww ....!" keluh perempuan itu sok soan turun dari ranjang. Niatnya hendak mengambil ponsel tanpa merepotkan pria di yang tengah duduk di sampingnya. Namun, ia malah bonus tatapan tajam memperingatkan.
"Mau ke mana? Nggak bisa ngomong, apa-apa mau sendiri?" tanya Seno tak habis pikir.
"Ambil handphone, Om, kamunya cemberut mulu, aku nggak nyaman," ujar Wening jujur.
Seno terdengar mencebik sambil beranjak. Menaruh ponsel itu tepat di atas pangkuannya.
"Susunya minum dulu, buru dingin!" peringatnya gemas.
Wening langsung beralih menatap gelas di atas nakas. Tangannya terulur mengambilnya. Lekas meminum hingga separonya. Pergerakan itu tak luput dari tatapan jeli nan dingin Seno.
Mendengar bel rumahnya berbunyi, buru-buru pria itu keluar dari kamar istrinya. Wahyu dan seseorang yang diduga tukang urut profesional yang datang.
"Masuk," ujar pria itu berwibawa seperti biasa.
"Dek Weningnya di kamar yang mana?" tanya Wahyu memastikan.
Seno menatap tajam asistennya yang belum merubah panggilan sopan untuk istri kecilnya.
"Maaf, Bos, ini tuh panggilan yang lebih tua ke yang lebih muda di kampung sana. Jadi, tidak ada unsur romantis terselubung," ralat Wahyu yang sepertinya langsung tahu maksud dari tatapan tak ramah atasannya itu.
"Tetep aja nggak suka, kalau panggilnya gitu lagi, saya pangkas gaji kamu!" ujarnya dengan nada tegas.
"Waduh ... ngeri bener Boss, oke baiklah, apa saya harus memanggil istri big boss?"
"Terserah, kurasa panggilan itu akan membuat istriku tidak nyaman, panggil dengan sebutan yang sopan, tidak usah bernada perhatian. Hanya saya yang boleh begitu, paham!"
"Siap Boss!" jawab Wahyu cukup tenang.
Pria itu mengekor Seno ke kamar lainnya, membuatnya bertanya-tanya dengan senyum menggoda.
"Boss, kok kamarnya beda? Lagi marahan ya?" tanya Wahyu sepertinya bosan hidup.
"Kamu mau saya pecat!"
"Hehehe. Serem amad! Konfirmasi," ujarnya selalu kalem.
Kedua pria yang terikat partner dalam pekerjaan itu memang selalu absurd. Kadang terlihat banyak omelan, namun tak cukup membuatnya jera. Keduanya terlihat akur dan akrab kembali. Wahyu yang sudah lama bekerja, sudah dianggap layaknya saudara dan teman. Umurnya yang satu tahun lebih muda darinya, membuat keduanya akrab satu sama lain. Apalagi di luar jam kerja, hampir tak pernah menggunakan bahasa formal.
Pria itu berdiri mengamati istrinya yang tengah diperiksa. Nampaknya Wening merasakan sakit kala perempuan seusia ibunya itu mulai membalur dengan minyak dan memijit lembut.
"Adududu ... sakit ....!" desis gadis itu mengaduh.
"Ini titik yang kena, tahan sedikit Dek, akan terasa sakit luar biasa, tapi sebentar pasti lebih baik."
"Bu, pelan-pelan saja. Saya takut," ujar Wening cemas. Ibu tukang pijet tersenyum lembut sambil mengangguk.
Seno yang tadinya berdiri langsung mendekat. Pria itu menenangkan istrinya yang ragu-ragu.
"Nggak pa-pa, biar sembuh. Kalau nggak mau besok aku bawa ke dokter, tambah lama, sampai memar," ujarnya menenangkan.
"Tapi sakit banget," keluhnya benar-benar nyata.
"Nggak pa-pa Bu, lanjut aja!" titah Seno mendapati tukang urut itu menjeda aktivitasnya sejenak.
Untuk pertama kalinya, Seno yang biasanya ambis itu terlihat begitu dewasa dan lembut. Bahkan meraih bahu Wening untuk bersandar ke dadanya. Memberi kekuatan saat gadis itu merasa benar-benar sakit.
"Sakit ... Mas ....!" rintih gadis itu mengigit dada Seno sebagai tumpuan rasa sakit atas kejut kakinya yang tengah diurut. Hingga membuat pria itu menahan napas dalam, kalau tidak emergency sudah pasti pria itu mengamuk. Sayangnya ia justru membiarkan sambil mengelus mahkotanya menenangkan.
"Nggak pa-pa, sakitnya udah pindah ke aku. Duh ....!" desis pria itu merasakan panas di dadanya. Gigi runcingnya sampai tembus ke kulit memberikan tanda luar biasa.
"Om, maaf, aku nggak sengaja," sesal Wening baru menyadari tindakannya yang cukup langka itu.
"Nggak pa-pa, kok panggilannya berubah lagi, tadi lebih enak di dengar," ujarnya mengerling. Menyembunyikan rasa sakit dan panas yang sepertinya benar-benar membekas gigitannya.
"Nanti aku bales di dada kamu ya?" ujarnya tersenyum penuh arti.
"Eh!"