Suatu kesalahan besar telah membuat Kara terusir dari keluarga. Bersama bayi yang ia kandung, Kara dan kekasih menjalani hidup sulit menjadi sepasang suami istri baru di umur muda. Hidup sederhana, bahkan sulit dengan jiwa muda mereka membuat rumah tangga Kara goyah. Tidak ada yang bisa dilakukan, sebagai istri, Kara ingin kehidupan mereka naik derajat. Selama sepuluh tahun merantau di negeri tetangga, hidup yang diimpikan terwujud, tetapi pulangnya malah mendapat sebuah kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Cinta Dia
"Ted, kamu di mana? Aku lupa memberitahumu. Kara sudah pulang," kata Ilmi dari balik telepon.
"Kara istri Elno?" sahut Tedy.
"Memangnya siapa lagi kalau bukan dia."
Dari sana Ilmi mendengar suara tawa Tedy. Dikasih bahan gosip malah tertawa. Ilmi memang ingin memberitahu sebab sangat menyenangkan bisa menggoda Elno.
"Kara bersamaku," kata Tedy.
"Apa?" tanya Ilmi tidak percaya.
"Aku tutup dulu. Sibuk, nih, jadi sandaran istri teraniaya," kata Tedy sembari tertawa.
Ilmi mengumpat saat Tedy telah memutus sambungan teleponnya. Rupanya sahabatnya satu ini malah sudah bertemu Kara dan tengah bersama lagi.
"Gila, ya, Tedy. Dia main terobos saja. Aku yang sudah tau Kara datang malah belum ketemu sama dia," gumam Ilmi. "Enggak bisa, nih. Harus bagi tau Elno."
Ilmi segera pergi dari kantin. Ketika ia mencapai ruangan Elno, sahabatnya itu tidak ada di tempat. Elno tengah dipanggil atasan dan Ilmi harus mengurungkan niat karena waktu istirahat sudah usai.
Di lain sisi, Tedy tengah mengajari Kara cara mengendarai mobil. Keduanya tengah berada di jalan sepi dekat taman mini. Tedy menjelaskan langkah menyetir mobil matic.
"Pastikan tuasnya benar dan jangan hidupkan mesin dulu sebelum jarum indikatornya nyala," kata Tedy.
"Sebenarnya aku sudah tau caranya. Cuma takut saja buat ke jalan raya. Waktu di Hongkong majikanku memang menyuruhku untuk belajar," tutur Kara.
"Nah, ngapain belajar lagi kalau sudah bisa."
"Kan, aku bilang takut buat mengendarainya. Kalau di taman atau di jalan sepi aku bisa. Nah, di jalan raya itu yang bikin takut."
"Kita ke jalan raya kalau begitu. Pelan-pelan saja kamu mengendarainya," ucap Tedy.
"Kita jalan ke mal saja," kata Kara.
"Boleh, deh."
Perjalanan yang memakan waktu sekitar setengah jam menjadi satu jam lebih sebab Kara mengendarai mobil dengan sangat hati-hati. Belum lagi tindakan takutnya yang membuat kendaraan roda empat itu harus dihentikan di pinggir jalan.
"Akhirnya sampai juga. Memang pantes kamu jadi dosen, Ted. Sabar dalam mengajari murid," ucap Kara memuji.
"Jantungku hampir mau copot. Pinggangku sakit. Enggak lagi, deh. Cukup sekali saja aku mengajarimu," kata Tedy.
Kara tertawa. "Kita masuk, yuk. Aku traktir kamu makan."
Keduanya keluar mobil, lalu masuk dan berjalan dulu ke restoran. Di sana Kara tidak menyangka bisa bertemu teman satu sekolahnya yang menjadi pelayan.
"Delia!" tegur Kara.
"Hai! Sudah lama enggak lihat kamu."
"Kerja di sini?"
"Iyalah. Kamu enggak lihat bajuku ini. Kalian mau pesan apa?" tanya Delia.
"Aku yang ini saja. Ayam belur sama jus jeruk," kata Tedy sembari menunjuk buku menu.
"Kebetulan, Del. Kita duduk dulu ngobrol," ajak Kara.
Delia melihat jam di pergelangan tangannya. "Sepuluh menit lagi giliranku istirahat. Kalian tunggu aku, ya. Tapi traktir makan."
"Beres," sahut Kara.
Delia pergi setelah mencatat pesanan Kara dan Elno. Ia juga turut memesan sebab akan bergabung bersama mereka.
"Ngapain kamu ajakin dia?" tanya Tedy.
"Kenapa memangnya?"
"Bukannya di sekolah, tuh, cewek biang gosip."
Kara tertawa. "Aku lebih suka Delia yang asal saja mulutnya. Daripada diam, tapi menghanyutkan."
Pesanan datang bersama dengan Delia yang mendapat giliran istirahat. Kara tidak menduga perubahan dari Delia. Wajahnya terlihat lebih tua dari umur sebenarnya.
"Kamu awet muda, ya, Kara," ucap Delia.
"Biasa saja, kok. Tapi memang aku merasa begitu, sih," kelakar Kara. "Bagaimana denganmu? Sudah lama tidak ada kabar."
"Begini saja. Anakku dua dan suamiku kerja serabutan."
"Kamu punya kontak teman sekolah kita? Sudah lama aku enggak menghubungi mereka," kata Kara.
"Bagi nomormu. Biar aku masukin grup obrolan."
"Oh, kamu adminnya?"
Delia mengangguk. "Iya, aku yang buat. Oh, ya, madumu sudah kutendang dari grup."
Kara membelalak mendengar hal itu. "Kamu tau Sari menikah dengan Elno?"
"Taulah. Kan, dia ada mengundang beberapa teman sekolah kita saat menikah."
"Gosip menyebar dengan cepat rupanya," sela Tedy.
"Nasib Kara memang buruk," sahut Delia.
Kara maklum akan perkataan Delia. Mulutnya memang berbisa. Ia tidak menghiraukan wanita itu menyumpah Sari. Kara tetap makan makanannya dengan tenang.
Kara tidak sadar jika hari sudah gelap. Ia asik menghabiskan waktu bersama Tedy. Dari belanja sepatu, gaun dan menonton film. Kara juga tidak mengangkat telepon serta membalas pesan dari suaminya.
"Langsung pulang, nih?" tanya Tedy.
"Iyalah, sudah jam tujuh malam."
"Takut sama Elno? Tenang, nanti aku kasih tau dia kalau kita jalan bareng."
"Aku cuma enggak bilang ke dia kita jalan bareng," kata Kara.
Rasa bersalah itu ada. Kara tidak mengabari Elno dan pasti suaminya itu khawatir. Kara menatap kembali ponsel yang berdering, tetapi ia enggan untuk mengangkatnya.
"Angkat saja," kata Tedy.
"Sudah mau sampai. Biar nanti aku bicara padanya."
Mobil melambat ketika hendak sampai di muka rumah Kara. Tidak disangka Elno tengah berdiri di depan rumah. Tedy menghentikan mesin, lalu keluar. Begitu juga Kara yang merasa tidak enak pulang telat.
"Hai, El!" sapa Tedy.
"Tedy, Kara, kalian kenapa bisa bersama?"
Elno langsung menarik istrinya menjauh dari Tedy. Ia juga mengambil belanjaan Kara dari tangan sahabatnya.
"Oh, tadi enggak sengaja ketemu. Kamu enggak bilang kalau Kara sudah pulang. Padahal mau minta oleh-oleh," kata Tedy.
"Aku lupa. Mampir dulu?" tawar Elno.
"Enggak usah. Lain kali saja."
Tedy berpamitan pulang pada keduanya. Raut wajah Elno mengharapkan dirinya lekas pergi meski perkataan sahabatnya mengundangnya untuk bertamu.
Elno lekas membawa Kara masuk setelah Tedy berlalu dari depan rumah mereka. Diamnya Elno membuat Kara tahu jika suaminya tengah marah saat ini.
Pintu kamar dibuka. Keduanya masuk dan Elno menutupnya rapat. Belanjaan Kara dilemparkan ke atas sofa yang membuat isi di dalamnya keluar.
"Puas habis senang-senang di luar sana?" tanya Elno.
"Hanya ke mal saja. Aku cuma nonton," jawab Kara.
"Beritahu aku, Kara. Apa maumu? Jangan begini terhadapku."
"Aku hanya nonton dan belanja, El. Bukan selingkuh. Tedy juga temanku. Kita sudah lama saling mengenal, kan?" tutur Kara.
"Aku tau kamu, Kara! Kamu enggak akan pernah dekat dengan teman pria. Jika kamu memintaku menceraikan Sari, itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak punya alasan untuk menceraikannya," ucap Elno.
"Bagaimana denganku? Apa kamu punya alasannya?"
Elno tersentak mendengarnya. "Sampai mati kita tidak akan pernah berpisah."
"Jika kamu mencintaiku, ceraikan Sari. Ada atau tidak alasannya, aku ingin kamu berpisah darinya. Kamu cuma punya dua pilihan. Kara atau Sari. Aku atau dia!"
"Kara!" bentak Elno.
"Apa?" tantang Kara. "Kamu tidak punya pilihan, kan? Kamu mencintai Sari, kan?"
"Ya!" jawab Elno. "Aku memang mencintainya."
Bersama selama dua tahun memungkinkan benih cinta itu tumbuh. Kara sudah menduganya dan inilah kenyataannya. Cinta Elno terbagi dua.
Bersambung
penuh makna
banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari cerita ini.
sampai termehek-mehek bacanya
😭😭😭😭🥰🥰🥰
ya Tuhan.
sakitnya