“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Fio akhirnya tertidur di pelukan Darrel. Nafasnya pelan, tersengal di antara sisa isakan yang belum benar-benar reda. Darrel membenarkan posisi tubuhnya, menyelimutinya dengan lembut, lalu menatap wajah Fio lama sekali... wajah yang tenang tapi masih menyimpan bekas air mata di pipi.
Setelah memastikan Fio benar-benar tertidur, Darrel perlahan bangkit, menutup pintu kamar dengan hati-hati, dan turun ke bawah. Suasana rumah masih sunyi, hanya terdengar suara detik jam dinding dan aroma teh hangat dari dapur.
Bu Rania sedang duduk di ruang makan dengan wajah cemas, sementara Pak Rendra tampak berdiri di dekat jendela, memegang ponselnya.
“Bagaimana Fio, Rel?” tanya keduanya hampir bersamaan, suara mereka dipenuhi kekhawatiran.
Darrel menarik napas panjang sebelum menjawab. “Dia udah tidur, tapi… kondisinya belum tenang.”
Pak Rendra berbalik menatapnya. “Papa juga gak ke kantor hari ini. Papa gak bisa tenang dengar Fio hilang semalam.”
Darrel menunduk, menyandarkan tubuh di kursi. “Kayaknya ada yang nyamperin dia di kampus. Namanya Lira… itu yang dia sebut waktu ngigau dan marah. Dari ceritanya, sepertinya orang itu yang membuat Fio hancvr.”
Bu Rania menatap suaminya, lalu menatap Darrel lagi. “Lira?” ulangnya pelan, seolah mencoba mengingat.
“Iya, Ma. Dia seperti marah banget sama yang namanya Lira itu. Fio sampai bilang dia rebut ayahnya, rebut bahan skripsinya juga.” Darrel berbicara pelan, tapi sorot matanya dalam, masih menyisakan rasa frustasi.
Pak Rendra mengangguk perlahan. “Biar asisten papa yang cari jejaknya. Tadi papa juga sudah menyuruh dia untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita harus tahu, kenapa Fio bisa sampai separah itu.”
“Terima kasih, Pa,” ucap Darrel pelan.
Bu Rania mendekat, menggenggam tangan menantunya dengan lembut. “Sayangi Fio, Rel. Jangan disakiti. Lihat betapa dia terlukanya… dia cuma butuh tempat aman buat pulih.”
Darrel mengangguk perlahan. “Iya, Ma. Aku gak akan meninggalkan dia.”
Pak Rendra tiba-tiba tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana yang terlalu tegang. “Papa juga tahu, Darrel pasti sayang, Ma. Anak kita cuma luarnya aja yang kaku. Dalemnya, lembut seperti puding.”
Bu Rania spontan menepuk lengan suaminya, tapi Darrel hanya menggeleng pelan, akhirnya tersenyum kecil juga. Untuk pertama kalinya hari ini, suasana rumah sedikit terasa hangat... walau masih dibalut kekhawatiran.
***
Sore harinya, cahaya matahari menembus tirai kamar dengan lembut, menyoroti wajah Fio yang masih murung di tepi ranjang. Pandangannya kosong ke arah jendela, sesekali jemarinya memainkan ujung selimut tanpa sadar.
Darrel sudah memperhatikannya dari tadi. Sejak pagi, Fio tidak keluar kamar, tidak bicara, bahkan menolak makan siang. Akhirnya, ia mendekat dan duduk di tepi ranjang.
“Udah cukup diamnya, ayo keluar,” ucap Darrel pelan namun tegas.
Fio menggeleng tanpa menoleh. “Males.”
Darrel menarik napas, lalu berdiri. “Gak bisa. Kamu butuh udara.”
“Udara kan bisa dari jendela, Tuan.” Suaranya datar, seolah tanpa tenaga.
Darrel tidak menjawab. Ia langsung menggenggam tangan Fio dan menariknya berdiri. Fio sempat tersentak. “Eh, Darrel!”
Tanpa banyak bicara, Darrel menarik Fio keluar kamar dan menuntunnya sampai ke depan pintu rumah. Ia membuka pintu mobil dan menyuruh Fio masuk.
“Udah berani tarik tangan, nih?” goda Fio pelan, mencoba tersenyum, tapi tatapannya tetap kosong... senyum yang terasa lebih seperti usaha daripada ekspresi tulus.
“Nanti aku peluk seperti tadi pagi,” jawab Darrel datar, menatapnya tanpa ekspresi.
“Gombal,” gumam Fio lirih sambil menunduk, tapi bibirnya sedikit terangkat, nyaris tak terlihat.
Darrel menutup pintu mobil perlahan, lalu berkeliling ke sisi kemudi. Saat mesin dinyalakan, radio menyala pelan menyiarkan lagu lembut, sementara jalanan sore tampak sepi.
Beberapa menit mereka hanya diam. Darrel sesekali melirik Fio, melihat matanya yang menerawang ke luar jendela. Angin sore menyelinap masuk lewat celah jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma pepohonan yang mulai basah karena udara lembab.
“Kalau kamu gak mau bicara, gak apa-apa,” kata Darrel akhirnya, suaranya tenang tapi hangat. “Tapi aku gak mau kamu terus merasa sendirian.”
Fio menatap sekilas, lalu kembali memandang ke luar. “Aku gak sendirian, kan? Ada kamu yang cerewet.”
“Cerewet lebih baik daripada dingin,” balas Darrel cepat.
Fio memutar bola matanya, dan kali ini benar-benar tersenyum kecil. “Oh, jadi kamu ngaku?”
Darrel tidak menjawab, hanya mengerling sekilas dengan gaya khasnya—dingin tapi anehnya terasa lembut.
Mobil terus melaju menuju arah luar kota, menuju tempat yang dulu sering Darrel datangi saat ingin menenangkan diri: danau kecil di pinggir hutan kota.
Ia hanya ingin satu hal hari itu... membawa Fio keluar dari bayangan gelap yang terus menghantui matanya.
Mobil berhenti di sebuah rumah makan kecil di pinggir jalan, tak jauh dari danau yang menjadi tujuan Darrel. Tempatnya sederhana tapi bersih, dengan pemandangan sawah yang mulai menguning di kejauhan.
Darrel turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Fio.
“Ayo turun,” katanya datar.
Fio masih menatap keluar jendela, enggan. “Aku gak lapar.”
Darrel menatapnya sebentar, lalu bersedekap. “Kamu mau aku gendong ke dalam?”
Fio menoleh cepat. “Hah?! Ngapain juga digendong. Orang aku masih bisa jalan.”
“Bagus.” Darrel mengangguk, lalu mencondongkan tubuh sedikit. “Jadi, jalan.”
“Diktator banget sih kamu, Tuan Dingin,” gumam Fio sambil turun dengan langkah malas.
Begitu masuk ke rumah makan, aroma sup hangat langsung menyeruak. Darrel memilih meja dekat jendela, sementara Fio duduk di hadapannya sambil menopang dagu.
Pelayan datang membawa menu. Sebelum Fio sempat bicara, Darrel sudah memesan dua porsi nasi ayam lada hitam, teh manis hangat, dan jus jambu.
“Eh, aku belum... ”
“Kamu belum makan dari siang.” Darrel memotong dengan tenang tanpa menatapnya.
Fio mendengus kecil. “Kamu tahu aja.”
“Karena kamu selalu bilang ‘gak lapar’ tiap dari kemarin.”
Fio terdiam. Sekilas, matanya menatap Darrel lebih lama, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Ada sesuatu di dada yang hangat tapi juga membuat sesak.
Beberapa menit kemudian, makanan datang. Fio memandangi piringnya, lalu menatap Darrel yang dengan tenang mulai makan.
“Udah kayak bapak-bapak, makannya tenang banget,” celetuk Fio sambil memainkan sendok.
“Dan kamu seperti anak TK yang gak mau makan sayur,” balas Darrel santai, menatap piring Fio yang masih utuh.
“Kalau aku anak TK, berarti kamu... suamiku bapak TK dong.”
Darrel langsung berhenti mengunyah, menatap Fio datar tapi telinganya sedikit memerah. “Makan.”
“Hehehe... iya, iya,” Fio terkekeh kecil, lalu mulai menyuap makanan pelan-pelan.
Di luar, matahari mulai tenggelam, langit berwarna oranye keemasan. Di dalam rumah makan itu, untuk pertama kalinya setelah dari kemarin, wajah Fio tidak sepenuhnya murung. Ia masih rapuh, tapi ada secercah kehidupan yang kembali menyala—berkat seseorang yang selalu dingin, tapi diam-diam paling hangat untuknya.
“Udah habis,” kata Darrel sambil menatap piring Fio yang bersih. “Hebat juga.”
“Ya iyalah. Kalau disuapin tadi juga lebih cepet,” sahut Fio dengan senyum nakal.
Darrel menatapnya datar. “Kamu mau aku suapin di sini?”
“Eh... nggak, gak usah!” Fio cepat-cepat menunduk, wajahnya memerah.
Darrel hanya menghela napas pelan sambil menatap ke luar jendela. Tapi di sudut bibirnya, ada senyum tipis yang akhirnya muncul tanpa bisa ia tahan.
***
Malam perlahan turun, hujan pun menggantung di langit, udara lembab bercampur aroma tanah basah. Darrel memarkir mobilnya di depan sebuah villa kecil tidak jauh dari danau tadi. Darrel memutuskan untuk membawa Fio ke Villa itu.
“Eh, mau ngapain ke sini?” tanya Fio sambil memeluk tas kecilnya. Suaranya terdengar datar, tapi bibirnya masih mencoba bercanda.
“Menginap,” jawab Darrel singkat sambil membuka pintu.
“Menginap?” Fio menaikkan alisnya. “Jangan deh. Ntar dikira aku kabur sama CEO duda,” ujarnya dengan nada menggoda, meski tatapannya tetap kosong, tanpa binar sedikit pun.
Darrel menoleh sekilas, menatap wajah Fio yang pucat tapi tetap berusaha terlihat biasa. “Kita cuma istirahat. Kamu belum tidur dari semalam.”
Fio tertawa tipis, suara tawanya terdengar seperti upaya menyamarkan luka. "Udah berani ajak cewek menginap, nih?” ujarnya sok santai, tangannya bersedekap. “Hebat juga mental CEO satu ini.”
Darrel mengerutkan kening. “Kita suami istri, Fio,” jawabnya tenang tapi tegas.
“Eh, tapi…” Fio pura-pura mengangkat jari telunjuk, seolah ingin berdebat, tapi tidak sanggup melanjutkan. Pandangannya kosong, jauh menembus rintik hujan di kaca mobil. "Ya udahlah, mau diapain juga. Hidup emang lucu. Udah kebanyakan ditarik nasib, sekarang ditarik tangan juga,” gumamnya pelan.
Darrel menghela napas, menatapnya lama... perempuan itu terlihat kuat di luar, tapi ia tahu betul rapuhnya sedang menjerit di dalam.
“Udah, ayo. Takut hujan makin deras,” ucap Darrel pelan, kembali menarik tangan Fio.
Fio tidak menolak kali ini.
Langkahnya ringan, tapi hatinya berat — seperti seseorang yang sudah terlalu sering kehilangan arah, tapi tetap memilih melangkah karena menyerah pun tidak ada gunanya.
***
Hujan turun semakin deras, mengguyur genting villa yang sepi di tengah hutan pinus. Aroma kayu lembap memenuhi ruangan begitu Darrel membuka pintu.
Fio melangkah pelan di belakangnya, masih menggenggam tangannya yang dingin.
“Tuan…” panggilnya lirih.
“Jangan panggil itu,” ucap Darrel tanpa menoleh.
“Apa dong? Ayang? Mbeb?” goda Fio, nada suaranya ringan tapi matanya tetap kosong.
Darrel tidak menjawab. Ia hanya menuntun tangan Fio masuk lebih dalam, melewati ruang tamu kecil hingga ke kamar utama.
“Wah… bener ya? Serius banget nih, tuan?” lanjut Fio dengan tawa kecil yang terdengar lebih seperti tameng.
“Udah… ayo istirahat dulu,” sahut Darrel datar, menutup pintu di belakang mereka.
“Kenapa sih kamu baik banget?” tanya Fio tiba-tiba, menatapnya tanpa ekspresi.
“Kamu istri aku.”
“Oh…”
“Itu tanggung jawab aku.”
“Paham,” Fio mengangguk pelan, seolah berusaha menelan kata-kata itu tanpa tahu harus merasa senang atau sedih.
Darrel menariknya duduk di tepi ranjang.
“Eh… mau ngapain? Mau bulan madu?” canda Fio setengah menantang, meski ujung bibirnya bergetar menahan sesuatu.
Darrel hanya diam. Tatapannya dalam, tenang, tapi penuh simpati yang tak bisa disembunyikan.
“Oke. Aku gak usah berharap,” gumam Fio lirih, menunduk.
Tiba-tiba Darrel memeluknya. Erat. “Berharap juga gak papa.”
Deg.
Bersambung
ditunggu up nya
lira jg mencuri bhn skripsinya berarti mrk satu kampus dong ah bingung jg aku blom terlalu jelas masalahnya