Kecelakaan besar yang disengaja, membuat Yura Afseen meninggal dunia. Akan tetapi, Yura mendapat kesempatan kedua untuk hidup kembali dan membalas dendam atas perbuatan ibu tiri beserta adik tirinya.
Yura hidup kembali pada 10 tahun yang lalu. Dia pun berencana untuk mengubah semua tragedi memilukan selama 10 tahun ke belakang.
Akankah misinya berhasil? Lalu, bagaimana Yura membalas dendam atas semua penindasan yang ia terima selama ini? Yuk, ikuti kisahnya hanya di noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 : MEMBINGUNGKAN
DOR! DOR! DOR!
Tembakan beruntun tepat mengenai jantung mereka tanpa belas kasih, seketika menghilangkan nyawa orang-orang itu dengan sekejap.
Kedua kaki Yura semakin melemas, ia berjongkok sembari menutup rapat mata dan telinga. Betapa sadisnya pria di hadapannya, menghilangkan nyawa manusia lain seperti menepuk seekor nyamuk.
Zefon memang sulit diajak kompromi. Emosi menggebu membuatnya gelap mata apalagi setelah melihat kondisi Yura saat ini. Pria itu segera kembali menyelipkan senjata di pinggangnya. Lalu menelepon anak buah untuk membereskan mayat-mayat itu sekaligus menghilangkan semua jejaknya.
Zefon menyeringai dingin, memutar bola matanya malas. Seketika terkejut melihat Yura yang meringkuk ketakutan. Zefon melangkah dengan kaki panjangnya, menghampiri Yura dan turut berjongkok sembari menyentuh kedua bahunya.
“Hei, tenanglah. Mereka sudah mati. Tidak akan ada lagi yang menyakitimu,” ujar Zefon dengan nada suara lembut.
Pria itu meneguk salivanya susah payah, ketika netra tajamnya tidak sengaja menatap belahan dada Yura yang dialiri keringat bercampur darah. Bahkan dadanya mengembang dan mengempis dengan kuat sehingga terlihat semakin jelas.
Buru-buru Zefon memalingkan muka sebelum darahnya semakin mendidih, ia meraih jas yang tadi dilempar di mobil, segera menangkupkan pada tubuh mungil Yura.
Barulah Yura berani menaikkan pandangan, hati Zefon mencelos melihat beberapa luka yang menghias wajah cantik Yura. “Kenapa kamu membunuh mereka?” tanya Yura dengan suara bergetar.
Zefon menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa? Hei, mereka hampir menghilangkan nyawamu dan kau masih bertanya!” sentak lelaki itu.
“Iiih! Aku mau memastikan dulu, mereka itu suruhan Sarah atau tidak! Kamu asal dar der dor aja!” teriak Yura kesal mendorong bahu kokoh pria itu. Meskipun sama sekali tidak bisa bergerak.
Kening Zefon mengernyit dalam, “Kamu manusia apa bukan? Banyak luka seperti ini masih bisa marah-marah!” gumamnya penuh keheranan.
Yura tak menjawab, ia beranjak berdiri, namun tak lama kemudian tubuhnya justru limbung dan kehilangan kesadaran. Entah sudah berapa kali Zefon menangkap, memeluk dan merengkuhnya seperti ini. Yang jelas, pria itu seperti malaikat penjaga bagi Yura.
Embusan napas kasar berembus dari hidung Zefon. Ia segera membawanya ke mobil, sementara anak buahnya sudah mulai terlihat melakukan pembersihan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Vibra panjang dari ponsel Zefon membuat lelaki itu memelankan laju mobilnya. Satu lengannya merogoh ponsel jas yang dikenakan Yura, beruntung tidak mengusiknya.
“Ya, Ma?” sahut Zefon menjawab panggilan tersebut.
“Ze, Sayang. Kamu di mana? Mama mau mampir ke mansion kamu ya, sama papa. Denger-denger kamu kemarin bawa pulang gadis cantik? Siapa? Kok nggak dikenalin ke Mama sih?” cecar wanita paruh baya di ujung telepon.
Satu tangan Zefon mencengkeram kuat setir kemudi. Dalam hati mengumpat mengenai tersangka yang sudah membocorkan ke telinga mamanya. Jelas saja, Cheryl—mama Zefon, memiliki tangan kanan yang melaporkan segala hal tentang putranya.
“Aku enggak di mansion. Sedang ada urusan di luar kota. Sepertinya tidak pulang. Mama kalau menginap silakan saja,” cetus lelaki itu sembari fokus mengemudi.
“Ah, sayang sekali. Padahal Mama penasaran, siapa gadis cantik yang mampu meluluhkan patung es kayak kamu ini!” seloroh sang mama sambil terkekeh.
Zefon menghela napas panjang, mau bagaimana pun ia tidak akan bisa marah dengan wanita yang telah melahirkannya itu.
“Ma, aku lagi nyetir. Love you!” Zefon segera mematikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban sang mama.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Zefon membanting setir mobilnya ketika melalui sebuah rumah sakit. Bukan milik keluarganya tentunya. Karena khawatir, akan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan yang ia sendiri tidak akan bisa menjawabnya.
“Cepat tangani dia dengan baik!” tegas Zefon meletakkan gadis itu di atas brankar UGD.
Sembari menunggu, Zefon segera mengurus administrasi dan meminta kamar perawatan terbaik untuk Yura.
Malam semakin larut, tetapi sepasang netra Zefon masih terjaga. Ia sama sekali tak memalingkan pandangan dari Yura. Hatinya berdenyut nyeri melihat kondisi Yura yang justru terlihat semakin memilukan.
Tiba-tiba Zefon tersentak, ketika Yura menangis sampai terisak, padahal kedua matanya masih terpejam. Ia membungkuk merapatkan bibir pada telinga Yura, bahkan salah satu lengannya melingkar di tubuh gadis itu.
“Hei, kamu kenapa?” bisiknya dengan suara pelan.
Yura membuka kelopak matanya, tatapannya kosong. Air matanya masih mengalir dengan begitu deras. Dadanya sesak, terlihat bagaimana beratnya ia menarik napas.
Gugup, panik, bingung harus bagaimana. Zefon refleks memeluknya, membelai puncak kepala Yura dengan lembut. “Mana yang sakit? Mau aku panggilkan dokter?” ucapnya khawatir, menatapnya lekat-lekat.
“Enggak, aku mau nangis aja!” ujarnya melanjutkan tangisnya. Tidak peduli bagaimana penampilannya saat ini.
Gadis itu tengah melampiaskan kekecewaan dan kesakitannya, bagaimana bodohnya ia selama ini selalu diperbudak ibu tiri di rumah sendiri, direndahkan Tora di kampus, dan terakhir penculikan sepuluh tahun lalu yang berakhir dia koma di rumah sakit. Setelah kejadian itu pun Sarah masih memperlakukannya semena-mena.
“Bodoh sekali!” gerutunya menangisi kebodohannya selama ini. Tangisnya semakin pecah, kedua tangan mengepal dengan sangat kuat.
Zefon menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. “Apa yang terjadi dengan gadis ini?” gumamnya bertanya-tanya.
Bersambung~