Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga puluh tiga
Putaran jarum jam yang seakan lama itu membuat Laras mendesah pelan di tempatnya. Matanya bergerak gelisah, menatap bergantian pada ponselnya yang tidak kunjung memberikan sebuah tanda, iya menatap pada jam yang semakin terasa menusuk dan membuatnya panik.
Tangannya bergerak pasti menguliti kulit bibirnya. Tanda bahwa dirinya sedang panik bukan main.
Ia melirik pada Raden yang juga terlihat tidak tenang sama seperti dirinya. Kedua kaki laki-laki itu terus bergerak dengan tempo cepat dan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Bahkan tidak jarang Laras mendengar sebuah lahan nafas pelan keluar dari bibir Raden.
Karel sudah tidak ada. Entah ke mana laki-laki itu pergi, tetapi Laras berharap Karel bisa bergerak barang sedikit saja. Masalah ini ada bukan karena semata-mata karena kesalahannya saja. Karena alasan utamanya masalah kali ini jelas ulah Karel yang kembali menurut emosi lawan. Dan jelas Laras tau itu.
Di sampingnya, Fani masih setia menemaninya. Sejak tiga jam yang lalu kedatangan Fani di sana, wanita itu sama sekali tidak berniat meninggalkannya barang sedetik saja. Bahkan kemeja formal Fani kasih terbalut sempurna di tubuh wanita itu.
Jika Jaya, sudah jelas pria itu menghilang tepat ketika mendengar cerita dari Raden. Tidak mungkin juga Jaya berdiam diri di saat tahu keadaan kali ini cukup membuat tegang rumahnya.
Fani beralih ketika ponselnya bergetar pasti dengan nama Jaya yang tertera di sana. Meski wajahnya terlihat santai, percayalah, dalam dirinya juga merasakan kepanikan yang tidak bisa ia perlihatkan di hadapan Laras.
"Iya, pah ada apa?"
"Coba bantu telepon Praja. Minta dia buat turun tangan juga."
Perintah yang seakan menyuruhnya bergerak saat itu juga membuatnya menghala nafas pelan. Jika saja Jaya tidak bisa menanganinya, ia tidak perlu lagi menjelaskan keadaan kan?
Ia meneguk salivanya." Iya." lanjutnya pelan.
"Ketemu?"
Binar penasaran yang terpancar jelas di kedua mata Laras membuat Fani kembali mengembuskan napanya pelan. Ia mengelus senyum tipisnya." Sebentar ya." Pamitnya pada Laras kemudian wanita itu meninggalkan Laras dan juga Raden di ruang keluarga.
---
Kapalan pada setir mobil yang seakan menjadi buah hasil dari emosinya jelas membuat Karel kembali menggeram kesal. Otaknya terasa penuh akan cacian Laras dan juga Raden malam ini. Tapi di saat yang sama, hatinya tidak tenang mengingat kejadian malam ini yang belum kunjung terselesaikan.
Bukan Kania yang seharusnya berada di tangan Adrian. Gadis yang tidak tahu apa-apa itu tidak seharusnya berada di sana. Adrian salah sasaran. Kesalahan yang entah mengapa lebih membuat hatinya tidak tenang.
Seharusnya Sania, gadis itu yang seharusnya menjadi sasaran Adrian.
Ia tidak juga bersyukur karena Adrian salah sasaran. Karena pada kenyataannya, otak dan juga hatinya tetap tidak bisa bekerja dengan tenang.
Meskipun ia yakin Kania jauh lebih bisa diandalkan, tapi jangan salahkan dirinya yang tetap tidak bisa berpikir jernih barang sedetik saja.
Ponselnya yang kembali menyala itu membuat perhatiannya teralih sementara. Ia mengambil benda itu dengan pasti sebelum menuju salivanya pelan.
Sania
Tadi ada yang telpon aku
Nanya status kita tapi gak mau ngasih tau nama.
Dia bilang, itu Adrian?
Ia melirik pada jam digital yang berada di mobil. Susah jam dua malam dan kenapa Sania baru mengirimkannya pesan?
Anda
Iya itu Adrian.
Jangan pernah kasih tahu status kita di luar sekolah.
Sania
Tapi tadi April malah nyebut nama Kania.
Dia bilang Kania yang pacar kamu.
Dan saat itulah contohnya seolah berhenti berdetak.
Adrian memang salah sasaran. Tapi salah sasaran yang jelas karena udah temannya sendiri. Dan saat itu Karel kembali mengepalkan tangannya marah.
Sania
Salah gak?
Kata April gak apa-apa.
Ia memejamkan matanya erat. Ia tahu Sania tidak mungkin berbohong kepadanya. Tapi maksudnya, Kenapa harus memberitahukan hal semacam itu yang jelas akan berbuah pada dirinya, ia merasa bersalah pada Kania?
Anda
Gak.
Tidur, aku juga mau tidur.
Hanya itu jawaban yang bisa Ia berikan pada Sania saat ini. Ia tidak mau membuat Sania ikut merasa bersalah akan ulahnya.
Bang Dewa
(Send you a location)
Jemarinya kembali bergerak cepat. Membuka titik poin yang baru saja Dewa kirimkan sebelum melempar ponselnya asal dan kembali menancap gas mobilnya penuh tekanan.
---
Wajah yang sudah basah akan air mata itu jelas menjadi keadaan Kania sekarang. Perutnya mulai terasa mati rasa bersamaan dengan kepalanya yang mulai terasa berat. Tangisnya yang tidak kunjung berhenti seakan membuat otaknya terasa sesak sampai menimbulkan rasa sakit di sana. Sama halnya dengan perutnya yang seolah memaksa untuk diisi.
Ia tidak yakin berapa lama sudah keberadaannya di tempat ini. Karena sejak kehadirannya, hanya ada kegelapan juga ketakutan yang melanda tubuhnya.
Tangis dalam diam adalah hal yang paling menyiksa bagikannya saat ini. Setiap sentuhan yang menggerayangi wajah dan tubuhnya di setiap jam itu jelas menjadi bayang-bayang ancaman ketakutannya.
Harapannya hanya satu, jangan lebih dari itu.
Tangannya masih bergetar, punggungnya mulai mati rasa juga akan posisinya saat ini. Jantungnya tidak kunjung mereda untuk berdetak cepat. Tidak ada yang bisa dia pikirkan selain bebas dari tempat ini. Tapi seakan tubuhnya tidak mendukung, rasa sakit yang mulai mau jujur di setiap arah membuatnya kembali menelan salivanya.
"Kania,,"
Suara panggilan lembut yang lebih terdengar menyeramkan di telinganya itu kembali membuat bulu kuduknya meremang. Sarafnya jelas kembali merasakan sebuah tangan menyapu halus wajahnya sebelum turun menuju bahu nya.
Gigitannya mendalam pada bibirnya. Napasnya tercekat untuk setiap saat merasakan tangan tidak kenal menyapu halus tubuhnya itu.
"Kita main sebentar-"
"Gue mohon berhenti,"Kania memohon pelan tapi menyiratkan kepanikan juga ketakutannya. Ia menelan salivanya berkali-kali. Ingin tangannya bergerak menghentikan semua yang berada di hadapannya, tapi ikatan di belakang tubuhnya itu terlalu kuat sampai tangannya pun sudah mati rasa.
Sebuah kekehan kembali terdengar di telinganya. Tubuhnya bergerak gelisah ketika tanpa aba-aba tangan itu beralih untuk menyapu bibirnya.
Papa,,, batinnya kembali berseru takut.
Di detik selanjutnya yang ia takuti benar terjadi. Bibirnya seketika menegang bersamaan dengan rasa sesak yang berusaha membuka lebar mulutnya. Tangisnya pecah. Keadaan macam apa ini?
Seseorang yang tidak ia kenal, bahkan tidak ia ketahui wajahnya itu mencium paksa dirinya. Melecehkannya begitu saja sampai rasa sakitnya seketika menjalar memenuhi hati.
"Sialan!"
Teriakan keras yang kemudian disusul dengan hilangnya seseorang dari hadapan Kania tidak juga membuat tubuh Kania menjadi tenang akan keadaannya sekarang.
Fabian-laki-laki itu baru saja menemui sahabatnya itu jelas langsung meredakan emosinya ketika menemukan Adrian mencium Kania dengan keadaan Kania yang mengenaskan. Tidak hanya Adrian, banyak pasang mata lain di sana. Pasang mata yang seakan membuatnya seolah semakin merasa sakit hatinya seorang Kania.
"Bajingan sialan!"
Tangannya bergerak emang emosi meninjau setiap wajah Adrian yang terlihat di matanya. Matanya memerah, amarahnya benar-benar memuncak saat ini.
Sama halnya dengan Fabian, Angga yang memperhatikan keadaan berhasil dibuat bergeming untuk sesaat. Kakinya seolah merasa terpaku pada satu titik ketika matanya menemukan keadaan Kania saat ini.
Ia tidak datang sendiri. Ia tidak mungkin membiarkan dirinya kalah karena hanya membawa Fabian dan juga Dewa. Karena tepat di detik selanjutnya, petugas berseragam yang membantunya untuk mencari keberadaan karena mulai mengamankan setiap sosok yang terlihat di dalam bangunan lama itu.
Sama halnya dengan Angga, Karel-laki-laki yang pada akhirnya memilih ikut menarik gas mobilnya ketika Dewa memberikan titik lokasi itu bergeming di tempatnya. Matanya memanas meski kenyataannya tubuhnya terasa terpaku pada pintu utama ruangan.
Di depan sana, Dewa sudah lebih dulu membantu Kania, melepaskan segala atribut yang menyiksa gadis itu sebelum kembali membuat rasa bersalah menjulur ke seluruh tubuhnya.
Dan telurnya kembali melegakan ketika tangisan Kania terdengar nyaring di telinganya. Untuk kali ini, ia akui, persembahan yang dia perbuat terlalu fatal.