Memiliki julukan sebagai anak pembawa sial, tak membuat gadis bernama Chessy larut dalam kesedihannya. Ya, anak pembawa sial adalah julukannya sejak dia di lahirkan, karena kelahirannya yang berbarengan dengan kematian kedua orang tuanya.
Kehidupan yang begitu menderita membuatnya tak lantas putus asa, dia selalu meyakinin bahwa akan ada pelangi setelah hujan, akan ada kebahagiaan setelah penderitaan, dan inilah yang selalu di rindukan Cheesy, Merindukan Pelangi saat hujan.
Dapatkah Cheesy menemukan kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Banilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak pembawa sial
Langit dan rekan kerja yang lain kini sedang menunggu kabar dari dokter yang tengah menangani Gilang.
Terlihat Langit begitu gelisah mondar mandir di depan pintu ruang tindakan sembari sesekali melirik ke arah pintu berharap seorang dokter segera keluar dari sana.
Cek lek.
Pintu yang di tunggu terbuka kini terbuka lebar, Langit segera menghampiri sang dokter di susul dengan rekan yang lainnya.
"Bagaimana kondisi Gilang Dok?" Tanya Langit saat seorang dokter keluar dari ruang tindakan.
Dokter itu menatap satu persatu orang yang ada di hadapannya yang masih menggunakan seragam polisi dengan wajah sendu.
"Hufffttt." Dokter itu menghela nafas berat lalu berkata, "Mohon Maaf Pak, kami sudah berusaha sebaik mungkin, namun Allah berkehendak lain, nyawa Pak Gilang tidak tertolong."
Duarrr
Bagai tersambar petir, Langit begitu terpukul saat mendengar sahabatnya meninggal karena tertembak saat bertugas.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun" Lirih seluruh rekan yang ada disana.
"Ngga dok, itu ngga mungkin dok, Gilang masih hidup dok, Gilang ngga mungkin meninggal dok, ngga ngga, ngga mungkin dok." Ucap Langit yang sulit untuk percaya sahabatnya sudah tiada.
"Mas kamu yang sabar ya, Allah lebih sayang sama Gilang Mas, makanya Allah begitu cepat memanggil Gilang." Ucap Ranti berusaha menenangkan sang suami.
"Ngga sayang, Gilang ngga mungkin meninggal, ini pasti ada yang salah." Ujar Langit.
Suasana seketika menjadi hening, hanya ada suara isakan tangis dari Langit dan rekan rekannya. Hingga suara seorang dokter membuat Ranti tersentak.
"Keluarga Ibu Gita." Teriak seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang tindakan dimana Gita tengah menjalankan operasi caesar.
Ranti menoleh ke arah sumber suara dan segera berlari menghampiri dokter tersebut.
"Iya dok." Sahut Ranti setelah berhadapan dengan sang dokter.
"Alhamdulillah kami berhasil menyelamatkan bayi yang ada di kandungan Ibu Gita." Ucap Sang dokter tersenyum tipis.
"Alhamdulillah." Ucap Ranti merasa senang karena Bayi Gita lahir dengan selamat.
"Mbak Gita gimana dok?" Tanya Ranti kemudian yang berharap Gita juga baik baik saja.
"Mohon maaf Bu, Ibu Gita tidak bisa kami selamatkan." Ucap Sang dokter dengan wajah penuh penyesalan.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun" Lirih Ranti memegangi dadanya yang terasa sesak.
"Kami sudah berusaha yang terbaik, tapi Allah berkehendak lain." Ucap Sang dokter.
"Astagfirullah, kenapa harus seperti ini." Ucap Ranti yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi hari ini.
***
Uwiwww... Wiuhhhh...
Suara sirine mobil jenazah begitu nyaring saat membawa jenazah Gilang dan Gita keluar dari pekarangan rumah sakit menuju kediamannya, Langit dan Ranti dengan setia menemani jenazah mereka beserta dengan rekan rekan kerjanya.
"Kasihan sekali kamu Nak." Ucap Ranti menatap anak yang baru saja di lahirkan oleh Gita yang di gendongnya.
"Andai aku tidak meminta Gilang untuk datang, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini." Ucap Langit yang merasa menyesal karena sudah mengganggu hari libur Gilang, hingga berakhir mengenaskan seperti ini.
"Mas, jangan menyalahkan diri sendiri, Ini semua takdir mas." Ucap Ranti.
Langit tak kuasa menahan air matanya. Kenangan saat kecil bersama Gilang muncul, kenangan saat kembali di pertemukan saat mendaftar di AKPOL dan kenangan saat bertugas bersama.
Tak hanya Langit, seluruh rekan kerja yang ikut mengiringi mobil jenazah Gilang dan Gita pun menangisi kepergian Gilang dan juga istrinya.
Bagi mereka Gilang adalah orang yang sangat baik dan selalu menjadi motivasi karena begitu loyal pada pekerjaannya.
Begitu pun Gita, dia adalah sosok bhayangkari yang cukup berperan aktif dalam setiap kegiatan, bahkan tak jarang dia memberikan ide ide untuk setiap program yang di adakan dalam kegiatan bhayangkari.
***
Uwiwww... Wiuhhhh...
Mobil Jenazah yang membawa Gilang dan Gita sampai di kediamannya, terlihat rumah Gilang sudah begitu ramai oleh para istri dari rekan kerja Gilang.
Rencananya Jenazah mereka akan di makamkan keesokan harinya lantaran menunggu kedatangan keluarganya yang masih ada di luar kota.
Hanya ada orang tua Gita yang memang tinggal tak jauh dari tempat tinggal mereka.
Bu Sri dan Pak Bandi menangisi kepergian anak semata wayangnya dan juga menantunya.
Para pelayat melantunkan Ayat suci Al Qur'an di depan jenazah Gilang dan Gita yang sudah berada di dalam rumahnya.
"Kenapa kamu pergi begitu cepat Nak? Kamu anak satu satunya Ibu, kenapa kamu mendahului Ibu Nak." Tangis Bu Sri pecah kala melihat putrinya sudah terbujur kaku.
"Sabar Bu, Ini semua sudah takdir Gita Bu. Kita ikhlaskan saja Gita Bu, agar dia tenang dan bahagia disana." Ucap Pak Bandi berusaha menenangkan sang istri meskipun hatinya juga hancur di tinggal oleh putrinya.
"Gita sudah ngga ada Pak, Kita sudah tidak memiliki anak, anak kita satu satunya pergi Pak, bagaimana nanti masa Tua kita, siapa yang akan mengurusi kita Pak." Racau Bu Sri dalam isakan tangisnya.
"Bu, Pak, ini saya serahkan putri Mbak Gita dan Mas Gilang pada kalian. Semoga anak ini bisa menjadi pelipur lara atas kehilangan yang kalian rasakan." Ucap Ranti menyerahkan bayi mungil pada Bu Sri dan Pak Bandi.
"Tidak, dia bukan cucu saya, dia hanya anak pembawa sial, bawa pergi jauh dari saya. Dia sudah merenggut putriku. Hiks hiks hiks." Pekik Bu Sri tak mau menggendong bayi mungil lalu kembali menangisi kepergian putrinya.
Bayi perempuan itu tersentak kaget lalu menangis saat mendengar teriakan dari Bu Sri.
"Astaghfirullah Bu, anak ini tidak salah apa apa Bu, bayi ini terlahir suci Bu." Ucap Ranti yang tak menyangka reaksi Bu Sri seperti itu.
Bu Sri yang merupakan ibunda dari Gita melirik kearah bayi mungil itu dengan tatapan penuh kebencian.
"Cup cup cup, sayang jangan menangis ya, nenek kamu ngga bermaksud marah sama kamu sayang." Ucap Ranti berusaha menenangkan bayi perempuan itu.
"Dia bukan cucu saya, bawa pergi bayi itu, Kalau perlu buang saja dia." Pekik Bu Sri.
"Astagfirullah, Istighfar Bu. Dia putri Gita anak kita Bu, yang artinya dia cucu kita, Ibu tidak boleh seperti itu." Ucap Pak Bandi tak habis pikir pada istrinya.
"Ngga Pak, dia itu anak pembawa sial, lihatlah anak dan menantu kita Pak, kelahiran anak itu membuat anak dan menantu kita meninggal Pak." Kekeh Bu Sri yang terus menganggap cucunya anak pembawa sial.
"Bu, ini semua bukan salah cucu kita, ini semua sudah takdir dari Allah Bu." Ucap Pak Bandi berusaha menyadarkan istrinya.
"Pokoknya bawa pergi anak itu, saya ngga mau melihatnya lagi." Pekik Bu Sri.
"Tapi Bu, kalau bukan kita siapa yang akan mengurus anak ini." Ucap Pak Bandi.
"Saya ngga perduli, saya ngga mau mengurus anak yang sudah bikin putri saya pergi." kekeh Bu Sri.
"Ya sudah kalau Ibu ngga mau mengurus cucu kita, Bapak yang akan mengurusnya." Ucap Pak Bandi yang bersikeras ingin mengurus cucunya yang malang walaupun istrinya menolak.
Semua Rekan kerja Gilang menatap Iba pada putri kecil yang baru saja lahir namun sudah menjadi anak yatim piatu, bahkan neneknya tak mau menerimanya dan menganggapnya anak pembawa sial.