Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Aku tidak bisa
"Kau, Maya Ilhamndari, tunangan Zamar Abidsatya?"
Deg.
Jantung Maya terpacu, ia menolak menatap kedua manik Ansel.
"Maaf, Anda salah orang." Maya meletakkan dua barang itu, diatas meja. Lalu, segera masuk dan menutup pintu.
Ansel masih mematung dan memperhatikan Maya. Meski, gadis itu tidak mengakuinya, namun ia pasti tahu dengan pasti. Dia adalah Maya. Gadis itu, berteriak memanggil nama Zamar dan terdengar jelas oleh Ansel.
Dengan lampu yang terang, Ansel masih duduk di kedai yang sudah tertutup. Ia belum beranjak, karena rasa penasaran. Ia memang tidak memiliki hubungan, dengan pria yang berstatus mantan tunangan Maya. Namun, sejak sang ibu pulang dari pesta pernikahan, ia terus membicarakannya. Bahkan, sang adik juga banyak menambahkan bumbu cerita. Antara iba dan penasaran, siapa Maya? Bagaimana hidupnya?
Ansel meraih ponselnya, menelpon seseorang yang sangat mengenal Maya.
"Apa kau punya foto temanmu yang bernama Maya?"
"Untuk apa sih, kak? Penasaran banget, deh!" Suara ketus terdengar dibalik telepon.
"Kirim saja, dek. Atau_"
"Iya, iya, aku kirim!" Sambungan terputus. Ansel memiliki cara jitu, untuk membuat sang adik menurut.
Satu menit, sebuah pesan masuk. Ansel segera memeriksanya. Foto tampak dari samping. Gadis berambut panjang, dengan kemeja putih. Tersenyum pada seorang perempuan, yang juga dikenali Ansel, sebagai istri Zamar, saat ini.
Jadi, benar. Dia Maya. Tapi, kenapa dia bersembunyi ditempat ini? Tunggu! Kenapa aku penasaran? Teman bukan, pacar, apalagi.
Ansel terkekeh seorang diri. Rasa penasarannya, bermula dari sang ibu dan adiknya. Tiada hari, tanpa membicarakan Maya dan Maya. Apalagi, setelah pesta pernikahan megah, yang banyak dibicarakan orang-orang. Ibu dan sang adik, membicarakan gadis itu, sudah seperti meminum obat.
Namun, memang aneh. Dia bertunangan dengan Maya, tapi menikahi gadis lain. Bahkan, tidak ada berita pembatalan pertunangan mereka.
"Kenapa aku menjadi seperti ibu?" Ansel geleng-geleng kepala, karena merasa lucu dengan isi otaknya.
Ia lalu menatap pintu rumah, yang sudah tertutup rapat. Tidak ada suara, dari dalam. Ansel akhirnya, memilih pulang, karena udara semakin dingin, ditambah tiupan angin yang cukup kuat.
🍋
🍋
Maya mengurung diri dalam kamar. Ia hanya duduk bersandar, atas tempat tidur, tanpa melakukan apa-apa. Ia sudah pergi sejauh ini, tapi masih ada orang yang mengenalinya. Sekarang, bagaimana? Ia tidak ingin menghadapi situasi, yang mengharuskannya untuk membuka mulut.
Suara jangkrik, deru ombak diluar sana, dan angin yang masuk melalui ventilasi. Maya membisu, dengan ditemani suara alam. Ia mengelus perutnya, menenangkan si buah hati yang merengek minta makan. Untunglah, selama dua minggu lebih, ia tinggal. Ia tidak pernah merasa mual dan muntah.
Maya mengambil sepiring nasi ayam, yang ia simpan untuk makan malam. Porsinya lumayan banyak, untuk ukuran ibu hamil.
Makan, makan, dengan air mata menetes jatuh. Merasa kesepian, membuatnya selalu saja menangis setiap malam. Pikirannya dihantui, oleh Zamar yang saat ini tengah berbahagia dengan sahabatnya.
"Hiks, hiks, hiks,..... Ibu.... " Maya bersusah payah, menelan makanannya. Suara tangis, membuatnya tidak mampu lagi mengunyah.
"Sekarang, bagaimana, bu? Dia sudah menikah. Bagaimana dengan anakku? Apa yang harus aku katakan, jika kelak ia menanyakan ayahnya."
Air mata Maya, semakin deras. Ia terisak sembari bersandar. Sungguh, ia mulai putus asa. Kenapa ia harus mengalaminya?
Maya segera bangkit, akal sehatnya memberi alarm, saat ia baru saja berpikiran pendek. Ia berlari membuka pintu, langsung menuju pantai. Tanpa alas kaki, ia sudah menyentuh pasir dan air laut. Ia menangis dengan histeris, sembari berteriak.
"Kenapa kau tidak percaya padaku? Apa kau sengaja, agar bisa menikah dengannya?" Maya mengepalkan tangannya.
"Kenapa? Kenapa kau tega, Zamar? Hiks, hiks, hiks." Maya menjatuhkan kedua lututnya diatas pasir, membiarkannya terendam didalam air laut.
"Aku membencimu, Zamar. Aku membencimu dan aku tidak akan pernah melupakan ini, seumur hidupku."
Maya tidak peduli, dengan tubuhnya yang sudah mengigil kedinginan. Ia terus berjalan, masuk kedalam laut, yang dalamnya sudah mencapai lutut. Pandangannya kosong, dan masih terus menangis.
"Anak haram! Hahaha...." Maya tertawa, bercampur isak tangis. "Lihat bagaimana, aku membawa anakmu ke surga. Dia hidup pun, percuma. Dia hanya akan menderita dan aku tidak sanggup." Maya berjalan semakin jauh, air laut sudah mencapai pinggang.
"Aku membenci kalian berdua, hiks, hiks, hiks." Maya mulai kesusahan melangkah, sebab air laut sudah mencapai dada.
"Maya, Maya, Maya," panggil seseorang, yang tidak dihiraukan Maya.
Maya terus menyeret kedua kakinya, ia masih menangis dan berbicara seorang diri. Air laut yang sudah mencapai dagu dan akan membuatnya tenggelam sebentar lagi.
"Maya, Maya. Sadarlah!" Suara yang memanggil semakin dekat. Sosok itu, bahkan sudah berenang agar bisa mencapai Maya dengan segera.
"Berbahagialah, Zamar, Sandra. Terima kasih, untuk kalian berdua." Blup, blup, blup. Maya menenggelamkan tubuhnya.
"Maya!" Sosok itu, segera mengangkat tubuh Maya, yang sudah tenggelam. "Maya, Maya," teriaknya dengan menepuk pipi, gadis itu. "Shitt!"
Ansel bersusah payah, menarik maya, menuju bibir pantai.
"Maya, Maya," Ansel melakukan CRP, sambil memberi oksigen melalui mulutnya. "Shitt!" Ansel semakin panik. Gerakan tangannya, semakin cepat.
Uhuk, uhuk, uhuk. Maya terbatuk dan mengeluarkan air dari mulutnya. Ansel segera memeluk dan menepuk punggungnya.
"Hiks, hiks, hiks. Dia membuangku." Tanpa sadar, Maya memeluk Ansel, sembari menangis dengan pilu.
"Sabarlah. Kau harus kuat, May. Memangnya, kenapa kalau dia membuangmu? Kau masih bisa hidup tanpanya."
"Aku tidak bisa. Aku hamil dan dia tidak mau mengakuinya. Dia membuangku!" tangis Maya, semakin kuat. Hingga akhirnya, ia tidak bersuara.
"May, Maya!" panik Ansel, karena Maya sudah tidak sadarkan diri.
Ansel mengangkat Maya, dengan berlari menuju mobil. Ia Tidak peduli, dengan pakaiannya yang basah dan juga kedinginan. Ansel memasang seatbelt, untuk Maya. Lalu berlari masuk rumah, untuk mengambil selimut. Tak lupa, ia mengunci pintu rumah Maya,
Masih dalam mobil, Ansel sedang membuka pakaian Maya yang basah.
"Maaf. Kau bisa memukulku, nanti."
Ansel melaju dengan kecepatan tinggi. Apalagi, jarak rumah sakit sangat jauh. Sesekali, ia melirik Maya yang sudah menggunakan selimut dan kemeja hitam miliknya. Gadis itu sudah memucat dan bibirnya kebiruan.
Butuh satu jam setengah, untuk sampai dikota. Ansel langsung parkir didepan pintu UGD, yang biasanya khusus untuk ambulan. Ia memencet klakson, hingga para perawat berlarian keluar membawa brankar.
"Dia hipotermia. Siapkan peralatan!" Para perawat dan dokter yang sedang jaga, tersentak dengan kedatangan Ansel yang berantakan.
"Baik, dokter."
Ansel melakukan tugasnya sebagai dokter, untuk menyelamatkan Maya. Tidak peduli, dengan keadaannya sekarang, yang basah kuyup.
"Dokter, biar aku saja! sebaiknya, Anda berganti pakaian." Rekan Ansel menawarkan diri.
"Tidak perlu. Aku butuh USG."
"Untuk apa? Dia hanya hipotermia."
"Dia hamil. Panggilkan aku dokter, Marsya."
May, sadarlah! Jika kau merasa sangat berat, kenapa kau memilih jalan ini.
🍋 Bersambung.
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️